(Sebuah permenungan di sela-sela Hikaman)
Ia seperti sudah banyak kehilangan makna. Sudah hampir tak ada lagi tanah yang tidak dibangun rumah-rumah. Di kanan-kiri jalan berjejer warung dan hiburan malam. Di setiap meja sesak perempuan bersama pacarnya. Kebenaran dikubur di lembah-lembah mesum. Kebenaran dibunuh lewat janin-janin tak berdosa, hasil hubungan gelap dengan pacar. Cahaya kebenaran berkarat, tenggelam dalam minum-minuman laknat. Suaranya pun terjepit di antara ingar bingar musik jalanan. Kebenaran sudah mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin di perkampungan rumah kardus pinggir sungai yang tak dihiraukan lagi tangisnya. Kebenaran disiksa lewat protes dan amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah. Kebenaran diinjak-injak lewat kekuasaan angkara murka. Kebenaran ditipu lewat janji dan omong kosong yang tak pernah ditepati. Sementara, di alun-alun kota bergema zikir akbar. Berjejal orang mengikutinya. Mereka puja dan sebut nama Tuhan berkali-kali hingga bibir mereka kelu lewat teriakan zikir. Namun sayang, jiwa tak bisa menyatu dengan Tuhan, hati tak pernah bisa merasa tenang dan khusuk. Sebab di setiap sudut ruang terpasang kamera. Sedang hape lebih banyak digunakan untuk update status, sebagai kabar plus kebanggaan bahwa ia juga turut ikut merayakan gegap gempita zikir yang kosong, tak punya makna. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan megahnya di kota. Tapi tak banyak orang bertandang ke sana. Paling hanya satu dua shaf. Sabda kebenaran pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah kota, bahkan di mall-mall. Kota memang serba lengkap. Segala kebutuhan dapat ditemukan. Menjamin semua kebutuhan nafsu manusia. Pendidikan demi pendidikan yang diajarkan hanya membuat manusia kota menjadi pintar berdalih. Manusia-manusia kota hanya melihat sesuatu dengan mata dan pikiran. Kebenaran hanya ada dalam apa-apa yang mereka lihat. Sedang mata hatinya tak pernah dibuka untuk melihat. Hati mereka mati. Dan kota sudah benar-benar kehilangan makna.
Ia memang terlihat sunyi. Tak banyak ingar bingar kendaraan atau musik jalanan yang memekakkan telinga. Jika engkau melewati jalan desa pada malam hari, seperti yang kulakukan saat ini, maka engkau akan seperti melakukan perjalanan sunyi mencari kitab suci. Di desa tak banyak rumah-rumah ibadah yang berdiri megah. Tapi jangan ditanya perihal jamaahnya. Sebuah surau atau lebih tepatnya masjid kecil tak bertingkat dipenuhi oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Mereka duduk berjejer rapi mendengarkan nasihat kebenaran hingga penuh di halaman luar masjid. Pengajian yang tak pernah sepi oleh para salik pencari hikmah. Suasana malam menjadi begitu damai dalam gema suara yang mengaliri kalbu lewat pesan demi pesan yang abah berikan. Aku benar-benar terharu. Belum pernah kurasakan keheningan seperti ini setelah pengembaraan ini kulakukan. Aku seperti diseret ke masa lalu, saat di mana perjalanan sunyi itu kumulai. Dan aku benar-benar merasakan, suasana keheningan di desa jauh berbeda dengan suasana riuh kota. Dan entah setelah ini, aku akan hidup di kota lagi ataukah di desa. Tapi yang pasti, aku lebih memilih desa sebagai perjalanan akhirku kelak. Sungguh menyedihkan sekali jika kuhabiskan sisa umurku di kota. Aku ingin menulis kisah sejarah panjang hidupku di desa bersama dengan orang-orang yang kucintai.