Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu.

Pada setiap jeda waktu antara salat tarawih dan salat witir di musala an-Nur selalu diselingi kuliah tujuh menit oleh ustaz Abdul Muhaimin. Para jemaah salat tarawih di musala itu memperhatikan dengan hikmat dan khusyuk. Ada yang khusyuk karena memang benar-benar mendengarkan, ada pula yang khusyuk karena terlampau lelah dan mengantuk. Termasuk Joni yang pada waktu itu mendengarkan kultum ustaz Abdul Muhaimin. Lamat-lamat suara yang bisa ditangkapnya. Entah kenapa, ia sering sekali mengantuk ketika mendengarkan kultum. Tapi begitu kultum selesai, anehnya menjadi hilang sama sekali rasa kantuknya. Konon katanya, setan kecil suka sekali bermain di gendang telinga manusia, sesekali hinggap juga di batang hidung dan meniupi kelopak mata manusia yang lemah.

Dalam keadaan antara terjaga dan mengantuk, Joni sempat menyimak baik-baik ceramah yang disampaikan oleh ustaz Abdul Muhaimin.

"Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu." Begitulah beberapa pesan yang bisa ditangkap Joni.

Setelah pulang dari salat tarawih, setengah ragu ia bertanya kepada temannya, Asep.

"Eh, Sep, apa benar, malam seribu bulan itu ada?"

"Iya lah, barusan tadi ustaz Abdul Muhaimin menjelaskan. Kamu pasti ngelamun ya?"

"Ndak kok, mungkin cuma karena gagal fokus saja, hehe. Memangnya kapan itu bisa terjadi, Sep?"

"Ketika malam-malam ganjil setelah tanggal dua puluh di bulan Ramadan."

"Owh, jadi begitu ya," ucap Joni sambil manggut-manggut.

"Ya sudah, makasih ya, Sep, hehe," lanjut Joni.

"Asshhiyyaaapp," sambut Asep, menirukan gaya kartun Cute-Girl.

Dalam perjalanan pulang, Joni terus berpikir tentang adanya malam seribu bulan itu. Sebelumnya ia belum pernah mendengar tentang malam itu. Gurunya juga tidak pernah menjelaskan tentang malam seribu bulan. Paling hanya seputar pengetahuan tentang puasa Ramadan, syarat, dan rukunnya yang dibahas. Mungkin dapat dimaklumi, karena ia masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sekalipun demikian, ia sangat tertarik dengan hadirnya malam seribu bulan itu.

"Ah, malam seribu bulan. Pastilah sungguh indah. Pintu langit malam akan dibuka, bulatan-bulatan cahaya purnama yang banyak jumlahnya akan bertebaran di atas sana, para malaikat juga akan turun ke bumi, malam akan menjadi hidup, dan orang-orang akan keluar rumah, setiap pasang mata akan dibuat takjub dengan keindahan itu, mungkin seperti pertunjukan bunga-bunga lampion yang diterbangkan ke langit, bahkan lebih indah lagi," gumamnya.

Ia kemudian menghitung-hitung hari, "Wah, ternyata besok sudah malam ke dua puluh satu. Ini kesempatanku untuk melihat langit yang akan dipenuhi dengan bulan itu," pekiknya sangat bahagia.

Maka besoknya ia memutuskan untuk tidur di siang hari agar malamnya bisa terjaga sampai sahur dan bertemu dengan malam kemuliaan itu.

Selepas salat tarawih di malam ke dua puluh satu, Joni telah mempersiapkan diri di halaman rumah lantai dua, terjaga kalau-kalau malam ini akan terjadi malam seribu bulan. Untuk menghindari rasa kantuk, ia telah mempersiapkan berbagai macam makanan ringan. Tak lupa ia juga membawa selimut untuk melindungi dirinya dari dinginnya angin malam.

Namun jangankan bulan, bintang-bintang yang ada di langit malam itu menghilang entah ke mana, tertutup awan hitam tebal, pintu langit sama sekali tidak kunjung terbuka, hingga jam sebelas malam turun hujan sampai sahur tiba. Joni hanya bisa melihat suasana langit gelap dan rintik hujan dari balik jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Malam itu, hatinya sangat sedih sekali.

Selepas salat Subuh, Joni tidak sengaja mendengarkan percakapan ustaz Abdul Muhaimin dengan salah satu jemaah.

"Ustaz, apa benar tadi malam adalah malam seribu bulan? Saya tidak terjaga karena kelelahan," ucapnya sedih sambil menunduk.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum dan menepuk pelan bahunya, "Hanya Allah yang tahu, Mas Rahman. Tapi berdasarkan tanda-tandanya, sepertinya saya rasa tidak terjadi tadi malam, karena semalam hujan turun deras sekali. Jika saja langit cerah, tidak ada angin yang membuat daun-daun tanaman bergoyang, dan esoknya matahari bersinar lembut dan tidak begitu panas, itu mungkin adalah malam seribu bulan," terang ustaz Abdul Muhaimin.

Jemaah itupun berterima kasih atas penjelasan ustaz Abdul Muhaimin. Joni lalu menyimpulkan bahwa semalam tidak terjadi malam seribu bulan. Namun ia tetap bertekad untuk selalu terjaga pada setiap malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadan itu.

Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Malam ke dua puluh tiga, seusai salat tarawih, Joni sudah siap di atas loteng. Tak lupa ia membawa kopi panas agar bisa membuatnya terjaga sampai sahur. Kali ini malam cukup cerah. Terlihat samar-samar bintang dan bulan tunggal yang mirip pisang raja saat matang. Joni duduk sambil menatap bulan kecil itu, sesekali ia tiduran karena kepalanya terasa kaku digunakan untuk mendongak ke atas. Sampai sahur tiba, tidak ada perubahan sama sekali. Bulan hanya terlihat satu buah. Pintu langit juga tidak kunjung terbuka. Ia sempat heran, kenapa orang-orang tidak ada yang terjaga untuk memandang langit. Bukankah malam yang dipenuhi seribu bulan itu sangatlah indah? Joni menjadi bingung dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya terdengar ayahnya memanggil dari lantai satu, "Joni, bangun, Le, ayo sahur, sahur, sahur..!"

"Iya, Yah. Ini Joni sudah bangun." Ia melangkahkan kakinya dengan malas, menuruni anak tangga untuk makan sahur bersama keluarganya.

Malam itu, Joni sangat kesal. Tapi ia tak pernah putus asa. Petualangan mencari malam yang penuh dengan seribu bulan itu tetap ia lakukan di malam ke dua puluh lima dan juga malam ke dua puluh tujuh. Baginya, petualangan mencari pintu langit dan seribu bulan ini serupa perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci, seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu dan orang-orang kesayangan Tuhan. Begitu pikirnya. Namun tak ada perbedaan yang begitu nyata. Langit tetap sama seperti langit malam pada malam-malam biasa. Bahkan bulan yang ia lihat di malam ke dua puluh tujuh semakin tipis dan kekurangan cahaya, hampir saja ia tak terlihat. Joni mengembuskan nafasnya yang berat.

Selepas salat tarawih malam ke dua puluh sembilan, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ustaz Abdul Muhaimin.

"Ustaz, apakah Ustaz telah berhasil melihat malam seribu bulan itu? Saya telah terjaga pada setiap malam ganjil tapi tidak bisa melihat bulan yang berjumlah seribu itu. Malah bulan menjadi semakin kecil ukurannya. Atau apakah untuk melihatnya harus menggunakan alat bantu, Ustaz?" tanya Joni lugu. Lugu sekali.

Hening sejenak. Ustaz Abdul Muhaimin sempat tergelak dan mencoba mencerna pertanyaan bocah kecil itu. Dari sisi mimik wajahnya, bocah itu terlihat serius bertanya dan bukan bercanda.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum, dan berkata dengan tenang, "Tidak ada yang mengetahui perihal kapan datangnya malam seribu bulan itu, Nak Joni. Allah merahasiakannya agar hamba-hamba-Nya berlomba-lomba untuk menghidupkan malam dengan beribadah di setiap malam bulan Ramadan."

Belum selesai Ustaz Abdul Muhaimin berbicara, bocah kecil itu menyela, "Owh, apakah dengan beribadah kita bisa membuat malam seribu bulan itu menjadi hidup, Ustaz? Saya lihat orang tua saya tidak pernah terjaga untuk menyaksikan malam seribu bulan. Tapi mereka selalu bangun sebelum waktu sahur untuk salat dahulu," ucap Joni mencoba menerka.

"Kita melakukan ibadah bukan berarti bisa membuat malam menjadi hidup dan bangun dari singgasananya, melainkan kita sendiri lah yang harus hidup dan bangun untuk melakukan ibadah di malam itu. Malam seribu bulan itu juga bukan berarti bulan yang ada di langit akan berubah menjadi seribu, melainkan lailatul qadri khoirun min alfi syahr, yakni keutamaan malam itu melebihi seribu bulan hijriah. Seribu bulan itu kurang lebih setara dengan delapan puluh tiga tahun."

"Hehehe, maafkan saya, Ustaz, mungkin dikarenakan saya tidak begitu memperhatikan kultum Ustaz," Joni tersipu malu sembari mringis dan menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum kembali. Ia lalu berkata, "Kebenaran yang kita yakini barangkali adalah kesalahan yang hakiki, itu sebabnya kita disuruh untuk membaca segala sesuatu dengan utuh dan selesai, bukan setengah-setengah. Setiap manusia pun selalu punya impian untuk menjadi manusia seutuhnya dan bukan manusia yang tidak utuh. Bukankah begitu, Nak Joni?" canda Ustaz Abdul Muhaimin.

Kali ini Joni yang tergelak. Alisnya bertaut. Ditatapnya wajah Ustaz Abdul Muhaimin itu dengan penuh tanda tanya, "Hehe, iya, betul, Ustaz," Joni pura-pura memahami perkataan ustaz itu.

"Nak Joni yang baik, malam seribu bulan merupakan hadiah agung dari Allah kepada umat Nabi Muhammad yang usianya banyak yang tidak sampai seratus tahun sehingga tidak bisa beribadah sampai seribu bulan. Tidak seperti umat nabi-nabi terdahulu yang umurnya diberikan panjang, bahkan hingga seribu tahun. Kamu mungkin pernah mendengar kisah seorang kakek yang tekun beribadah dengan tanpa melakukan maksiat barang sedetik di balik gunung hingga ratusan tahun pada zaman umat nabi terdahulu, itu yang membuat Nabi Muhammad cemburu dan akhirnya diberilah hadiah malam seribu bulan ini kepada umat Nabi Muhammad. Dan diberikan-Nya malam yang penuh kemuliaan ini bukan berarti kita hanya tekun beribadah ketika datang malam seribu bulan saja, namun itu semua sesungguhnya sebagai sarana untuk menggapai keridaan-Nya dengan senantiasa beribadah di setiap waktu," terang Ustaz Abdul Muhaimin dengan lembut dan menenangkan.

"Baiklah, Ustaz. Terima kasih banyak atas semua penjelasannya. Di malam ke dua puluh sembilan ini saya akan berhenti memandangi bulan di langit dan menggunakan malam seribu bulan ini dengan sebaik mungkin untuk bangun dan beribadah bersama orang tua saya. Semoga kita bisa mendapatkan kemuliaan dari malam seribu bulan ini, Ustaz," Joni kemudian izin berlalu dan mengecup tangan ustaz Abdul Muhaimin dengan takzim.

"Aamiin," ucap Ustaz Abdul Muhaimin bangga.

Esoknya, pagi terasa begitu tenang dan mendamaikan. Hewan-hewan tampak bersuka cita. Bunga-bunga seperti berlomba-lomba untuk mekar. Langit bersih tanpa awan sama sekali, seperti ada yang membersihkannya semalam. Dan cahaya matahari bersinar dengan begitu teduh dan lembut. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Memoar Pohon Kersen
"Kamu pernah jatuh cinta, San?"

Waktu itu, matahari menyembul dari balik pohon-pohon kersen yang buahnya sangat lebat. Buah yang matang berwarna merah cerah, bentuknya bulat-bulat, dan rasanya manis. Ada yang menyebutnya pohon beleci, ada juga yang menyebutnya pohon keres. Setiap pagi, aku suka mengambil sejenak buah-buah itu untuk kumakan di sepanjang perjalanan. Aku berjalan bersama Zahra yang tak sengaja berpapasan di jalan. Kami bergegas menuju sekolah. Ia menanyakan perihal asing yang tak ingin kujawab. Aku hanya menggelengkan kepala. Sebenarnya, aku ingin sekali mengiya. Atau lebih tegas lagi menyatakan, dialah yang telah membuatku diam-diam jatuh cinta. Celakanya, aku bukan lelaki yang mahir berbicara. Apalagi bila itu terkait dengan perasaan. Urusan hati, aku selalu mati kutu.

"Ndak pernah?"

"Ya.."

"Biar cuma sekali?"

Kali ini, aku memilih diam.

"Berarti pernah, ya? Iya kan. Iya kan. Iya kan? Ehe."

Buru-buru aku menukas, "Ndak.."

"Nilai bahasamu pasti merah," tuding Zahra.

"Enak saja," bantahku.

"Buktinya jawabanmu selalu sama," katanya sambil tertawa. "Kalau bukan satu kata, ya dua kata. Miskin sekali kosa katamu, San."

Aku tergelak. Badanku terguncang. "Kamu?"

"Kenapa?"

"Hmm.."

"Pernah jatuh cinta?" Cecarnya.

"Bukaaan. Berapa nilai bahasamu?"

Sebuah cubitan pelan singgah di pinggangku. Kurasakan cubitan itu membuatku semakin tidak nyaman. Cubitan yang kuduga adalah isyarat bahwa Zahra juga, boleh jadi, memendam rasa yang sama denganku. Namun, buru-buru kutepis dugaan itu. Siapa gerangan gadis bodoh yang bisa jatuh hati kepada lelaki sepertiku? Kalaupun ada, pasti bukan Zahra orangnya. Dan, kekakuan yang menyiksa berlangsung semenit-dua menit.

"Aku pernah jatuh cinta," kata Zahra dengan pelan. Sangat pelan.

Debar di dadaku makin kencang.

Dia berjalan mendahului dan berbalik menghadapku. Menghalang-halangi jalanku. Aku terkesiap dan menghentikan jalan. Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun mencoba bertahan, membalas tatapannya.

"Kamu ndak tanya siapa lelaki yang membuatku jatuh cinta itu?"

Setengah terpaksa, aku bertanya. "Siapa?"

"Rahasia.." katanya sambil meleletkan lidah. Ia seakan mengolok-olokku melalui tatapannya. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Cinta di Mata Anisa
Namanya Anisa. Ia teman MTs ku dulu. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, paling sekitar dua ratus meter. Ia gadis yang ayu, namun sangat pendiam, dan jarang sekali bergaul. Ayahnya seorang petani dan juga pengarang. Di rumahnya terdapat banyak buku cerita. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku itu. Tidak banyak yang tahu tentang dirinya. Tapi tidak sedikit laki-laki yang datang ke rumahnya. Namun ia selalu saja menolaknya dengan halus. Lelaki seperti apa yang ia cari?

Setiap sore kulihat ia pergi bersama ayahnya untuk mengunjungi ladangnya yang cukup luas. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan. Mulai dari singkong, jagung, ketela, sayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Di sana ia suka sekali merawat tanaman-tanaman itu dengan memberi pupuk dan menyiraminya dengan air. Tak jarang ia memetik beberapa sayur dan buah-buah itu untuk kemudian dibawanya pulang.

Paginya, ia sering mengirim sebagian sayur dan buah-buah itu ke rumahku. Buat tambahan masak ibuku, katanya. Terkadang ia juga membawakan yang sudah masak. Aku berterima kasih. Ia tersenyum. Dan selalu seperti itu.

Saat itu, Ibulah yang menemuinya ketika ia mengantarkan sayur dan buah. Ibu memintanya agar singgah sebentar di rumah. Berbincang-bincang dengan Ibu di ruang tamu. Sedang aku disuruh untuk membuatkannya teh hangat. Saat ia akan pulang, Ibu memberikan beberapa makanan sebagai gantinya.

Ketika sarapan bersama, Ibu menerawang sesuatu di luar jendela dan berkata dengan nada yang tidak biasa.

"Anisa memang anak yang pendiam. Ia demikian karena ingin menjaga mulutnya dari menyakiti dan melukai orang lain. Dari mencela, dari menghasut, dari menggunjing, dari kalimat-kalimat yang tak semestinya keluar. Nyatanya saat ini memang, kalimat-kalimat yang keluar dari kebanyakan anak manusia adalah kalimat yang tidak baik. Bahkan sedikit sekali yang baik. Itu sebabnya ia ingin menjaga mulut dan juga tubuhnya dari api yang kelak menyala-nyala."

Hening sejenak. Sekarang barulah Ibu menoleh ke arahku dan melanjutkan.

"Anisa itu anak yang santun dan baik, Le. Keluarganya juga orang-orang yang baik dan dermawan. Dan satu lagi. Ia sangat menyukaimu."

Aku tersentak. Dadaku berdesir tak keruan.

"Hmm. Ibu ini adaaaaa saja."

Aku mengatur nafasku. Mengambil air teh ke gelas, lalu melanjutkan.

"Apakah ia mengatakannya kepada Ibu?" Tanyaku salah tingkah. Aku meniup-niup teh yang sama sekali tidak panas.

Ibu tertawa kecil melihat tingkahku.

"Tidak."

"Lalu bagaimana mungkin Ibu bisa tahu?" Sanggahku. Tidak percaya.

Ibu menjawab dengan mendekatkan suara pelan ke telingaku. Sangat pelan.

"Anakku sayang. Ibu ini perempuan." ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
 





Ajari ia menggunakan pena. Akan dituliskannya gemericik air, udara dingin, kabut senja, sampai daun gugur.

Musim gugur mempunyai kemampuan menghipnotis manusia untuk meresonansi ingatan masa lalu. Tanpa bisa mendapatkan bukti ilmiah, para ilmuan hanya bisa menyimpulkan; di dalam musim gugur ada nada yang hanya bisa di dengar oleh mereka yang merindu.

Tahukah kau, di mana kerinduan itu berada? Kau akan mengetahuinya, jika pada pagi hari jatuh beribu-ribu mahkota bunga berwarna kuning keemasan dari pohon-pohon di sepanjang jalan satu arah yang membelah jantung kabupaten Tuban. Ya, di jalan Basuki Rahmat yang setiap pagi dilewati dan dipelajarinya. Entah apa nama bunga dan pohon-pohon itu. Para petugas kebersihan pun sampai kualahan membersihkannya setiap pagi. Konon di jalan ini, malaikat penebar rahmat sedang memeluk bumi wali ini penuh kasih dengan kemilau sayapnya yang luas itu dari atas sana, hingga beribu-ribu kepingan lembut berwarna kuning berguguran setelah sayap itu dikibaskan perlahan. Membuat permukaan tanah menjadi kuning. Mungkin kau kira, ia adalah laki-laki pembual yang kata-katanya tak pernah bisa dipercaya. Terserah apa katamu. Peristiwa semacam ini, hanya bisa disaksikan oleh mereka yang rindu.

Dan ketika gerimis mahkota bunga itu terasa hingga ke bulu-bulu matanya, ada yang meleleh dari sendu seorang laki-laki yang biasa itu. Saat itulah ia seperti dapat melihat surga dari bawah langit ketika sayap malaikat itu berkibas. Sungguh indah, bentuknya menyerupai istana megah dengan cahaya keemasan. Ada yang tiba-tiba berdenyut dalam dirinya. Mengajaknya membaca setiap gerak peristiwa yang terjadi. Melodi yang dinyanyikan ribuan mahkota bunga itu, menembus dinding-dinding jiwanya yang begitu damai. Sedang matahari memaksanya untuk menciptakan cahaya demi cahaya.

Sampai saat ini, kenangan itu tetap saja bermusim gugur dalam ingatannya, meskipun terkadang hatinya terasa diterpa dingin salju ketika mengingatnya. Ingin diraba lagi satu nama, yang pernah ada di dalam hatinya.

Tanah kelahiran, 30.09.18.
Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Perjalanan Rindu yang Indah
Turun dari taksi, Putri ragu-ragu memasuki gang yang ada di pinggir jalan dekat pasar itu. Hari sudah sore. Langit hitam. Sebentar lagi pasti turun hujan. Putri mencoba mengingat-ingat. Ia yakin tidak salah turun. Warung yang ada di seberang jalan itu adalah ancar-ancarnya. Dan rumah Dimas, sahabat yang dicari-carinya itu, pasti ada di dalam gang, di depan warung itu.

Putri heran, gang itu sudah berubah. Di depannya berdiri gapura megah. Rumah-rumah yang berderet di dalamnya juga banyak yang berubah. Dulu, gang itu selalu becek bila turun hujan. Sekarang beraspal mulus. Dulu penghuninya miskin-miskin, kini rata-rata rumah mereka bertembok rapi, bahkan beberapa di antaranya bertingkat. Di gang itulah Dimas, sahabat kuliah yang pernah menjadi kekasihnya dulu itu, tinggal. Di situ ia dulu pernah menumpahkan kegelisahan hatinya saat hidupnya dilanda kemelut antara memilih dan dipilih.

Gang Kauman, demikian nama jalan setapak yang hanya bisa dilewati satu mobil itu, tiba-tiba membersitkan kenangan aneh dalam dirinya. Kenangan yang membuat hatinya tiba-tiba begitu sepi seperti di ujung kutub. Mengapa? Entahlah, ia sendiri tak mengerti. Gang itu ia rasakan bagai lorong panjang yang tak bertepi. Setidaknya, di gang itulah dulu ia pernah berjalan bersama dengan Dimas untuk pertama kalinya di bawah cahaya bulan purnama. Sebuah kenangan indah yang takkan terlupakan. Dan sekarang entah mengapa pula, untuk memasuki gang itu kembali, Putri menjadi ragu-ragu. Mungkinkah Dimas masih mengenalinya.

Untuk meyakinkan perasaannya, Putri menghampiri tukang rokok di warung itu. Menanyakan alamat rumah Dimas.

“Dimas? Oh, pengarang yang menjadi wartawan itu, ya? Itu rumahnya, yang bertingkat dan bercat putih!” tunjuk tukang rokok itu ke arah rumah bertingkat.

Mata putri mengekor, mengikuti arah telunjuk tukang rokok. Ia mengangguk-angguk. Ah, rumahnya sudah bertingkat rupanya, batin Putri. Betapa cepat perubahan ini terjadi. Secepat perjalanan waktu yang kadang tak bisa diajak kompromi. Setelah mengucapkan terima kasih, Putri meninggalkan tukang rokok itu.

Sudah berapa tahun ia tak ke sini? Sepuluh tahun, sebelas tahun, dua belas… atau ah, mungkin lebih dari itu. Putri tak tahu persis. Ia tak sempat lagi menghitung-hitung hari, apalagi mencatat tanggal perjumpaan terakhir dengan sahabatnya itu sejak ia memutuskan menikah dengan Zainal, seorang pengusaha kaya yang berhasil merebut hatinya. Lima tahun sudah ia hidup berumah tangga dengan pengusaha itu, sebelum akhirnya mahligai perkawinan mereka hancur berantakan begitu diketahuinya Zainal selingkuh. Diam-diam, ternyata ia mempunyai istri simpanan. Pengkhianatan ini teramat melukai hati Putri. Sulit untuk memaafkannya. Tapi, Putri sudah terlanjur dikaruniai dua anak. Ia mencoba hidup mandiri. Kesibukan kerja telah membuatnya terbenam dalam kesuntukan sehingga ia tak memikirkan lagi soal cinta.

Dan Dimas, sudah berapa anaknya sekarang? Apakah ia jadi menikah dengan artis sinetron yang pernah diwawancarainya itu? Ah, rasa rindu tiba-tiba berkecamuk  dalam dada Putri. Dalam keadaan suntuk seperti ini, entah mengapa tiba-tiba ia teringat Dimas. Teringat seperti dulu, ketika setiap kali mengalami kebuntuan, ia selalu ingin cepat-cepat menemui Dimas untuk menumpahkan segala beban pikirannya. Betapa ia ingin berbincang-bincang seperti dulu lagi dengan mantan kekasihnya itu saat mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa di kampus tercinta yang terletak di pinggir kota itu. Mungkinkah Dimas masih mengenalnya? Mungkinkah Dimas masih mau menerimanya sekedar untuk menyambung tali persahabatan? Lagi-lagi, Putri mengalami keraguan ketika ia mendekati rumah yang cukup besar itu.

Rumah itu terlihat sunyi dari luar, seperti tak berpenghuni. Ataukah memang sudah ditinggalkan penghuninya? Putri segera menekan bel yang berada di pojok pagar, begitu ia berdiri di depannya. Sebentar kemudian, seorang lelaki tua keluar dari dalam rumah menyambut kedatangannya.

“Kaukah yang bernama Putri Senja?” tanya lelaki tua itu tiba-tiba setelah Putri menerangkan maksud kedatangannya.

Pertanyaan yang mendadak itu, membuatnya terheran-heran. “Betul, Pak. Saya Putri Senja. Sahabat Dimas waktu kuliah,” akhirnya Putri menerangkan.

“Sayang, rumah ini sudah dijual, Nak. Baru tiga bulan lalu.”

“Dijual…?” Putri terhenyak. “lalu… Dimas pindah ke mana, Pak?

“Ia tidak memberi alamat yang baru,” jawab lelaki tua itu.

“Ahh…,” Putri mendesah kecewa. “Maaf, Bapak siapa?” tanyanya kemudian, berusaha mengalihkan kekecewaannya.

“Saya penjaga rumah ini. Sejak Dimas menempati rumah ini, saya yang menjadi tukang kebunnya. Ketika rumah ini berganti pemilik, ternyata saya masih dipercaya menjadi tukang kebun di sini.”

“Kalau begitu, tentu Bapak tahu keadaan terakhir Dimas?”

“Belakangan, dia sering sakit-sakitan.”

“Sakit-sakitan?” Putri membelalak.

“Dia terserang paru-paru.”

Putri kembali mendesah. “Lalu, bagaimana dengan anak istrinya?” tanya Putri kemudian.

“Anak Istri…?” ganti lelaki tua itu yang heran. “Yang saya tahu, dia itu masih hidup sendiri, Nak. Membujang,” terang lelaki tua itu.

Putri terhenyak. Ia seperti tak percaya mendengar ucapan lelaki tua itu. Dimas masih hidup sendiri? Membujang? Benarkah demikian? Mengapa? Ada apa dengan Dimas? Ah, sepuluh tahun lebih, mereka berpisah. Putri sudah memiliki dua anak, tapi Dimas masih hidup sendiri. Betapa ini sulit dipercaya. Ya, mengapa? Ada apa dengan Dimas? Mengapa ia masih membujang? Kembali Putri dibuat bertanya-tanya. Namun, pertanyaan itu semakin menumbuhkan taka-teki dalam dirinya tanpa pernah ia ketahui jawabannya. Lalu, dengan perasaan lesu, akhirnya Putri pamit meninggalkan rumah itu.

“Tapi, nanti dulu, Nak!” tiba-tiba lelaki tua itu mencegah.

Putri berhenti sejenak. Tak jadi pergi.

“Apakah benar, engkau yang bernama Putri Senja?”

Putri memandang lelaki tua itu dengan tatapan tajam bercampur heran. Tapi, pandangan itu cukup sudah sebagai tanda jawaban.

"Tunggu sebentar! Dimas meninggalkan sepucuk surat untukmu." Dengan cepat, lelaki tua itu masuk, mengambil sepucuk surat. Sebentar kemudian, ia muncul kembali dan menyerahkan surat itu  kepada Putri. “Ia Cuma berpesan, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, saya disuruh menyerahkan surat ini kepadanya.”

Entah mengapa, tangan Putri gemetar ketika menerima surat itu. Setelah itu, ia cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Sesegera, ia memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Langit yang sejak tadi mendung, tiba-tiba menurunkan hujan dengan lebatnya. Putri berlari-lari kecil menyetop taksi. Bajunya basah kuyup.

***

“Putri Senja. Saat membaca suratku ini, kau pasti kecewa karena tak berjumpa denganku. Aku memang sudah pindah. Tapi, aku yakin suatu saat kau akan kembali. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Hari-hari belakangan ini, aku merasa pertemuan kita sudah dekat. Musim kemarau yang panjang sebentar lagi terhapus oleh datangnya musim penghujan, dan bunga-bunga akan kembali bermekaran…!”

Demikian bunyi surat Dimas ketika Putri membacanya di rumah. Hanya satu paragraf, tak lebih. Dan Dimas tidak meninggalkan alamat rumahnya yang baru. Putri dibuat penasaran. Apalagi kalimat terakhir yang ditulis Dimas begitu puitis dan seperti mengandung misteri. Ada apa dengan Dimas? Ke mana ia pindah? Dan ke mana pula aku harus mencari sahabat karib sekaligus mantan kekasih pertamaku itu?

Tiba-tiba, Putri teringat bahwa Dimas bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah terkenal. Tentu ia ada di sana. Keesokan harinya, Putri mencoba mendatangi kantor majalah itu.

“Apakah Anda yang bernama Putri Senja?” tanya sekretaris majalah itu ketika Putri menanyakan Dimas.

“Betul. Saya dulu sahabat karibnya waktu kuliah. Sudah sepuluh tahun lebih, kami berpisah,” jawab Putri.

“Sayang, dia sudah keluar dari majalah ini, tiga bulan yang lalu,” terang sekretaris itu.

Putri mendesah kecewa. “Dia pindah ke mana, mbak?”

“Itulah, dia tidak memberi tahu pindah ke mana dan juga tidak meninggalkan alamat yang bisa dihubungi. Dia baru saja sembuh dari sakit, setelah berbulan-bulan terbaring di rumahnya. Setelah itu, dia memutuskan berhenti dari majalah ini. Dia hanya berpesan pada saya, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka saya disuruh menyerahkan titipannya.” Sekretaris itu membuka laci mejanya, mengambil sesuatu. “Ia meninggalkan surat ini untuk Anda,” katanya kemudian sambil menyerahkan sepucuk surat pada Putri.
Putri lagi-lagi terhenyak. Tangannya gemetar ketika menerima surat itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia buru-buru pulang.

***

“Putri Senja, saat membaca suratku ini, pasti kau kecewa karena tak berjumpa denganku. Ku yakin bahwa suatu saat, kau pasti datang ke kantorku untuk menemuiku. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Aku memang sudah pindah. Lima belas tahun aku bekerja menjadi wartawan, kurasa pengabdianku cukup. Setelah lama kiranya menulis segala peradaban yang terbentang di alam semesta raya ini, sekarang, aku ingin hidup dengan tenang. Giliranku kini menuliskan kisah hidupku sendiri. Aku akan menulis sebuah kisah perjalanan rindu yang indah…”

Demikian surat yang ditulis Dimas. Lagi-lagi, Cuma satu paragraf, tak lebih. Dan lagi-lagi, Dimas tidak meninggalkan alamat pada suratnya itu juga nomor telepon atau HP yang bisa dihubungi. Dimas seolah sengaja menyembunyikan teka-teki yang membuat Putri bertambah penasaran. Apa maksud dia meninggalkan surat-surat itu? Lalu, ke mana aku harus mencari mantan kekasihku yang belakangan ini tiba-tiba kembali mengusik alam pikiranku?

Otak Putri berpikir keras. Dikenangnya kembali kisah perjalanan dirinya dengan Dimas selama ini, sejak mereka bertemu di kampus, hingga akhirnya Putri memutuskan menikah dengan Zainal. Dan sejak Putri menikah, Dimas memang tidak pernah lagi menemui Putri, begitu pula sebaliknya. Perpisahan mereka meninggalkan sebuah teka-teki panjang yang tak pernah terselesaikan. Benarkah selama ini mereka saling mencintai?

Ah, Dimas. Lelaki tinggi kurus berkulit sawo matang itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Tapi, Putri tetap yakin, bahwa Dimas memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi, inilah yang membuat Putri mengaguminya. Dimas pantang menyerah dalam melawan ganasnya kehidupan kota.

Tiba-tiba, Putri teringat riwayat hidup Dimas yang pernah diceritakan kepadanya. Umur lima tahun, ia ditinggal mati oleh ayahnya. Dimas lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama Ibu, kakek dan neneknya di desa. Setelah besar, ia pergi ke kota, kuliah dan akhirnya menjadi wartawan. Dari sekian keluarganya, hanya Dimas yang meneruskan hidup di kota. Mungkinkah Dimas sekarang ini pulang ke kampung halamannya? Ya, siapa tahu.

Keesokan harinya, Putri mengambil cuti dari kantor. Ia membeli tiket pesawat terbang menuju kampung halaman Dimas yang terletak di seberang pulau. Dulu, waktu libur kuliah, Putri bersama teman-temannya pernah diajak Dimas ke kampung halamannya itu. Ia diperkenalkan kepada Ibu, kakek, dan neneknya. Kini Putri yakin, Dimas pasti berada di kampung halamannya itu.

Turun dari pesawat, Putri harus naik bus beberapa kali menuju perkampungan Dimas yang terletak di kaki sebuah gunung. Bus menempuh jalan berliku, menembus hutan dan melewati sawah-sawah. Turun dari bus, ia masih harus berjalan kaki lagi untuk mencapai daerah pedalaman. Akhirnya, sore harinya, sampai juga ia. Ah, desa yang dimasukinya itu masih tetap sunyi seperti dulu. Tapi, di kesunyian itulah Putri menemukan kedamaian dan ketenangan. Alangkah jauh bedanya dengan kehidupan kota yang hiruk-pikuk. Putri kadang tak habis pikir, mengapa orang-orang desa yang tinggal di daerah setenang ini banyak yang memilih merantau ke kota yang sudah padat dan gaduh. Apa yang mereka kejar di sana?

“Apakah engkau yang bernama Putri Senja?” Kedatangan Putri disambut oleh wanita tua yang langsung bertanya demikian kepadanya. Ditatapnya wajah tua yang kulitnya mulai keriput itu. Dan Putri mengenalnya, wanita itu adalah ibu Dimas.

“Benar, Bu. Saya Putri Senja, sahabat Dimas waktu kuliah di kota. Sudah sepuluh tahun lebih, kami tak saling jumpa. Kemarin saya ke rumahnya yang berada di dekat pasar Kauman, ternyata rumah itu sudah dijual. Lalu saya cari ke kantornya, tapi katanya ia sudah pindah. Dimas Cuma meninggalkan surat-surat kepada saya, namun dalam suratnya ia tak memberi tahu alamatnya yang baru. Akhirnya saya punya keyakinan, pasti dia kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya saya datang kemari,” demikian Putri menjawab.

Ibu tua itu tiba-tiba tertunduk. Wajahnya mendadak menyendu. Lalu, dengan suara serak ia berkata, “Ia memang telah kembali ke kampung halamannya, Nak, dan pasti ia akan kembali, sebab di sinilah ia dilahirkan, dan dari sini pula ia mengawali pengembaraannya. Tapi sayang, kedatanganmu sedikit terlambat…”

“Sedikit terlambat?” Putri terperanjat.

“Ya, ia telah kembali berangkat mengembara yang lebih panjang lagi. Baru kemarin pagi ia meninggalkan desa ini…”

“Oh…,” Putri mendesah kecewa. Benar-benar kecewa. Intuisinya memang berjalan dengan baik, tapi ia selalu terlambat. Ya, mengapa ia selalu terlambat? Putri sejenak terdiam dan bungkam. Ah, kalau saja ia berangkat lebih awal, tentu ia dapat bertemu dengan Dimas.

“Jangan bersedih, Nak Putri. Sebelum berangkat, Dimas sempat menulis sepucuk surat untukmu. Ia berpesan kepada Ibu apabila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka Ibu disuruh menyerahkan surat itu kepadanya. Sebentar, Ibu ambilkan, ya?!” Ibu tua itu segera masuk. Sebentar kemudian, ia telah kembali menyerahkan sepucuk surat kepada Putri.

Tangan Putri gemetar menerimanya. Setelah itu, Putri buru-buru pamit untuk kembali ke kota.

***

Di atas pesawat Putri membuka surat Dimas.

“Putri Senja, tibalah engkau membaca lagi suratku, dan pasti engkau kecewa karena lagi-lagi tak menjumpaiku. Ku yakin kau pasti datang ke kampung halamanku untuk menemuiku. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Sepuluh tahun lebih kita tak bertemu. Setelah engkau menikah, engkau tak pernah menemuiku kembali atau sekedar berkirim kabar. Bukan salahmu. Perputaran kota yang demikian sibuk kadang bisa melupakan segalanya. Mungkin arti persahabatan, kasih sayang, dan ketulusan telah kehilangan makna di kota, tergilas oleh derasnya arus kehidupan. Tapi, aku tidak akan pernah lupa kepada arti persahabatan, ketulusan, kasih sayang, dan cinta. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu karena ku yakin suatu saat, kau pasti datang ke kampung halamanku. Tapi inilah suratku yang terakhir untukmu, sebab setelah hari ini kau pasti takkan pernah menemuiku lagi. Kini aku telah menjadi pengembara abadi…”

Putri gemetar membaca tulisan itu. Dadanya berdegup kencang. Ia diselimuti berbagai keheranan sekaligus teka-teki oleh bunyi surat itu surat itu. Dimas telah menjadi pengembara abadi? Apa maksudnya? Sementara itu, di kejauhan sana, ibu Dimas terisak dan menitikan air mata begitu melihat keberangkatan Putri yang ingin kembali ke kota. Ibu tua itu sengaja tidak mengatakan kepergian Dimas yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan pesan Dimas sebelum anaknya itu pergi untuk selama-lamanya.


(Untuk cinta yang tidak pernah mati).
Malang, Maret - April, 2018.
Mukhammad Fahmi.

Ayunan itu berderik semakin keras. Bunyinya terdengar seiring dorongan badan Putri. Mata indah Putri tertutup rapat menikmati sore yang dinantinya. Badannya terdorong jauh melambung dan terus terayun semakin tinggi. Putri ingat burung kecil yang dilihatnya seminggu lalu di ranting pohon besar yang ada di taman kompleks perumahan itu. Sayapnya yang kecil diangkat berkali-kali. Namun burung kecil itu tetap saja ragu, padahal sang induk telah berulang kali meyakinkannya. Mendahuluinya terbang dengan sempurna. Mata bulat Putri terus mengingat pemandangan itu. Setiap kali badannya terangkat naik, ia membayangkan seolah-olah ia adalah burung kecil itu.

Terbanglah Putri! Biarkan dirimu menyentuh atap langit. Ketuklah hati Tuhanmu. Terbanglah!

Angin sore mempermainkan kerudungnya. Pikiran Putri terus bermimpi membayangkan dirinya sebagai burung.

“Aduh, anak itu sebentar lagi pasti jatuh!” Seru seorang ibu dari seberang taman. Sebentar saja, aksi Putri di ayunan menjadi tontonan warga kompleks perumahan itu. Wajah mereka memancarkan kengerian sekaligus kecemasan setiap kali ayunan itu berderik.

“Hai, Nak, turunlah! Kau akan mencelakakan dirimu dan orang lain dengan ayunan itu.”

“Ahhhh…!” Riuh kecemasan warga terdengar semakin keras.

“Kita harus bertindak sebelum anak itu jatuh!” Seru salah seorang bapak dari kumpulan orang-orang itu.

Putri sepertinya tidak takut jatuh, padahal ayunannya berayun amat tinggi. Ia ingin terbang tinggi di langit dan bernyanyi dengan kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Putri terus mendorong. “Lihatlah Tuhan, aku akan belajar terbang!” Hatinya memekik girang. Tangannya satu per satu mulai dilepaskan dari pegangan.

Putri kaget bukan main ketika ayunannya tersentak keras dan tubuh kecilnya ditarik kasar. Matanya terbelalak ketakutan. Begitu banyak orang berkerumun dan semua memandangnya marah. Apalagi bapak tadi yang telah menghentikan aksinya terus berbicara dengan sorot mata yang tajam. Pahamlah Putri, bahwa tindakannya tidak disukai. Ia merasakan tangan bapak itu mendorong punggungnya amat keras, keluar dari taman. Ingin sekali Putri berbicara, tapi ia bingung bagaimana caranya. Warga pun bubar. Tinggallah Putri memandang kosong ayunan yang terus bergerak, makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti.

Sinar matahari sore menyapanya lembut, menghibur hati gadis kecil yang gundah. Kepala Putri mendongak, menatap langit yang terasa jauh. Matanya terasa pedih. Hatinya terluka. Dan ia pun menangis. Mimpinya untuk bisa terbang mengelilingi angkasa raya tidak menjadi kenyataan. Padahal, ia ingin seperti burung, bisa terbang dan tidak perlu berbicara. Mereka hanya bernyanyi dan orang-orang akan menyukainya.

Kakinya melangkah menjauhi taman, menyeberangi jalan dan terus menuju sebuah masjid yang telah ramai oleh celoteh anak-anak sebayanya. Langkahnya yang kecil berlari menyongsong dua anak berkerudung biru yang baru keluar dari masjid. Putri berusaha menjejeri langkah kakaknya yang terus berbicara dengan temannya, tak memperhatikan Putri sama sekali. Kian lama Putri kian jauh tertinggal. Putri memandang punggung kakaknya letih. Sore itu, Putri sangat sedih.

***

Udara terasa dingin. Hujan masih menyisakan kehebatannya. Jalan-jalan basah dan selokan tak mampu lagi menampung air. Air meluap memenuhi sebagian badan jalan. Begitu kuasa Tuhan menurunkan air. Kaki Putri lincah berjingkat-jingkat menghindari genangan air. Badannya yang kecil kerepotan membawa payung yang ukurannya jauh lebih besar dari badannya.

Putri berusia enam tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di belakang perumahan pinggiran perkebunan teh. Ayahnya sudah tiada karena kecelakaan empat tahun yang lalu. Ibunyalah yang selama ini bekerja untuk makan dan hidup mereka, dengan menjadi pemetik daun teh.

Putri menghabiskan sebagian besar hidupnya di rumah. Terkadang ia keluyuran melihat dan menikmati alam. Seperti kemarin, Putri mencoba ayunan di taman kompleks. Putri kecil tidak pernah bermain dengan teman sebayanya karena tak seorang pun memedulikan ia. Tidak juga kakaknya. Ia hanya bermain dengan ibu dan teman-teman khayalannya. Namun Putri sangat gembira jika ibu menyuruh menjemput kakaknya di masjid kompleks. Seperti sore itu, dengan berbekal payung ia menyusuri jalan. Badannya yang kecil tertutup payung kuning besar.

Angin berhembus mempermainkan payungnya ke kiri dan ke kanan. Berat rasanya berpegangan, tapi tangan kecil itu tak menyerah. Tinggal beberapa langkah lagi ke masjid besar itu. Jendela serta kubahnya yang lebar dan putih menerangi hatinya. Putri sangat suka memandanginya. Dengan cara itulah, Putri menyapa rumah Allah. Cukuplah Putri menyapa dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba payung besarnya terlepas. Putri kaget, namun angin telah menerbangkan payungnya jauh. Ia pun menangis, bahunya berguncang hebat.

“Apakah ini payungmu, Adik manis?” Sebuah tangan mengusap air mata Putri sambil memberikan payung itu pada Putri kecil yang terperangah kaget. Putri menatap sosok lelaki tinggi yang tersenyum itu. Hatinya berbunga. Dipersembahkannya senyuman paling manis sebagai tanda terima kasih.

“Adik tidak mengaji?”

Putri tak acuh. Ia memalingkan muka kesalnya ketika sosok lelaki tadi terus berbicara dan dirinya tidak mengerti sama sekali. Barulah lelaki bersarung kotak-kotak itu menebak, dan tebakannya benar. Gadis kecil di hadapannya tak bisa mendengar. Putri terlahir bisu dan tuli.

Lelaki itu mulai menggerakkan tangannya sebagai isyarat secara perlahan. Putri menggeleng putus asa. Ia punya cara tersendiri untuk menyuarakan isi hatinya atau diam sama sekali. Kepalanya terus menggeleng untuk menegaskan bahwa ia tidak mengerti isyarat sedikit pun. Tangannya menunjuk ke arah masjid. Usaha Putri membuahkan hasil. Lelaki itu paham maksudnya dan membantunya menuju masjid.

Putri tak bisa melukiskan apa yang dirasakannya saat itu. Baru kali ini ada orang yang mengerti dirinya, selain ibunya. Hatinya mengatakan bahwa lelaki itu baik hati dan bisa dipercaya. Putri menggenggam tangan itu erat. Mereka berdua tersenyum. Sore itu Putri sangat gembira.

***

Putri menggerakkan jari jemarinya perlahan, menyusun bahasa hati yang ingin disampaikan pada ibunya. Sesekali perempuan di hadapannya itu memperbaiki dan memberi contoh.

“Saya bangga dengan ketekunannya, Bu!”

“Ibu juga tidak menyangka, Neng Sahira. Anak Ibu sebetulnya cerdas sekali. Ia mempunyai impian agar bisa berbicara walaupun pakai isyarat. Ibu tidak tahu harus bagaimana cara mengajarinya. Ibu cuma bisa memberi kasih sayang saja,” tutur Ibu Putri pada Neng Sahira.

“Alhamdulillah, kebetulan saya juga menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Saya mengerti bahasa isyarat dan insya Allah saya bisa mengajari Putri.”

“Syukur kalau Putri bisa mengerti. Makasih banyak ya, Neng!” ujar Ibu Putri sambil mengusap air mata dengan sudut kerudungnya.

Neng Sahira adalah istri dari lelaki yang dijumpai Putri kemarin sore. Ia mendapat kabar dari suaminya. Lelaki itu sangat prihatin kepada gadis kecil itu yang tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian khusus. Oleh sebab itu, perempuan itu langsung mengunjungi rumah gadis kecil pagi itu dan bermaksud untuk mengajak Putri belajar di sekolahnya.

“Kalau Ibu punya waktu, Ibu juga bisa ikut belajar. Putri pasti senang bisa mengobrol banyak dengan Ibu.”

“Iya sih, Neng. Ibu sangat ingin, tapi waktunya belum ada.”

Putri memegang tangan ibunya yang kasar, menggenggam dan menyentuhkan pada dadanya. Wajahnya terlihat gembira.

“Apa katanya, Neng Sahira?”

“Putri sangat sayang pada Ibu.” Arti gerakan tangan itu sudah membuat hati Ibu Putri hancur dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Ibu juga sayang sama Putri. Ibu… Ibu akan belajar bahasa Putri supaya kita bisa mengobrol banyak.” Ibu Putri memeluknya erat.

***

Sejak Putri belajar bersama Neng Sahira, hatinya bernyanyi lebih riang. Tangannya terus bergerak menyusun bahasa hati dan menyebarkan rasa sayangnya yang selama ini hanya dipahami sahabat-sahabat khayalannya saja. Ia menyapa langit, angin, hewan, dan bunga-bunga liar yang ditemuinya di perkebunan, tempat ia bermain dan menghabiskan waktunya saat sore.

“Oh lihat, saya sudah bisa bicara. Assalamu'alaikum, Pak Belalang. Bagaimana tarianmu hari ini? Indah, bukan? Apakah kau melihat burung kecil yang sedang belajar terbang? Sudah jauhkah ia? Oh, sayang sekali saya tak bisa menyapanya lagi,” celoteh Putri riang.

“Lihat Neng Sahira, semut itu bergotong-royong membawa remah makanan. Mereka berbaris rapi dan selalu saling menyapa setiap kali bertemu.”

“Subhanallah, Allah telah memberikan keistimewaan pada tiap-tiap makhluk yang diciptakan-Nya.” Kata Neng Sahira kala itu.

“Mmmmm… Kalau begitu, apa keistimewaan saya, Neng?”


Neng Sahira berpikir sejenak kemudian menjawab tenang sekali. “Oh, banyak. Salah satunya, gadis manis ini sangat baik hati dan pintar sekali mengungkapkan perasaannya. Jari-jemari yang diberikan Allah membuatnya istimewa. Ia berbicara dengan itu. Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Cuping hidung Putri mekar. Hatinya bangga. Ia sangat menyayangi Neng Sahiranya. Putri belajar banyak hal. Kini, ia belajar cara lain untuk menyapa Allah dan rumah-Nya. Neng Sahira mengajarinya berdoa dan membaca alquran. Putri ikut mengaji pula di masjid dengan cara yang berbeda dari anak lainnya. Ia belum pernah mendengar bacaan ayat-ayat alquran, tapi ia senang mempelajarinya. Wajah mungilnya berhias kerudung merah muda, cantik dan manis sekali.

“Kata Neng Sahira, di akhirat nanti saya bisa bicara. Tidak hanya mulutku, tapi juga mataku, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Aku bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?” tangan Putri berhenti sesaat. Ibunya tersenyum mengiyakan walau pun dalam hatinya ada banyak hal yang tak ia mengerti.

Kebahagiaan Putri bertambah tatkala kakaknya mulai mengajaknya bermain di halaman bersama teman-teman lainnya. Senyum Putri terus mengembang dan bertambah lebar. Nyanyian hatinya kian bergema memenuhi rongga jiwa dan seluruh alam. Jemarinya lincah berkata-kata. Banyak ilmu yang ia dapatkan kini.

***

“Apa yang Putri pinta saat ulang tahun nanti?” Tanya Neng Sahira pada Putri.

“Saya ingin sekolah sampai tinggi seperti Neng Sahira dan Mbak Ri. Saya punya permintaan lain. Boleh tidak?”

“Boleh saja. Mintalah sebanyak yang Putri mau.”

“Kalau begitu, saya… ingin bisa mendengar walau pun cuma satu hari. Apakah Allah akan marah jika Putri minta itu?”

“Insya Allah tidak. Mengapa?”

“Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak bersyukur?”

“Tapi permintaan itu tidak ada salahnya.”

“Kalau begitu, Putri berharap Allah akan mengabulkan.”

“Jika Putri bisa mendengar, apa yang akan Putri lakukan?”

“Putri akan menyapa burung kecil, sahabat Putri.”

“Burung?”

“Iya, burung. Burung kecil itu selalu bertengger di pohon taman kompleks. Putri tahu suaranya indah dan merdu. Tapi sayang, Putri tidak bisa mengatakan betapa indah dan merdu suaranya karena tidak pernah mendengarnya. Burung itu pun tidak punya tangan. Kami tidak bisa saling menyapa.”

“Neng Sahira yakin burung itu mengerti betapa Putri menyukai nyanyiannya. Buktinya, ia tetap berkicau.”

“Neng, seperti apa sih enaknya mendengar?”

Neng Sahira tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memeluk Putri. Semoga Allah mengabulkan doa anak ini, pintanya tulus.

***

Beberapa bulan kemudian Putri berulang tahun. Neng Sahira lama pergi ke luar negeri bersama suaminya untuk tugas penelitian. Di sana tak lupa ia membelikan alat bantu dengar sebagai hadiah yang sangat diinginkan Putri. Neng Sahira membayangkan seperti apa reaksi Putri. Mungkin dengan cara inilah doa Putri dikabulkan Allah. Begitu banyak yang mau membantu biaya sekolah Putri tatkala cerita tentangnya dimuat di media massa. Alhamdulillah, sesungguhnya jika Allah berkehendak, tak ada yang mampu menghalanginya.

Namun kejutan itu tidak bisa dinikmati Putri. Putri Senja yang ditemui Neng Sahira hanyalah seorang anak yang menunggu ajal. Sinar mata Putri redup.

“Maaf, Bu. Saya baru bisa datang hari ini. Bagaimana Putri bisa seperti ini?”

“Ibu yang salah, Neng. Putri memanjat pohon besar di taman kompleks. Katanya, ia ingin mendengar kicauan sahabat kecilnya. Dia bilang, jika lebih dekat mungkin ia bisa mendengar. Ibu sudah berusaha mencegah, tapi Putri begitu keras kepala. Akhirnya Ibu biarkan saja ia melakukannya. Dan… ah, musibah itu terjadi. Saat Putri makin dekat, burung itu kaget dan kemudian terbang. Putri berusaha menangkapnya tapi tidak berhasil dan ia terjatuh! Tangannya patah, sedang Ibu tidak punya uang untuk ke dokter. Putri tidak bisa lagi menggerakkan jarinya. Karena sangat kecewa, ia tidak punya semangat hidup lagi. Ia jadi sering sakit-sakitan, sementara uang Ibu sudah benar-benar tak bersisa. Ibu tidak tahu ke mana harus menghubungi Neng. Kami pasrah, jika ini yang terbaik bagi Putri,” Ibu Putri menjelaskan. Pipinya yang cekung basah oleh air mata. Ia tak mampu lagi menahan rasa sedih yang dideritanya.

“Tapi, Bu…”

“Ibu berterima kasih atas kasih sayang dan jerih payah Neng Sahira selama ini. Maaf, Putri jadi merepotkan semua.”

“Bu… Putri pernah mengajukan permohonan di hari ulang tahunnya. Ia sangat ingin tahu rasanya mendengar. Saya mohon, Bu. Izinkanlah ia mencoba alat bantu dengar ini. Putri pasti senang sekali…”

Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia membiarkan Neng Sahira untuk memakaikan alat itu pada telinga Putri.

Permintaan Putri pun menjadi kenyataan. Dan ia bisa mendengar! Putri tersenyum manis tatkala syahadat itu terdengar di telinganya. Itulah kata pertama dan terakhir yang ia dengar. Sepertinya Allah hanya rida kalimat tauhid itu saja yang memenuhi gendang telinga Putri.

“Di akhirat nanti saya bisa bicara, Bu. Tidak hanya mulut saya, tapi juga mata saya, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Saya bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?”

Kata-kata Putri kembali terngiang di telinga perempuan itu. Terbayang mata kanak-kanak Putri yang berbinar saat mengungkapkannya, menggambarkan sejuta bahagia yang ia rasakan.

Gadis yang terlahir bisu dan tuli itu tak pernah mati di hati orang-orang yang mencintainya. Elegi sunyi dan kasih sayang Putri membuatnya istimewa.


Mukhammad Fahmi.

Memoar Biru
Oleh: M. Fahmi

Biru memandang ke arah lautan. Biru laut terhampar di hadapannya. Lepas ia memandang, awan putih membentuk gumpalan-gumpalan dan sang mentari bersembunyi di baliknya. Angin bertiup semilir membelai rambutnya perlahan. Aroma laut mengingatkan akan masa lalunya. Ia berdiri di atas karang yang kokoh tegak ribuan tahun menahan terjangan ombak. Ia semakin larut dengan fikiran-fikirannya, lamunan-lamunannya, angan-angannya, dan semua yang ada di benaknya. Debur ombak di sela batu karang dan ikan-ikan berkejaran menikmati segarnya laut. Tiba–tiba ia dikejutkan dengan suara yang mengalahkan halilintar. Sampai pada akhirnya ia terbangun dari mimpi. Ia menatap seorang lelaki berdiri tegak di hadapannya, sambil membawa semprotan berisi air siap untuk menyiramnya. “Ampun Mas, ampun Mas! Dingin!”, air membasahi wajahnya dan ia segera berlari untuk wudlu.

Merupakan kesialan sekaligus keberuntungan baginya mempunyai ketua kamar sekaligus pengurus pondok PP. Bahrul ‘Ulum yang setiap pagi selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Ia harus berhadapan dengan manusia yang luar biasa tangguh dan tak terkalahkan. Dengan segala perlengkapan semprotan berisi air di tangan kirinya, dan kayu menjalin yang hampir tak pernah lepas dari tangan kanannya. Begitulah cara Mas Syamsul menyapa para santri tiap pagi, jika ada santri yang masih tertidur pulas dan tidak sholat berjamaah di masjid. Gayanya mengalahkan pendekar dari negeri ‘Antah Berantah’. Itulah yang terjadi setiap kali Biru malas untuk bangun pagi.

***
Saat fajar mulai membentangkan sayap-sayapnya, sang subuhpun bersiap-siap menggantikannya. Hari itu Biru tidak lagi dibangunkan oleh Mas Syamsul. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan memegang prinsip tujuanya di sini. Ia berusaha membuang sifat malas, manja dan lain sebagainya. Pertama memang sangat berat baginya untuk bangun shubuh. Saat adzan shubuh terngiang di telinganya, ia pun beranjak bangun dan segera berwudlu. Ketika ia keluar dari kamarnya, hawa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan segala tekad ia memberanikan diri untuk memeluk angin shubuh itu. Ia mengikuti sholat shubuh berjamaah lalu mengikuti rutinan pengajian kitab Riyadus-Shalihiin.

Ketika lubuk langit memantulkan semburat kemilaunya yang putih menerangi belahan bumi, sang mentari mulai menyingsing menelan sisa-sisa malam yang merambat pagi. Ia melangkahkan kakinya sambil memantapkan niatnya. Tak lama kemudian ia tiba di madrasah yang sangat ia banggakan, yakni MAN Tambakberas Jombang.
Biru berlari-lari kecil memasuki halaman madrasah. Dihirupnya udara dalam-dalam. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan seorang santri putri. Kegiatan OSIS di madrasahnya-lah yang mempertemukan dengannya. Bisa dibilang dia sangat sempurna. Wajahnya cantik jelita, berposter tubuh ideal dan tingginya tepat sebahu Biru. Ia biasa dipanggil dengan “Pink”. Entah karena memang nama aslinya demikian atau memang kesukaannya pada warna merah muda itu. Sebenarnya, hati Biru sangat tertarik pada santri itu. Tapi ia tak ingin terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Perasaan itu disimpan begitu saja sampai kelas akhir.

“Besok akan diumumkan siapa yang mendapat beasiswa pendidikan S1 di luar negri itu,” kata Pink pada suatu ketika.

“Ah, iya. Saya juga dengar, katanya besok Sabtu,” balas Biru.

“Enak ya, kalau bisa dapat. Kita tidak perlu keluar uang sampai lulus nanti!”

“Ah, kalau aku bisa dapat beasiswa itu, Emak pasti tak perlu bekerja keras untuk membiayaiku kuliah. Aku bisa meringankan beban Emak,” angan Biru.

“Mungkin kamu yang akan mendapat beasiswa itu Biru. Kamu kan selalu menjadi juara umum di madrasah kita,” cetus Pink membuyarkan lamunan Arif.

“Kamu saja Pink!”

“Lho, kenapa? Kalau kamu yakin akan berhasil, maka kamu akan benar-benar berhasil,” ucap Pink menyemangati temannya.

Biru dan Pink sama-sama akan menjalani ujian kelulusan bulan depan. Setelah lulus mereka yang mendapat beasiswa itu akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi luar negri tanpa biaya. Tentu saja Biru berharap agar dia mendapat beasiswa itu. Dia ingin membahagiakan hati Emak. Ia ingin Emak tidak lagi susah-susah membanting tulang untuk membiayai kuliahnya.

***
Pagi itu, langit tampak indah, matahari di ufuk timur bersinar cerah. Seindah suasana di madrasah itu.

“Wah, kamu jadi orang penting sekarang. Selamat ya, kamu telah berhasil untuk mendapatkan beasiswa itu!” ucap Pink.

“Ah, kamu sudah mengatakannya untuk yang keseratus kali,” cibir Biru. Suasana pun hening sesaat.

“Kamu ingin melanjutkan ke mana Pink?” Tanya Biru.

“Ah, aku ingin melanjutkan di sini saja!” sahut Pink datar.

Perasaan Biru berada di ambang ketidak-pastian. Di antara bahagia dan sedih. Bahagia karena bisa meringankan beban Emak. Dan sedih karena ia tak akan lagi dapat bertemu dengan Pink. Sahabat jiwanya.

Pagi itu adalah pagi perpisahan. Dan rasa itu dibiarkan mengalir begitu saja oleh Biru. Ia tak ingin Pink tahu akan perasaan yang dimilikinya.

***
Lima tahun kemudian...
Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di ruang lima tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pesantren ini ini. Setelah lama meninggalkan pesantren ini, kini aku kembali dari negri sebrang untuk menyapa lagi pondok yang telah banyak mengajarkanku arti hidup. Pesantren yang pernah menggoreskan harapan tiada batas. Kita dulu pernah bersama di sini. Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink? Semoga saja.

Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah.

Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Begitulah angan panjang Biru saat akan menghadiri acara reuni di PP. Bahrul ‘Ulum.

Acara reuni santri-santri alumni PP. Bahrul ‘Ulum kali ini benar-benar ramai. Di sana Biru bertemu lagi dengan teman-temannya dulu, termasuk Mas Syamsul yang setiap paginya selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Canda tawa merekahadirkan zona masa lalu yang sarat akan kenangan.

Dari kejauhan, di mata Biru tampak seorang santri putri alumni PP. Bahrul ‘Ulum.  Sejenak, Biru memperhatikannya. Dalam benaknya sempat bertanya-tanya. Siapakah dia? Mata yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Raut wajah itu tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiran Biru melayang ke lima tahun lalu, rasanya tak kuat lagi ia untuk menyimpan rapi perasaan di benaknya. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan pucuk daun yang menikmati sentuhan angin. “Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink?” gumam Biru. “Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.” sambungnya. Tampak lelaki tegap itu telah berdiri di hadapan Pink. Gadis itu tampak sangat terkejut.

“Biru, kamu kah itu?” Pekik gadis itu sekuat tenaganya.

“Ah, ternyata kamu tak lupa padaku.”

“Akhirnya kau kembali juga.”

“Ya, karena ini amanat bagiku. Hmmm, ternyata kau masih saja seperti dulu Pink. Ya, seperti yang ku kenal dulu.”

“Hehehe…” tawa renyah pink.

“Dan masih kutemukan kunang-kunang di matamu. Masih hidup seperti dulu.”

“Ah, bisa saja kamu Biru. Dan kamupun masih seperti dulu. Ucapanmu tak pernah keseleo.”

Keduanya tertawa hampir bersamaan.

“Tidak… aku serius Pink. Aku seakan bisa melihat cahaya di kedua bola mata indahmu. Cahaya bening yang memancarkan semangat, kejujuran, dan ketulusan.”

“Aku rasa, setiap manusia juga memilikinya. Setiap orang juga mempunyai benih kebaikan di dalam hatinya. Tinggal apakah orang itu mau menyemainya atau tidak.” Kata Pink bijak.
Biru kini telah bertekad untuk mengungkapkan segalanya kepada Pink. Setelah sekian lama lama menimbang dan menunggu, kini kekuatan itu muncul lagi dengan membawa sinar terangnya. Terlalu cepat memang. Namun itulah Biru, jika sudah memutuskan sesuatu ia akan memegang teguh keputusannya. Dan di sanalah Biru berlutut menunggu jawaban Pink.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu?” Pinta Biru penuh harap.

Pink merasa heran dengan pertanyaan Biru. Namun, sejenak kemudian Pink bisa memahami bahasa Biru. Ia memandang Biru sekilas. Sikap Biru yang malu-malu lebih tampak seperti seekor kucing yang memohon pada tuannya untuk sepotong kepala ikan. Ia berputar-putar gelisah di samping Pink menanti jawabannya.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu, Pink?” Pinta Biru lagi.

“Maaf Biru, aku tak bisa……”

Jawaban itu sungguh di luar dugaan Biru. Uluran tangan Biru melemah, namun ia tetap tegar, menerima semua kemungkinan yang akan terjadi. Karena baginya, menyatakan perasaan adalah suatu keberanian yang dapat membuat hatinya lega.

“Aku tak bisa menolak permintaanmu….” Lanjut Pink di luar dugaan, sambil menerima cincin dari tangan Biru dan menyematkan di jari manisnya.
Ke empat mata itu saling menatap cukup lama. Keduanya membahasakan cinta dalam diam. Ada aura yang berbeda antara tatapan sekarang dengan sebelumnya. Entahlah, yang pasti tatapan itu tidak bisa dipahami oleh logika.

Biru tersenyum bahagia. Kini ia tak lagi merasa risau, karena semua rentetan pertanyaan yang ada dalam benaknya telah terjawab. Seseorang telah mau mengisi hatinya. Mereka tersenyum bahagia. Di luar sana, langit biru boleh berbangga. Karena rangkaian awan putih masih setia menghiasinya.

Jombang, 28 Maret 2013
Em Ef

Air Mata Cakrawala
Oleh: M. Fahmi

Sobat…
Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sobat…
Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Sobat…
Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan ‘nur’ kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini, Sobat. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin, Sobat. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah… sudah sampai zaman manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Sobat. Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Sobat. Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk kebersamaan kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran, hingga berujung pada sebuah perpisahan. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna.

Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.
Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah kurindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.

Sobat. Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!

Ketika Cakrawala telah buncahkan air yang hakiki, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air hujan yang menetes dari cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu malam ini? Mungkin, ini dapat mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan. Yaa Rabb.. kuasa-Mu di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu yang masih menetes perlahan.

Jombang, 8 November 2011
M. Fahmi

Pengembara Sunyi
Oleh: M. Fahmi

Sudah lama lelaki itu mencari kekasihnya. Kekasih yang dulu pernah hadir di kehidupannya, namun kini entah ke mana. Dicarinya kekasih itu sepanjang siang dan malam, sepanjang waktu, dan sepanjang ruang, namun tidak kunjung juga ia menemukan kekasih yang dicarinya itu. Dicarinya kekasih itu dalam pengembaraan yang tak ada hingga, hingga berabad-abad lamanya, hingga pengembaraan itu serasa tidak ada titik akhirnya. Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya gila.

Pernah suatu ketika ia mampir ke sebuah toko, lalu bertanya kepada pelayan toko.

“Kekasih…?” Pelayan toko itu mengernyitkan keningnya. Ditatapnya wajah lelaki itu penuh keheranan.

“Betul, apakah dia ada di sini?”
Pelayan itu agak lama menatap wajah lelaki itu. Wajahnya penuh tanda tanya, lalu entah mengapa tiba-tiba pelayan toko itu tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” Ia terheran-heran.

“Dasar orang gila!” Umpat penjual toko itu.

Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal, ditinggalkannya toko itu. Ia heran. Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertaya tentang kekasih? Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu hingga seseorang mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.
Lelaki itu melanjutkan perjalanannya. Menyusuri sungai, pematang sawah, bukit, lembah, dan sampailah ia di suatu pedesaan. Ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang perawan desa yang benar-benar ayu.

“Bagaimana? Engkau cocok?” Tanya kakek itu.

“Bukan. Bukan itu, Kek. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan kekasih sejati yang kini entah berada di mana. Kekasih sejati adalah cinta yang tak akan lekang ditelan masa. Dialah pemilik kebenaran dan cinta abadi yang sesungguhnya. Padahal, dulu Dia pernah hadir di hadapan kita penuh kasih dan sayang, tapi mengapa orang-orang sekarang sudah melupakanNya? Apakah Kakek juga tak mengingatnya lagi?"

Kakek tua itu menatapnya tajam. Kepolosan di wajahnya seketika itu menghilang, lalu ditinggalkan lelaki itu tanpa kata. Lelaki itu agak kebingungan. Ternyata kakek tua itu juga tidak mengerti dan mengenal kekasih yang dimaksudkannya.

Ia tak pernah patah semangat. Diteruskan langkahnya yang patah-patah itu. Di setiap perjalanan banyak peristiwa yang terekam dalam benaknya. Pada setiap persimpangan jalan, selalu ia temukan misteri yang tidak sejiwa dengan semangatnya, misteri yang tidak mampu diterima oleh nuraninya. Dan anehnya, ia belum kunjung mengerti juga. Ia atau mereka yang benar. Ia atau mereka yang salah. Ia atau mereka yang munafik. Pencurian, penghianatan, kekejaman, kebohongan, dan kemunafikan seakan telah menjadi nafas kehidupan, hingga banyak orang yang melupakan atau bahkan tidak mengenal kekasih.

Ah, sudah sampai peradaban manakah aku ini, hingga tak satupun dari mereka yang mengenal kekasih? Gumamnya di sela-sela langkahnya.
Di sepanjang perjalanan tidak sedikit orang yang mengejeknya.

“Lihat, dia bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan, dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata seseorang yang ia temui di pinggir jalan.

“Kasihan benar orang itu. Dicarinya kekasih itu sepanjang malam dan ia lupa jika hari telah kembali pagi.” Kata yang lainnya.

“Semoga ia cepat sembuh.”

“Semoga ia cepat mengingat kembali jati dirinya.”

“Atau jangan-jangan dia sudah gila!”

“Ya, menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”

“Hahaha…!”
“Kasihan…”

Dan bebagai umpatan lain yang ia dapatkan. Namun ia tetap tegar. Buat apa sakit hati kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikitpun rasa sakit di dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tidak boleh menyimpan sedikitpun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia temukan.

Ia tetap melangkah. Melewati jalan setapak, menyeberangi sungai-sungai kecil, menerobos pematang sawah, kebun-kebun, menyusuri berbagai jalan, dan sampailah ia di suatu kota. Lelaki itu benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban Antah Berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya? Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di sana. Celakanya, tak satu orang pula yang mau mengenalinya.

Lelaki itu mengitari kota. Debu-debu beterbangan di sana-sini. Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tidak henti-hentinya menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.

Di sebuah halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu taksi.

“Maaf, Tuan. Apakah Tuan mengerti di mana kekasihku berada?”

Pria berdasi itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu lekat-lekat.

“Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang sebanyak-banyaknya. Nanti kau akan dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!!” Teriak pria berdasi itu.

“Tetapi, kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta.” Ujarnya.

Pria berdasi itu semakin garang. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.

“Aku tak punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi. Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.

Ah, soal cinta pun mereka tak lagi punya waktu. Gumamnya dalam hati.

Gedung-gedung pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seoalah menutup hati mereka, hingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah mati sehingga tak perlu lagi dikenal?

Orang-orang di kota itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka selalu begegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari esok tidak akan terbit lagi.

Kala itu, lelaki itu hampir saja putus asa dan memilih untuk mengakhiri langkahnya. Namun, di suatu malam yang teramat malam itu ada bocah kecil bermata buta yang menyapanya.

“Hai, Kak. Apakah Kakak sedang mencari kekasih?”

Lelaki itu kagum bukan main. Bagaimana mungkin, bocah yang buta dapat melihat dan mengerti apa yang ia cari.

“Betul, saya sedang mencari seorang kekasih. Apakah engkau mengenalnya?”

“Oh. Sebenarnya kekasih yang Kakak cari itu tidak ke mana-mana. Ia akan tetap Ada, menyertai Kakak di mana pun berada.  Saya bisa merasakan kehadiran kekasih itu setiap saat.”

“Oh, ya? Benarkah?” Lelaki itu nampak agak kebingungan.

“Benark, Kak. Oh, iya. Ada hal yang belum pernah saya katakan kepada siapapun. Orang-orang mengira saya ini bocah buta, namun berkat kehadiran kekasih itu saya dapat melihat dan merasa tanpa mata. Bahkan semuanya serasa lebih jelas dari penglihatan mata itu sendiri.”

“Bagaimana bisa?!”

“Lihat, ada seekor semut yang akan menggigit punggung Kakak!”

Lelaki itu mencari semut yang dikatakan bocah itu. Dan benar. Ada seekor semut yang merayap di punggungnya. Ia mencoba menangkapnya, namun sayang, semut itu berhasil menggigit penggung lelaki itu lebih dulu. Lelaki itu semakin linglung,  merasa bodoh, dan tak mengerti kata-kata bocah itu.

“Kakak tak perlu bingung, saya akan mengantarkan Kakak menuju apa yang selama ini Kakak cari.” Tegas bocah itu.

“Be-be-be-nar-kah?” Dengan suara terbata-bata dan perasaan gembira yang tiada tara lelaki itu berkata.

“Mari ikuti saya, Kak!”

Akhirnya lelaki itu mengikuti bocah itu. Bocah itu terus berjalan mengikuti aliran ruang dan waktu. Dan di sebuah tempat bocah itu berhenti.

“Kak, wudhulah dan sholatlah di surau yang sudah tua ini. Nanti Kakak akan menemukan kekasih yang selama ini Kakak cari.” Kata bocah itu mantap sambil menunjuk sebuah surau yang sudah sangat tua. Sepertinya orang-orang sekitar sudah tidak pernah lagi mengunjunginya atau mungkin sudah melupakannya, hingga nampak tidak terawat dan usang.

Lelaki itu sempat merasakan kedamaian yang tidak ada hingga ketika melihat surau yang termakan usia itu. Ia seperti menemukan kerinduan yang telah lama hilang dan kini ia seperti sedang mendekati kerinduan itu. Ia seperti teringat kata-kata kakeknya, “kalau engkau ingin menemuiNya, rajin-rajinlah mengunjungiNya dalam sujud, lalu dengan tengadah tanganmu ke langit, supaya Dia mau membukakan pintu langit dan mempertemukanmu denganNya.” Belum sempat lelaki itu mengucapkan terimakasih, bocah bermata buta itu sudah tidak ada di sampingnya. Lelaki itu terus mencari di sekelilingnya, namun tetap tidak ada.

Kini ia mengerti, bahwa bocah bermata buta itu bukan sembarang bocah. Lelaki itu melangkah perlahan mendekati surau itu. Seperti ada yang mengalir membasahi jiwanya yang telah lama kering.

Lelaki itu pun bersujud panjang di surau itu. Entah apa yang membuat tubuhnya terasa teramat ringan diterpa angin. Ia serasa melayang, terbang menembus awan menuju puncak tertinggi alam semesta dan menemui kekasihnya yang sejati. Ia kini telah menjadi pengembara sunyi, pengembara abadi yang benar-benar abadi.

Malang, 22 Maret 2014

Cerita Antara Orang Gila dan Orang Waras
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Dulu, Demo memang punya tingkah agak aneh di benak Sejo. Ke mana saja pergi, Demo selalu mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu dibebaskannya burung-burung itu. Dan ia merasa seolah tidak mempunyai kesalahan sedikit pun terhadap perbuatannya itu. Tentu saja orang-orang marah kepadanya. Berkali-kali ia digebuki massa hingga babak belur. Akan tetapi, ia tidak pernah kapok. Ia tetap mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu berusaha untuk membebaskannya.

Banyak cerita tentang Demo yang diingat Sejo. Pernah suatu ketika Demo masuk penjara gara-gara berkelahi dengan seorang tentara, bahkan nyaris membunuhnya. Ia benar-benar bonyok dihajar tentara itu, sampai hidung belangnya penyok dan giginya rompal. Sejo sendiri tidak tahu persis duduk perkaranya mengapa ia berani melawan tentara. Dia dimasukkan penjara pun tanpa proses peradilan yang jelas. Di dalam penjara, kondisi fisiknya tambah babak belur dihajar oleh para napi lainnya. Kemudian ia dibebaskan begitu saja tanpa keterangan yang jelas.

Begitulah cerita tentang Demo. Sejak tamat sekolah, Sejo jarang bertemu dengannya. Demo tidak balik-balik lagi ke kampung halaman. Jangankan batang hidungnya, kabar tentang dirinya tak seorang pun tahu. Ada yang bilang, ia sudah pergi ke tanah seberang dan tak mungkin kembali lagi ke desa karena ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Ada pula yang mengatakan ia sudah mati dikubur dengan identitas tak dikenal, tetapi di mana jasadnya dikuburkan tak seorang pun tahu. Cerita yang lain mengabarkan ia telah menjadi gelandangan dan hidup luntang-lantung. Namun suatu hari, ada yang melihat dia sedang memimpin demonstrasi di tengah kota dan berteriak-teriak lantang menyeru agar para koruptor digantung. Dari sekian banyak cerita itu, Sejo tidak tahu mana yang benar.

Suatu ketika, dua orang sahabat itu ditakdirkan bertemu di sebuah perlintasan jalan. Hari telah ditelan gelap, sementara mega merah telah sepenuhnya menghilang. Jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Kebetulan motor Sejo melaju dengan lambat, sehingga ia mendengar teriakan orang yang menyapanya. Sejo segera mengerem motor vespanya dan menghampiri seseorang yang ada di seberang jalan itu. Di perlintasan jalan Merdeka itu, mereka saling menyapa dan nampak pangkling. Terlihat sangat jelas perbedaan fisik di waktu mereka masih remaja—saat paling asyiknya belajar dan bermain di sekolah menengah atas—dengan saat pertemuan di malam itu.

“Assalamu’alaikum..,” teriak Demo.

“Wa’alaikum salam, wr.wb..,” sahut Sejo.

“Eh, siapa kamu? Demo, bukan?” tanya Sejo sambil mengernyitkan dahi, ia seperti tidak percaya kalau yang ditemuinya itu adalah sahabat lamanya yang telah lama menghilang.

“Hahaha, iya.. Jo. Ternyata kamu masih ingat aku juga,” lelaki itu tersenyum singkat. Seperti ada yang mengalir dari mata Demo. Ia terharu entah karena apa. Dirangkulnya sahabat lamanya itu.
“Sudah lama kita tak jumpa, Kawan. Kamu ke mana saja selama ini? Ayo kita mengobrol dulu. Kamu sekarang tidak sibuk, bukan?” tanya Sejo sambil memegang pundak Demo.

“Haha, ayo kita mengobrol, Jo. Seperti yang kau lihat semenjak dahulu, aku tidak pernah menjadi orang sibuk sepertimu.” Demo tertawa terkekeh-kekeh, mengingatkan kembali masa lampau yang pernah mereka lewati bersama.

Kemudian Sejo segera mengajak temannya yang bernama Demokrasi itu ke sebuah warung terdekat untuk beristirah sejenak sembari bertukar cerita. Sesampainya di warung, Sejo menaruh tasnya, kemudian kembali memperhatikan tubuh sahabatnya yang tampak kurus itu.

“Sepertinya engkau ingin makan, Kawan. Kita makan dulu yuk?” matanya mengerlip, menandakan sebuah kode rayuan.

“Sebenarnya, aku sudah tidak lagi punya keinginan apa-apa, Kawan. Apalagi soal peduli makan atau tidak. Aku hanya makan di saat benar-benar lapar. Itu pun aku ambil dari makanan sisa orang waras, agar tidak menjadi sesuatu yang mubadzir. Sebab, aku tidak bisa rakus seperti orang waras. Sebab, di luar sana, masih banyak saudara kita yang belum makan, sementara orang waras selalu tenang-tenang saja. Tapi demi engkau, Sahabatku. Aku tak bisa menolak tawaranmu.”

Sejo hanya tersenyum mendengar jawaban Demo. Sejenak, Sejo menjadi terhenyak. Waktu dua puluh tahun lamanya telah mengubah sahabatnya itu menjadi orang gila. Ia pun mengelus dada, alangkah malang nasib sahabatnya itu. Lakon apa yang dikerjakannya hingga ia sekarang menjadi orang tak waras seperti ini. Dilihatnya kembali penampilan sahabatnya itu. Pakaian yang lusuh, rambut yang gondrong, kulit yang hampir tertutup oleh tanah. Ia hampir saja tidak mengenali sahabatnya itu. Untung saja ada semacam tahi lalat yang melekat di kening kirinya. Dan, ia masih ingat betul bahwa yang dijumpainya itu adalah sahabat lamanya, Demo. Kemudian Sejo segera memesan dua nasi lodeh, beberapa gorengan, dan dua cangkir kopi panas.

“Ayo, Demo. Makan dulu, tak perlu lah kamu sungkan-sungkan begitu. Aku yang nraktir semua ini,” ajak Sejo.

“Iya, iya, Kawan. Ayo kita makan. Tapi jangan lupakan pesan Pak Kyai dahulu, kita harus baca doa dulu sebelum makan. Allahumma barik lana fi ma rozaqtana wa qina adzaban naar, Aamiin.” Demo mengangkat kedua tangannya, kemudian mengusapkan ke wajahnya. Demi melihat apa yang baru saja terjadi dan mendengar serak suara doa Demo itu, ulu hati Sejo menjadi tersengat. Ia tak menyangka, ternyata ada rasa tulus yang mengalir dari dalam jiwa Demo.

Mereka berdua kemudian makan dengan lahap, sementara udara malam kota Bogor menjadi semakin dingin, menembus sela-sela jendela warung itu. Selesai makan, mereka mengambil tempat ke emperan di depan warung itu. Tak lupa, gorengan dan kopi mereka bawa ke luar juga. Mereka duduk beralaskan tikar sederhana. Warung itu memang buka mulai dari waktu sore, dan tutup sampai menjelang subuh. Dingin memang, tapi cerita, obrolan, dan kopi mampu menukar dingin dengan kehangatan. Begitulah pikir keduanya.

“Ngomong-ngomong kamu sekarang bekerja di mana, Demo?” tanya Sejo mengawali pembicaraan.

“Haha. Kawan, aku tidak pernah bekerja seperti yang menjadi kesibukan orang-orang waras,” jawab Demo sederhana.

“Maksudmu apa, Demo, aku tidak paham sama sekali,” tangan Sejo mendadak menggaruk-garuk kepala.

“Seperti yang kamu ketahui semenjak dulu, orang-orang banyak yang memanggilku sebagai orang gila, bukan?” sahutnya kemudian.

“Betapapun demikian, apa pun cerita orang tentangmu, sampai sekarang aku masih menganggapmu sebagai sahabat yang baik dan tetap yang terbaik, meskipun orang-orang sudah melupakanmu, Kawan,” Sejo menenangkan sahabatnya itu.

“Tapi, jalan kita benar-benar berbeda, Kawan. Kau tumbuh sebagai orang yang bahagia, sabagaimana kebanyakan orang. Tapi diriku...” Demo tak mampu melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menghalang-halanginya untuk berbicara. Demo mengalihkan pandangannya ke sudut ruang yang lain. Sejo melihat dengan jelas, mata Demo hampir saja berair, tapi Demo cukup tangguh untuk menyembunyikan rasa.

Teringat kembali cerita tentang Demo di benak Sejo. Sesungguhnya Demo telah kehilangan kasih sayang sejak kecil, yaitu semenjak ayah dan ibunya cerai. Umurnya saat itu baru enam tahun. Lalu ayahnya kawin lagi, begitu pula ibunya. Ia memiliki dua ayah dan dua ibu, tapi ia tak pernah nyaman bersama mereka. Dihabiskannya hidupnya di jalanan. Ia bagai anak terbuang yang kehilangan induk.

“Mengapa kamu sekarang menjadi seperti ini, Demo?” tanya sahabatnya itu.

“Dan, mengapa kamu juga sekarang menjadi seperti ini, Sejo?” timpal Demo kemudian. Lalu ia tertawa. Tawa yang akhirnya membuat Sejo mau tidak mau ikut tertawa juga.

“Kawan, izinkanlah aku menjelaskan semuanya,” lanjut Demo. Ekspresi Demo mendadak serius. Anehnya, Sejo pun mengikuti jejak mimik Demo yang serius itu. “Entah kenapa, orang-orang memanggilku sebagai orang gila. Tapi itu bukan menjadi soal bagiku. Orang mau menyebut apa tentangku, aku pasti terima. Bagiku, itu semua tidaklah penting. Tenang saja, Kawan. Pun orang gila tidak akan pernah bisa marah. Mungkin, ia hanya bisa tersenyum, menangis, atau tertawa. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Biarlah aku menjadi orang gila. Tapi setidaknya, orang gila itu tak perlu bersedih, merasa sakit hati, berburuk sangka, apalagi memendam dendam. Mereka selalu bersenang hati. Tak apalah kau panggil aku dengan sebutan orang gila. Tapi lihatlah dahulu, setidaknya orang gila tidak pernah menyombongkan diri. Lagi pula, apa yang musti disombongkan? Harta tak punya, jabatan tak punya, rumah, mobil, atau bahkan dirinya sendiri pun tak punya. Ia tak berhak memilki otak, sebab ia telah lama kehilangan pikiran. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak akan pernah menuruti keinginan dan nafsu, seperti yang orang waras kerjakan. Hati mereka merdeka dari segala hal yang membelenggu. Terkadang, mereka kasihan kepada orang waras yang terpenjara oleh gemerlapnya gambar yang nisbi. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak pernah terlena oleh kesenangan yang bersifat khayalan. Orang gila memandang dunia ini tak ada nilainya. Mereka memandang manusia dan alam raya hanyalah sebagai bayangan semata. Sebuah bayangan bukanlah merupakan wujud yang asli. Ia nampak, namun hakikatnya tidak ada. Dengan demikian, wanita, harta, dan jabatan hanyalah bayangan di mata orang gila. Itulah sebabnya, orang gila tak pernah tertarik dengan itu semua. Bayangan tidak mungkin ada. Maka mereka tak hendak menuntut apa-apa dari dunia dan segala keinginannya. Sebab, bayangan tetaplah sebagai sebuah bayangan. Bayangan tidak mungkin menjadi tempat tujuan, ia hanya sarana untuk mengejewantahkan eksistensinya yang sesungguhnya. Sementara, yang menjadi tujuan hanyalah yang Maha Asli dan Ada, yang bukan bayangan, yang tak akan lekang oleh masa. Orang gila tidaklah pintar. Dan ia tak mengerti jalan pikiran orang waras. Kawan, tentu kau masih ingat tutur Pak Kyai dahulu kala, bahwa agama Islam ini lahir dengan aneh, dan akan kembali dalam keadaan aneh pula. Dulu, Nabi dianggap sebagai orang gila tapi tak pernah marah, malah ia membesuk dan mendoakan orang yang sering menghujani dengan batu dan air ludah. Kau masih ingat, bukan?” begitulah panjang lebar Demo menjelaskan perihal pemikiranya. Suara Demo hangat, menghangatkan angin yang berhembus di malam itu.

“Haha, benar juga kau, Sahabatku. Tapi apa kau tidak tahu, orang gila itu tidak menikah lho, tapi Nabi tetap menikah, bahkan mempunyai empat istri. Beliau juga bekerja, makan, dan mengurus umatnya. Lelaki yang belum menikah, hidupnya adalah sebuah komedi. Bila telat menikah, tingkat kekomediannya semakin lucu, membuat orang yang melihatnya tertawa antara rasa kasihan, curiga, sekaligus kutukan. Tapi lelaki yang menikah hanya menghadapi satu pilihan sandiwara kehidupan yang ujungnya adalah: "tragedi." Dan hanya sang pemberani yang siap menghadapi resiko tragedi itu,” sindir Sejo.

“Kalau menjadi orang waras sangatlah mudah, maka untuk apa memaksakan diri menjadi orang gila?” lanjut Sejo, matanya menatap tepat di retina Demo.

“Jujur, Kawan. Aku sama sekali tidak ingin memaksa diriku untuk menjadi orang gila, tapi alamlah yang mengajariku, agar tidak mengambil jalan orang-orang waras. Kegilaan bagiku sewaktu-waktu diperlukan dalam hidup seseorang, sebab kegilaan adalah langkah pertama menuju sikap untuk tidak mementingkan diri sendiri. Katakanlah aku ini orang gila, biar tersingkap segala misteri apa sebetulnya yang ada di balik selubung kesehatan jiwa. Tujuan hidup ini adalah untuk membawa kita lebih dekat lagi kepada segala "rahasia" itu. Ya segala rahasia itu, dan kegilaan menurutku adalah satu-satunya jalan. Sesungguhnya satu-satunya orang gila di tengah-tengah orang pada zaman gila ini maka dialah satu-satunya orang waras. Ketahuilah, Kawan, bahwa kebenaran telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaaran, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Itulah sebabnya, aku ingin menghidupkan cinta yang telah lama terkubur di zaman yang kian menjarah nurani dan kesadaran ini. Kiamat kesadaran telah terjadi, Kawan. Kapan kiamat yang sesungguhnya itu terjadi?” sorot matanya tajam, menembus segala sekat-sekat gelap yang mencoba menghalangi jalan pikirannya.

“Aku sendiri tak tahu, Kawan. Hal itu sudah menjadi privasi Allah. Hanya Ia yang tahu.” Ucap Sejo.

“Terimakasih, Kawan. Engkau telah kembali mengingatkanku. Dulu pernah kucoba memberi arti, arti dari segala apa yang kurasakan di dalam hatiku, tapi aku takut mengartikan semua itu, karena aku tahu siapa diriku. Sekarang setelah aku jauh dari Allah, ada rasa rindu di sudut hatiku, rindu yang telah memberi arti, bahwa aku ternyata sangat mencintaiNya,” suara Demo parau. Kembali ia hampir meneteskan air matanya. Tapi ia selalu pandai mengusir air mata itu kembali ke dalam kelopak matanya.

“Bersabarlah dengan cinta, Kawan. Lebih baik kita yang kecewa dan terluka daripada mengecewakan atau melukai. Belajarlah dari kecewa untuk tidak mengecewakan Allah dan belajarlah dari rasa sakit untuk tidak menyakiti Allah. Mungkin, salah satu cara untuk sedikit mengurangi kekecewaan dan ketersakitan adalah dengan menyadari bahwa perasaan kecewa dan luka itu ternyata memang selalu ada.” begitu Sejo bertutur.

“Benar katamu, Kawan. Itulah sebabnya, aku ingin mencintai segala sesuatu dengan sederhana,” tegas Demo.

“Haa, memang benar itu, Kawan. Segala sesuatu harus kita cintai dengan sederhana dan ala kadarnya, baik cinta kepada lawan jenis, kepada saudara, tanah air, makhluk, dan lain sebagainya. Sebab cinta yang berlebihan terkadang justru menjadi bumerang. Tapi tidak cinta kepada Tuhan. Hanya dengan cinta yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, maka persembahan cinta itu akan sampai. Tidakkah kau perhatikan bagaimana sejarah nabi Ibrahim, Musa dan Ayub dalam mencintai Tuhannya? Hanya dengan cinta luar biasa dan dengan cara yang luar biasa pula Ibrahim tak terbakar api, Musa dapat membelah laut, dan Ayub dapat mempertahankan keimanannya dari cobaan penderitaan yang mahaberat. Hanya cinta luar biasa yang telah teruji oleh hempasan zaman, dan itu tidaklah bisa dilakukan dengan kesederhanaan lagi, melainkan harus dengan cara di atas rata-rata, sebab Tuhan adalah kualitas tertinggi dari cinta,” kilah Sejo.

“Kawan, sekarang aku mengerti maksudmu. Semenjak kita berpisah, kita jarang mengobrol bersama. Maka persilakan daku bercerita. Jika kau tahu, aku telah lama mempelajari sastra. Kuarungi samudera yang mahaluas, kudaki gunung yang menjulang tinggi, kulewati jalan yang terjal penuh duri, demi mendapatkan esensi dari sastra itu. Tapi apa yang kudapat sekarang, aku malah dianggap orang gila, tak ada yang kudapatkan dari perjalanan sejauh ini, sia-sialah teaterku selama ini,” wajah Demo menunduk, sementara tangannya mengepal.

“Sastra memang membingungkan, Kawan. Satu kata saja dapat dipermainkan menjadi bermilyar makna dan tafsiran. Inilah yang sering terjadi di kancah kesusastraan manapun. Aku memahami betul, Kawan, karena aku dulu juga pernah bergelut di dalamnya. Ini pula yang membuat aku enggan bersastra, sebab kepastian tertinggi hanyalah omong kosong, kenisbian, dan kenihilan. Ini pulalah yang menjadikan aku—saat ini—orang sains dan orang waras. Dunia matematika memberi ruang kebenaran yang nyata dan real di dalam kehidupan, meskipun harus kutebus dengan penderitaan sakit kepala. Mungkin orang gila tak pernah merasakan betapa sakitnya berpikir, namun suatu saat ia akan menderita sakit yang berada di atas segala ketersakitan. Sakit itu adalah sakit hati. Dan, obatnya pun amatlah jarang ditemukan di jalan-jalan.” begitulah, kata-kata Sejo membujuk sahabatnya itu, agar ia kembali ke jalan orang-orang waras. Ia masih melanjutkan nasihatnya.

“Demo, bangunlah dari mimpi dunia hayalanmu, bergegaslah, sebab ini saat ini kita ada di dunia nyata. Imajinasi memang sangatlah penting, tapi lebih penting lagi adalah berpikir dengan logika. Orang akan percaya kepada hal-hal yang terbukti. Lihatlah, penyair hanya memohon agar kepalanya bisa menyentuh atap langit. Namun pemikir berusaha agar segala isi langit dapat masuk ke dalam kepalanya. Dan sakitlah kepalanya. Kau harus mengerti itu, Kawan. Hahaha...” sekarang ganti Sejo yang tertawa terbahak-bahak.

“Di atas orang waras selalu ada orang yang lebih waras, Kawan. Maka jangan pernah menganggap dirimu paling waras. Sesungguhnya orang yang lebih waras itu adalah orang gila. Hahaha.. ” Demo tak mau kalah berdebat. Ia meneruskan kata-katanya. “Tak apalah engkau mengejek dan mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang paling tidak mengerti. Bahkan, orang gila tak hendak menuntut apa-apa dari penghinaan dan kekejaman orang waras. Kegilaan sebetulnya hanyalah sebuah humor. Kebenaran tanpa humor sifatnya meragukan. Humor sebenarnya juga merupakan cerminan dari sesuatu yang serius. Jika kau mengerti, Kawan. Orang gila tak pernah berhenti mencari Kekasih. Meski ada banyak yang ingin membunuh kegilaannya lewat nasihat atau pengalaman ruhani orang lain, ia akan tetap bersikukuh untuk memilih gila selamanya. Adapun orang yang telah sembuh dari kegilaannya karena petunjuk orang lain, berarti ia tidak menepati janji dan ikrar orang gila, sebagaimana adat yang orang gila jalani. Orang gila tak akan pernah sembuh dari kegilaan, sebab ia telah melihat, betapa Kekasih tetap akan lebih Indah dari apapun dan siapapun dan ia selalu terbuai dengan pesona-Nya,” Demo tesenyum, ia merasa telah memenangkan perdebatan.

“Kawan, seseorang tidak akan pernah mengerti kepada sesuatu yang seharusnya dimengerti apabila ia sendiri belum sampai kepada pemahaman tentang makna pengertian itu sendiri, sebagaimana orang tahu, bahwa pendidikan itu penting, maka seseorang harus sekolah biar tahu bahwa sekolah itu sebetulnya tidak penting. Tapi untuk tahu bahwa sekolah itu tidak penting maka seseorang harus tetap sekolah. Hehe, tentu perkataan orang waras ini sulit dimengerti orang gila. Tapi tak apalah, kau dengarkan dulu aku bicara. Kawan, ternyata dunia memang sudah terbalik. Saat ini, orang waras banyak yang menjadi orang gila dan orang gila merasa dirinya waras. Yang berbahaya adalah orang waras yang mengaku dirinya waras padahal ia sebetulnya benar-benar telah gila! Atau orang gila yang berpura-pura gila padahal sebetulnya ia benar-benar telah gila. Sungguh antara waras dan gila saat ini sulit dibedakan, bahkan membingungkan! Siapakah sebenarnya yang benar-benar gila atau yang benar-benar waras, kau atau aku?” wajah Sejo menjadi tampak kebingungan. Tapi entah kebingungan benar atau bukan, Demo tak tahu.
“Kawan, mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa!” nafas Demo mendadak menjadi tidak beraturan. Namun ia tetap melanjutkan pembicaraannya itu.
“Kawan, bila engkau ragu dengan kewarasanmu dan merasa tidak nyaman menjadi orang waras, maka bergabunglah bersama orang-orang gila seprtiku. Orang gila itu hidup merdeka, bebas dari tuntutan hukum dan mereka tidak wajib menjalankan adat kewarasan,” demikian lanjut Demo.

“Hehe, sepertinya jika kita lanjutkan pembicaraan ini, maka sudah barang tentu tidak akan pernah ada ujungnya. Ya, kini terserah kita masing-masing, Kawan. Aku memilih jalan orang waras, sementara engkau memilih jalan orang gila. Tak apalah, yang penting kita punya pemikiran dan dasar masing-masing.  Lihatlah, hari telah berganti, sementara subuh sebentar lagi tiba. Kita akhiri saja ya pembicaraan ini,” Sejo berpendapat.
“Haha, ternyata orang waras sudah lelah dan mengantuk rupanya. Ya sudahlah, orang gila mengakhiri celoteh dulu, libur menggila, sebab takut kata-katnya tidak dipahami atau disalahmengerti oleh orang waras. Orang gila juga mau berhenti gejekan karena imajinasi liar kadang bisa keluar dari kontek wahyu, padahal wahyu itu sendiri sebetulnya ada dalam maha wahyu. Maklumlah namanya juga orang gila. Kawan, maafkanlah atas ketidakwarasanku, sebab aku manusia lemah, bodoh dan dhoif yang kadang masih tergoda untuk melucu tapi ternyata tidak lucu,” Demo tersenyum pada Sahabatnya itu.
“Kawan, dalam hidup ini harus ada perdebatan, harus ada tukar pikiran, supaya jalan menuju kebenaran tambah lempang, agar pisau terasah dan tambah tajam. Jangan takut dengan perbedaan, apalagi kalau cuma dijelek-jelekkan. Kejelekan akan semakin menunjukkan di sana ada kebaikan,” tangan Sejo merangkul pundak Demo. “Terimakasih ya, kau mau menemani kekosonganku di malam ini, apa kau mau menginap dulu di rumahku?” Sejo kembali merayu sahabatnya itu.

“Aku yang seharusnya berterimakasih kepadamu, Kawan. Kau telah membelikan aku makanan gratis dan halal. Tidak, Kawan. Tidak enak nanti bila ada orang gila yang masuk ke rumahmu, nanti malah menakut-nakuti anak dan istrimu. Biarlah aku melanjutkan perjalananku ini. Ah, pencarian ini seperti tak akan pernah ada titik habisnya, Kawan,” tutur Demo.

“Hehe, ya sudahlah, Demo. Sebentar ya,” Sejo merapikan cangkir dan piring, kemudian memasukkannya ke dalam warung. Ia yang membayar biaya makan dan minum pada malam hari itu.

“Hmm, pesanku sebelum kita berpisah, Demo. Kamu harus tetap menjaga diri, sebab di sekitar sini banyak polisi yang berkeliling, bisa-bisa nanti kamu ditangkap lagi, hehehe,” di akhir perjumpaan Sejo menyempatkan bergurau kembali.

“Ah, tak perlu kau khawatir soal itu, Kawan. Aku sudah terbiasa beratapkan langit dan beralaskan bumi Allah yang maha Akbar ini. Biarlah Allah yang menjadi pelindungku, Kawan.” Demo memegang tangan Sejo, lama sekali. Sebenarnya ada yang ingin ia sampaikan, tapi ia tak sanggup. Dan untuk yang terakhir kali ini, Sejo melihat mata Demo berair.

“Tenangkan dirimu, Kawan. Yakinlah, doaku akan senantaisa menyertaimu. Kita selamanya berteman, bukan? Janji ya, sehidup semati! Kutunggu engkau, Kawan, di hari esok yang lebih panjang dan kekal adanya,” air mata Sejo pun ikut meleleh.

“Sekali lagi terima kasih, Kawan. Hanya engkau teman yang paling baik di mataku. Hanya engkau yang mengerti bahasa dan rasaku. Aku akan menepati janji itu, Kawan. Seperti yang menjadi namaku, Demonstrasi, aku tak akan pernah berhenti meneriakkan dengan lantang makna cinta dan kebenaran itu. Aku janji, Kawan. Kita pasti akan bertemu lagi, esok, di hari yang lebih cerah..,” Demo pun tersenyum.
Sebuah pertemuan singkat yang bermakna. Kedua sahabat itu bersalaman, mengucap salam, dan kemudian berpisah. Sejo segera berlalu dengan motor vespanya. Sementara itu, Demo berjalan dengan kaki telanjang, menembus pekat malam yang membeku. Keduanya berusaha mencari dan mengumpulkan cahaya di sepanjang perjalanan, agar tidak buta peta dan tujuan yang menjadi pijakannya masing-masing. Ada tak hingga cara untuk menuju suatu titik. Meski jalan mereka berbeda, tapi keduanya punya tujuan yang sama, yakni titik kebenaran. Kebenaran yang dirindukan oleh keduanya ibarat kekasih adanya. Kebenaran yang hari ini telah dilupakan oleh kebanyakan orang.

Malang, 29 Nopember 2015