Menunggu di Bawah Rembulan

Aku menunggu engkau di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Sementara, engkau yang kutunggu tak juga kunjung datang menemuiku. Alangkah membosankan penantian ini. Ataukah engkau sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini?

Sahabat, lihat, matahari hampir terbenam. Hari sebentar lagi malam. Tak ada lagi kicau burung di dahan. Tak ada lagi keciap ayam di pelataran. Anak-anak kecil yang bermain di lapangan pun sudah bubaran. Mereka  pulang untuk mandi. Setelah itu pergi ke musala belajar mengaji. Atau, siapa tahu langsung nonton televisi. Mungkin ada juga yang mengerjakan pe-er setelah makan sore bersama papa mamanya. Dan aku?

Aku masih menunggu engkau di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Sementara, engkau yang kutunggu tak juga datang menemuiku. Alangkah membosankan penantian ini. Ataukah engkau memang sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini?

Sekarang hari telah malam. Matahari sepenuhnya tenggelam. Listrik mulai menyala remang-remang. Azan Magrib baru saja berlalu. Pedagang sore pun muncul satu per satu. Ada tukang bakso, tukang soto, tukang sate, dan kue putu. Ah, andaikan engkau saat ini ada di sampingku, betapa ingin aku memesan dua mangkuk bakso. Satu untukmu, satu untukku. Bukankah engkau suka makan bakso? Sayang, engkau belum juga datang. Ataukah engkau saat ini sedang dalam perjalanan?

Baiklah, aku akan tetap menunggumu di sini. Menunggu hingga habis waktu. Aku yakin engkau sebentar lagi datang, sebab aku tahu engkau bukan orang plinplan. Itulah sebabnya, aku tetap menunggumu di sini. Menunggu hingga segala janji tertepati. Bukankah janji adalah utang yang mesti dibayar?

Sengaja aku memilih taman ini untuk menunggumu, sebab di sini pertama kali kita bertemu. Lagi pula, bukankah engkau sendiri yang berjanji dan memintaku agar aku menunggumu di tempat ini? Betapa taman ini bagiku memberi kesan yang mendalam walaupun sebelumnya tidak demikian. Aku sangat terkesan setiap kali duduk di sini, sebab setidaknya kau pernah hadir di taman ini dan sempat pula mengetuk pintu hatiku. Pintuku tak terbuka untuk sebarang orang. Dan, engkau adalah tamu yang berhasil membuka pintuku.

Kau tahu bagaimana indahnya bulan purnama di langit itu? Aku telah menyaksikannya dengan sengaja sebanyak empat belas kali. Dan sebentar lagi, purnama akan menampakkan wajahnya kepadaku untuk yang kelima belas kalinya. Namun, kau baru hadir satu kali di hadapanku. Seandainya engkau rembulan, aku tak akan menganggapmu seindah dia. Kau lebih istimewa dari bulan purnama sekalipun. Betapa kehadiranmu yang sekali itu sempat menggetarkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Sementara untuk mengingat wajahmu, aku sudah lupa dengan purnama yang keempat belas kali itu.

Konon, di bawah sinar rembulan itulah para muda-mudi berjanji. Berjanji untuk sehidup semati, mengukir hari esok dengan langkah pasti. Konon, katamu pula, di taman inilah mereka selalu bertemu untuk bersumpah setia saling mencinta untuk selamanya hingga hari tua. Dan kau, mengapa tak juga datang? Bukankah hari ini kita telah berjanji untuk bertemu di sini menikmati sinar rembulan sampai pagi?

Lihat, satu per satu pasangan muda-mudi itu datang. Mereka masuk ke taman dengan langkah riang. Duduk, bercakap-cakap sebentar, lalu berdiri berhadap-hadapan. Ditatapnya rembulan. Mereka saling tersenyum, kemudian terucaplah janji. Janji sehidup semati untuk mengukir hari esok dengan langkah pasti. Setelah itu, mereka  pergi meninggalkan taman ini. Tak ada kecupan, tak ada rangkulan, tak ada bunga-bunga bertebaran. Itu pantang dilakukan di sini. Sebab taman ini hanya digunakan untuk berjanji. Setelah itu, mereka boleh pergi.

Ah, seandainya engkau datang, mungkin kita sudah mengadakan janji di bawah sinar rembulan. Ya, berjanji untuk sehidup semati seperti mereka yang  sedang dilanda kasmaran. Tapi, mengapa engkau belum juga datang?

Sahabat, lihat, malam semakin larut. Rembulan telah menggelincir ke arah barat. Sinarnya tak lagi terang. Mendung hitam mendadak datang dari arah timur. Mungkin sebentar lagi hujan deras akan segera turun.

Taman ini sekarang sepi. Tak ada lagi muda-mudi yang datang untuk mengikat janji. Para pedagang malam pun sudah pulang. Dagangan mereka telah habis. Hanya tinggal satu-dua tukang sekoteng yang lewat. Pada cuaca dingin seperti ini, mungkin enak juga minum sekoteng yang hangat. Tapi sayang, engkau belum juga datang. Seandainya engkau datang, tentu aku akan memesan dua gelas sekoteng; satu untukmu, satu untukku. Namun, mengapa engkau belum juga datang?

Tak apalah. Aku akan tetap menunggumu di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Memang membosankan penantian ini. Ataukah engkau memang sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini? Aku percaya, engkau tak sekejam itu.

Ah, lihat. Sekarang hujan pun turun. Langit sepenuhnya gelap. Cahaya rembulan terhalang awan hitam. Bintang-bintang pun menyembunyikan wajahnya entah di mana. Taman ini tak seindah tadi lagi. Suasana semakin sepi. Tapi, aku tak mau dikalahkan hujan. Biarlah aku tetap menunggumu di sini meskipun bajuku basah kuyup. Dingin memang, tapi alangkah nikmat derita yang lahir dari sebuah penantian.    Bukankah cinta itu penuh pengorbanan? Bukankah cinta butuh kesabaran? Penantian, kata orang, adalah lambang dari kesetiaan. Itulah sebabnya, dalam keadaan seperti ini aku tetap percaya bahwa engkau sebentar lagi datang. Ya, datang menemuiku untuk mengobati rasa rinduku yang telah sedemikian membukit. Bila engkau datang. maka akan kau temui diriku sedang menggigil kedinginan.

"Mengapa tidak berteduh?" Mungkin begitu engkau langsung bertanya.

"Sengaja. Supaya engkau percaya bahwa aku benar-benar menunggumu di sini," jawabku.

“Tapi, caranya tidak seperti ini!” katamu lagi.

“Mengapa?”

“Ini kebodohan namanya!”

“Orang yang sedang jatuh cinta, kadang tidak tahu apakah yang diperbuatnya itu kebodohan atau bukan,” aku menjelaskan.

“Tapi, engkau terlalu mengada-ada!”

“Mengada-ada?”

"Mana ada orang mau menunggu berhujan-hujan seperti ini? Di tengah malam pula!"

“Tapi, bukankah engkau sendiri yang berjanji dan memintaku agar aku menunggumu di sini?”

Engkau terdiam dan menatapku tajam. Wajahmu merona dalam kegelapan, lalu engkau mengemukakan berbagai alasan apa kiranya yang menyebabkan engkau terlambat datang. Meskipun engkau berbohong, aku tetap saja memercayaimu. Ya, memercayaimu, sebagaimana aku percaya bahwa hujan sebentar lagi berhenti. Mendung kan tertiup angin dan rembulan kembali bersinar terang. Itulah sebabnya, aku tetap menunggumu di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Memang membosankan penantian ini. Tapi aku yakin, sebentar lagi engkau datang. ~

Malang, Maret 2018.
Mukhammad Fahmi.
Balada Setetes Embun

Entah mengapa. Setiap dongeng selalu diawali kata-kata pada suatu hari atau pada suatu ketika. Bagaimana jika saat peristiwa itu terjadi belum ada hari, belum ada waktu, bahkan belum ada nama-nama.

Seperti kisahku. Baiklah. Awalnya aku sengaja menyebut ini sebagai dongeng. Sebab jika ini kusebut cerita nyata aku pasti dianggap pendusta. Dan jika ini kusebut fakta-fakta aku pasti dituntut untuk menyebutkan rumus dan angka-angka. Maka ini kusebut saja sebagai dongeng. Jika orang dewasa tak bisa menerimanya biarlah nanti anak-anak saja yang menikmatinya. Meskipun toh nanti diabaikan juga oleh anak-anak itu saat mereka tumbuh remaja.

Inilah dongeng yang diawali pada suatu yang entah. Sebab memang benar belum ada hari dan waktu. Serius. Peristiwa itu bahkan telah terjadi sebelum enam hari Tuhan menciptakan alam semesta seisinya.

Singkatnya. Cuaca saat itu sungguh tenang. Musim saat itu begitu pagi dan bening. Hingga lahirlah aku, setetes embun yang melekat di sebuah pohon. Pohon yang begitu dipuja dan ditakuti oleh semua penduduk Surga. Sebab di pohon itu tumbuh buah yang menjadi rahasia penciptaan. Beberapa buku berbeda versi dalam menyebutnya.

Pokoknya aku adalah setetes embun yang melekat tepat di dahan buah terbaik dari pohon itu. Buahnya menyala terang. Buah terbaik dari yang paling baik. Buah paling baik dari yang terbaik. Tak ada yang berani menyentuhnya karena itu sudah menjadi aturan. Karena itu sudah jadi perencanaan.

Sungguh. Aku setetes embun yang menyaksikan kumpulan cahaya bersujud. Aku setetes embun yang mendengarkan kobaran api menyanyikan puja dan puji surgawi. Kunamai seperti itu biar lebih mudah. Sebab memang belum banyak nama-nama. Bahkan di titik itu aku masih tidak tahu waktu itu yang bagaimana dan seperti apa.

Ya. Sampai peristiwa itu datang. Diciptakanlah manusia pertama. Dia yang kesepian karena tidak menjumpai sejenisnya untuk dijadikan teman. Maka diciptakan juga pendamping hidupnya dari tulang rusuknya ketika ia terlelap.

Segalanya kemudian menjadi baru. Kedua manusia itu menjadi sorotan utama. Semua penghuni dituntut menghormatinya. Kecuali kobaran api yang terus menyala, seakan ia tidak ingin ada yang dihormati dalam sujudnya lagi selain Tuhan.

Tapi entah memang karena pemberontakan atau perencanaan, hal itu terjadi. Kedua manusia itu mendekati pohon di mana aku melekat. Di mana buah terbaik itu tumbuh. Perempuan itu begitu memohon, sementara lelaki itu tak kuasa mengabaikan permintaannya. Mungkin inilah kelak sejarah melahirkan perempuan yang sering meminta dan laki-laki yang berusaha keras memahaminya.

Ah. Aku sungguh tak bisa melupakan peristiwa itu. Semua penduduk Surga mengalami ketegangan yang bukan main. Gerombolan cahaya terdiam. Kobaran api berhenti bergoyang. Inilah kemudian barangkali yang tak disadari manusia itu. Tak disadari penduduk Surga juga. Sebegitu kuat laki-laki mencintai kadang sering berarti juga sebegitu hebat juga dia untuk berkorban.

Diretasnya buah terbaik itu. Lepas. Atas nama cinta. Atas nama penasaran. Atas nama pemberontakan. Atau juga atas nama perencanaan. Seketika segala dan semua terdiam dalam ketakjuban.

Barangkali inilah kemudian yang tak disampaikan sejarah. Luput diceritakan pada kitab-kitab kisah. Aku ikut terlepas bersama buah terbaik itu dari pohon kebermulaan di alam surgawi. Aku terhempas. Jatuh. Semua menyaksikan kedua manusia itu memakan buah terbaik dari segala penciptaan. Tak ada yang melihatku. Aku terhempas. Aku jatuh.

Jadilah aku setetes embun yang terlupakan. Saksi segala peradaban. Saksi semua kejadian. Entah mengapa, barangkali aku juga: abadi.

Aku menyaksikan bagaimana cinta bekerja. Bagaimana cinta berjihad melawan trauma. Kedua manusia itu dipisahkan jarak untuk menjalani kehidupan sesungguhnya. Bukan dengan meminta lalu kemudian datang dengan sendirinya. Aku tahu pasti. Itu bukan kutukan atau hukuman. Itu adalah latihan penempaan fisik dan mental dalam menjalani kesejatian.

Aku ikut turun ke alam dunia. Sebab kuyakini Surga begitu membosankan dan isinya itu-itu saja. Aku lihat gerombolan cahaya mengucapkan salam perpisahan kepada kedua manusia itu, tapi bukan kepadaku. Barangkali memang benar aku telah terlupakan sebenar-benarnya. Sementara beberapa kobaran api juga ikut turun ke bumi. Mereka berjanji untuk memenuhi tugas berat kebencian sampai akhir hayat nanti.

Aku jatuh. Terhempas ke sana kemari. Di antara hampa dan udara. Teringat kisah terakhir kedua manusia itu sebelum turun ke dunia. Keduanya tergeletak lemas setelah buah itu dicicipinya. Bukti bahwa keberaniannya lulus. Bukti bahwa mereka siap menjalani kehidupan di dunia dengan tulus.

Aku masih juga terhempas. Mulai mengenali dan meraba-raba semesta seisinya. Menyaksikan kedua manusia itu menempuh jejak dari keterpisahan yang teramat memilukan. Mereka menciptakan bahasa. Mereka memberikan nama-nama pada yang dijumpainya.

“Suatu hari anak-anak yang terlahir dari rahimku akan merasakan rindu. Wujud keindahan dan kesakitan dalam satu waktu,” begitu kata hawa suatu ketika.

“Kelak anak cucuku akan menyesali perpisahan. Sebab ia selalu membawa kenangan-kenangan yang menyakitkan,” Adam juga bergumam.

Dan yang lebih indah dari itu semua. Tentu adalah saat mereka berjumpa dari tahun-tahun paling panjang. Dari tahun-tahun perjuangan hidup melawan ketakutan dan kata menyerah.

Sumpah. Tak ada kata-kata!

Kedua manusia itu terdiam begitu saja!

Perlahan. Turun air mata. Untuk pertama kalinya juga gerimis mengguyur semesta. Lalu mereka saling memeluk. Kelak suatu hari manusia melakukannya ketika kata cinta tak cukup. Sebab akan selalu ada detak jantung yang tak bisa dibahasakan dengan buku yang bertumpuk-tumpuk.

Aku mengikuti air mata itu. Mengalir meresap tanah. Melewati pepohonan raksasa. Hingga sampai ke laut; tempat segala kesedihan diciptakan. Pun muara segala kebahagiaan bersemayam. Sementara kedua manusia itu memberikan nama-nama pada setiap segala semua yang didengar, dilihat, dan dirasanya.

Akulah setetes embun. Saksi segala peradaban. Saksi semua kejadian. Kini aku bisa menjelma apa saja. Aku bisa hanyut dalam desir angin. Mengalir dalam sungai. Melesat bersama cahaya. Tersenyum dalam butiran bening embun di dedaunan. Berdenyut dalam detak waktu. Berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna. Dan bernyanyi bersama kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Aku terpesona laut, apalagi senja. Terlebih jika senja dan hujan turun bersama-sama. Aku beterbangan ke sana kemari. Menyusuri bumi seisinya. Masih juga di ruang antara hampa dan udara. Sampai peristiwa itu terjadi juga. Kelahiran manusia baru. Aku saksikan kedua manusia itu menggendong bayi-bayi. Mereka ternyata bisa melihatku. Ya. Bayi-bayi itu. Mereka melihatku dengan kata yang belum mampu mereka bahasakan. Aku menghiburnya. Aku menjelma udara. Kudekatkan tubuhku, mengusap tubuh mungilnya.

“Ciluk Ba! Ciluk Ba..!”

Barangkali ini memang takdirku. Orang-orang tak pernah bisa melihatku. Aku yang hanya bisa disaksikan bayi-bayi sebelum mereka lepas dari air susu ibunya. Sehingga aku selalu berusaha membuat mereka senang selain usaha orang tuanya menyanyikan lagu timang-timang.

Aku juga menyaksikan itu. Pembunuhan pertama dalam umat manusia. Bukti bahwa Tuhan tidak menciptakan semua kebaikan saja untuk dipelajari. Tapi juga belajar dari serangkaian tragedi. Pun semua tata kehidupan alam semesta. Seperti burung gagak yang mengubur saudaranya sendiri. Seperti manusia itu juga. Seakan mengekalkan bahwa kenangan pahit tidak hanya harus dikubur. Tapi juga perlu dihadapi segagah-gagahnya.

Kehidupan-kehidupan baru kemudian lahir. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di laut. Menyaksikan senja tenggelam. Ikan-ikan berlompatan. Elang meliuk ke sana kemari. Ombak bergemuruh. Camar di cakrawala yang berusaha mengejar matahari. Juga anak-anak berlarian di atas hamparan pasir berkilauan. Sambil sesekali tetap berkeliling menyaksikan bagaimana seluruh kehidupan berjalan.

***

Sungguh! Aku setetes embun yang menyaksikan segalanya. Tahun, abad, dekade, dan milenium berlalu dalam ukuran waktu yang tak mampu kuhitung dalam angka-angka. Aku terperangah atas apa saja yang terjadi dalam usia kehidupan. Seakan di waktu yang jauh, semua terjadi tak seperti yang kubayangkan. Bencana dan tragedi kemanusiaan meluluh lantahkan apa saja. Peperangan saudara. Pertarungan ideologi. Perjalanan ilmu pengetahuan dalam kehendak rakyat dan penguasa.

Aku menyaksikan sejarah manusia lahir dari perjuangan kelas. Tak ada ampun bagi mereka yang memelas. Tak ada nasib baik yang berpihak pada para pemalas. Seakan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mau bersatu mengubah nasibnya sendiri. Kemenangan-kemenangan besar diwujudkan oleh kekuatan rakyat keseluruhan, bukan dari satu orang yang dianggap pahlawan dan didewakan. Panjang umur perlawanan para buruh, petani, nelayan, kaum papa, dan semua yang ditindas oleh penguasa. Karena setiap yang tertindas tidak akan kehilangan apa-apa kecuali rantai yang membelenggu tubuh mereka.

Pada akhirnya aku hanyalah setetes embun. Di mana kusaksikan dunia berisi lebih banyak orang yang bisa makan, tapi sedikit yang bisa bersikap jujur. Dan kebenaran. Apapun alasannya selalu pantas diperjuangkan. Bahkan samudra darah pun tak sanggup menenggelamkannya.

***

Aku kini memilih banyak beterbangan di negeri yang terdiri dari banyak laut dan pulau-pulaunya. Di negeri di mana suara di balik meja lebih jujur daripada yang diumbar lewat pengeras suara. Di mana kenyataan di dalam ruang sempit itu lebih bisa dipercaya daripada yang dipertontonkan layar kaca.

Aku menyusuri pesisir pantai negeri itu. Pelabuhan. Dermaga-dermaga. Zaman memang telah berubah. Pemandangan masyarakat pinggiran adalah bagian kecil dari rangkaian kesedihan di negeri itu yang tak mampu ditutupinya. Lagu dangdut. Ceracau pemabuk. Teriakan para penangkap ikan. Dan di suatu subuh. Seorang pelacur berbisik lirih di telinga anaknya yang tertidur lelap.

“Nak. Jika kau besar nanti jangan seperti ibu. Kau harus bisa menjadi lebih baik. Pekerjaan semacam ini bukanlah atas keinginan ibu. Bapakmu tak pernah kembali dari laut. Kita harus tetap hidup. Besok kita harus tetap makan. Dan kamu harus sekolah yang pintar agar tidak menjadi pelacur hina seperti ibumu ini. Maafkan ibu, Nak.”

Aku lihat perempuan itu terduduk lemas. Air matanya menetes. Ingin sekali aku mengusapnya. Tapi tak bisa. Semuanya menjadi kepedihan tak terucap dalam kata-kata.

Lalu pemandangan lain di sebuah hotel pinggir pantai. Seorang petinggi ibukota menyusun rencana.

“Tambang besi harus tetap diperluas!”

“Tapi, Pak,...”

“Sudahlah. Persetan dengan rakyat kecil...!”

“Jadi kita tetap akan menggusur dan mengalih fungsikan lahan pesisir dan beberapa tanah warga di pinggir pantai itu, Pak?”

“Loh, ya jelas. Investor sudah pasti mau. Akademisi tinggal kita bayar untuk memuluskan jalannya proyek ini. Dan kita tinggal mengatur perizinannya.”

“Tapi kalau mereka kehilangan lapangan pekerjaan dan penghidupannya?”

“Itu urusan mereka. Kita harus bisa mengambil peluang yang menggiurkan ini. Kamu ndak pengen punya mobil baru? Selingkuhan artis papan atas? Liburan ke luar negeri juga?”

“Tapi Pak. Kalau mereka demo?”

“Kita Sikat. Kan ada polisi. Ada tentara. Memang mereka mau dibuat apa!”

Barangkali inilah yang lebih kejam daripada pembunuhan pertama umat manusia. Membunuh secara pelan-pelan. Merusak tatanan. Membuat puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang melarat lalu mati sekarat kemudian.

Bahkan pemandangan lain dari pesisir itu. Di remang bar murahan. Remang lampu. Botol bir dan vodka. Sepasang kekasih melakukan pembicaraan.

“Mas. Aku hamil,...”

“Kamu ngomong apa. Aku ndak dengar?”

“Aakuu haamiiil...!”

“Kakakmu hamil? Sukurlah kalo begitu.”

“Hiih. Aku mas yang hamil. Aku. A-k-u...!”

“Hmppfh...”

“Mas pasti tanggung jawab, kan? Mas kan cinta dan sayang sama aku. Apalagi di puisi-puisi yang mas buat, sering kali disebut kata-kata pernikahan, mahligai, ranjang yang bergoyang...”

“Hmmmphhf...”

“Iya kan, Mas? Iya, kan? Tanggung jawab, kan?”

“Hmm. Mana mungkin aku menghamilimu. Aku kan kemarin membeli kondom.”

“Iya. Mas memang beli kondom. Tapi nggak dipakek. Karena mas mabuk berat!”

“Nggak mungkin. Kamu pasti mau menjebakku. Nggak. Ini bukan karena ulahku. Ini pasti karena ulah kamu dengan laki-laki lain...!”

“Dasar Bajingan kamu, Mas!”

Perempuan itu berlari. Menangis. Menuju laut. Dipandangnya cakrawala. Desau debur ombak memilukan batinnya.

“Apakah karena ibuku pelacur? Aku harus bernasib sama sepertinya. Apakah nanti adikku juga? Kepedihan hati apalagi, Tuhan? Ayahku hilang di laut. Kakak laki-lakiku tak jelas rimbanya di kota. Kemiskinan mengoyak hidup kami. Rumah kami juga hendak digusur. Kami harus bagaimana lagi?

Jauh di samudra sana. Aku melihat seorang bapak terkubur di pulau terpencil. Dia dibunuh karena mencoba membangun kekuatan untuk memberontak tambang. Tak ada yang tahu kematiannya. Aku pun tak bisa mengatakannya.

Ah. Aku sangat menyayangi anak itu. Anak itu teramat kecil untuk mengerti semua kepedihan yang terjadi. Bersama pamannya. Dia berlarian di atas pasir. Pasir yang tak lama lagi akan dikuasai pertambangan. Dia yang teramat mencintai laut. Mencintai setiap ikan, ombak, dan senja yang tenggelam dalam debur asin airnya.

“Paman. Apakah perempuan boleh jadi nelayan? Berteman dengan ikan, ombak, dan ayah di tengah laut sana?”

Pamannya terkejut. Dia sangat menyayangi gadis kecil itu. Dia tidak ingin menyakitinya. Meskipun dia sadar tambang akan datang, semakin luas, dan merebut tanah hidupnya.

“Iya, Nduk. Tidak apa-apa. Nenek moyang kita juga seorang pelaut.”

“Horeee...” begitu sambut gadis kecil itu.

Dan aku setetes embun yang membenci diriku sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Sampai hari itu datang. Tambang mulai melakukan pekerjaannya. Pematokan. Penyuapan kepala desa. Penggusuran tahap demi tahap. Pelacur itu. Ibu dari si gadis kecil tak sanggup lagi menanggung semuanya. Dia benamkan tubuhnya ke laut. Berharap ombak membawanya pada suami tercinta.

Yang terjadi kemudian adalah anak-anak ibu itu menangis histeris. Ditangisinya jasad beku tak bernyawa. Hari itu: tanah pesisir berduka.

Dalam kubangan dendam, sang paman dan warga menyusun rencana. Diajaknya semua berembuk. Petani, nelayan, guru agama, buruh, gelandangan, pelacur, dan semua yang tertindas untuk menyatukan tujuan bersama.

Sang paman berteriak lantang.

“Sesama orang lemah harus saling tolong menolong. Tak ada kemenangan perjuangan yang didapatkan dari mengemis dan merengek-rengek. Kemarin sudah jatuh korban. Apakah akan kita biarkan lagi? Apa yang harus kita lakukan? Tumbal perjuangan sudah cukup. Saatnya kita menyatukan barisan. Kita bangun kuat-kuat. Lalu kita hantamkan pada kekuasaan yang menindas tepat di jantungnya.”

***

Dan sejarah terus berjalan. Perlahan dan pasti semua meninggalkan dunia. Sampai akhirnya. Aku setetes embun. Aku harus menghadapi ketakutan yang teramat sangat. Bahkan aku terlampau takut hanya dengan membayangkannya saja. Yaitu ketakutanku yang tak bisa mati. Terlepas dari semua dan segala. Menyaksikan apa saja yang terjadi. Semua kepedihan dan kesedihan itu. Sendiri. Bahkan Tuhan.

***

Sekian dongeng ini. Selamat malam. Semoga mimpi indah para kekasih. ~


Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.


Jalan Sunyi yang Terapung

Mutiara Hikmah Ustaz Abdul Somad

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya." Alquran surah Al-Kahf (18): 7.

Media sosial hari ini telah dipenuhi dengan foto-foto yang diikuti, disukai, dan dikomentari oleh banyak mata, hingga berujung pada chat yang tidak semestinya. Maka selagi foto-foto itu masih ada di setiap jejaring media sosial, dosa jariah itu akan senantiasa mengalir sekalipun ia telah mati, sepanjang setiap kali ada mata yang melihatnya.

Ada orang-orang yang bergetar hatinya manakala menerima kebenaran. Sebagian yang lain memilih benci, memandang sebelah mata, dan berdalih sebagai ekspresi diri. Padahal bukan demikian caranya.

Ada orang-orang yang memilih jalan yang sesak, penuh dengan kebisingan, lalu-lalang, dan juga gurauan orang-orang. Mereka memperlihatkan dan menjual apa yang seharusnya tidak boleh terlihat oleh mata orang lain. Kemudian tiba-tiba jalan itu menjadi retak. Terlalu banyak muatan orang-orang yang berkelakar di sana. Mereka pun terjatuh dan tenggelam ke dalam jurang yang tak tersebutkan namanya.

Ada pula orang-orang memilih menepi dari keramaian, tidak mengumbar dirinya, memilih jalan sunyi yang damai dan terapung, lalu membiarkan perahu membawa dirinya senantiasa pulang menuju Yang Abadi.

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

"Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku." Alquran surah Al-Fajr (89): 29.

Betapa Allah mudah sekali cemburu. Ia pun rindu dan selalu mengajak manusia untuk benar-benar menjadi hamba-Nya, dan bukan menghamba pada ego, pada ke-Aku-an, pada berhala-berhala masa kini, dan pada segala selain-Nya.

Tidak ada salahnya kita senantiasa mengikuti ulama yang lebih berhati-hati. Jangan bersedih jika dianggap terlalu kaku. Tetaplah membagikan hal-hal yang baik. Mendiamkan kemungkaran adalah kejahatan. Lebih baik terasing daripada hidup dalam kemunafikan. Agama adalah keyakinan dan keteguhan.

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.


قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Alquran surah an-Nur (24): 30-31.


Batas Tidur
Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Apakah ia ingin tidur di rumah, di pasar, di pondok, atau di tempat lainnya. Apakah ia ingin tidur terlentang, ke samping, tengkurap, atau bahkan dengan duduk. Semua posisi tidur bisa dipilih sebelum seseorang tertidur. Sekalipun ada hal-hal tak terduga, seperti ketika seseorang tidur dengan duduk bisa jadi sesudahnya tidak lagi duduk, namun jatuh terbaring. Tetapi yang pasti, tak seorang pun tahu, di menit dan detik ke berapa ketika ia tertidur.

Batas tidur, sebagaimana batas hidup dan mati. Bahwa setiap jiwa kelak pasti akan mati. Dan setiap orang bisa memilih, apakah ia ingin mati dalam keadaan baik, ataukah mati dalam keadaan tidak baik. Seseorang yang ingin mati dalam keadaan baik tentu harus mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya setiap waktu. Sekalipun ada orang yang terlihat tidak baik, namun pada akhirnya ditakdirkan baik ketika ia mati. Dan begitu juga sebaliknya. Tetapi yang pasti, tak seorang pun tahu, di hari, jam, menit, dan detik kapan ia akan mati.

Maka, selagi ruh masih bersemayam di kandung badan, belum terlambat untuk senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan di setiap hari.

Renungan menjelang tidur, 24.05.19.
Mukhammad Fahmi.
Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu.

Pada setiap jeda waktu antara salat tarawih dan salat witir di musala an-Nur selalu diselingi kuliah tujuh menit oleh ustaz Abdul Muhaimin. Para jemaah salat tarawih di musala itu memperhatikan dengan hikmat dan khusyuk. Ada yang khusyuk karena memang benar-benar mendengarkan, ada pula yang khusyuk karena terlampau lelah dan mengantuk. Termasuk Joni yang pada waktu itu mendengarkan kultum ustaz Abdul Muhaimin. Lamat-lamat suara yang bisa ditangkapnya. Entah kenapa, ia sering sekali mengantuk ketika mendengarkan kultum. Tapi begitu kultum selesai, anehnya menjadi hilang sama sekali rasa kantuknya. Konon katanya, setan kecil suka sekali bermain di gendang telinga manusia, sesekali hinggap juga di batang hidung dan meniupi kelopak mata manusia yang lemah.

Dalam keadaan antara terjaga dan mengantuk, Joni sempat menyimak baik-baik ceramah yang disampaikan oleh ustaz Abdul Muhaimin.

"Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu." Begitulah beberapa pesan yang bisa ditangkap Joni.

Setelah pulang dari salat tarawih, setengah ragu ia bertanya kepada temannya, Asep.

"Eh, Sep, apa benar, malam seribu bulan itu ada?"

"Iya lah, barusan tadi ustaz Abdul Muhaimin menjelaskan. Kamu pasti ngelamun ya?"

"Ndak kok, mungkin cuma karena gagal fokus saja, hehe. Memangnya kapan itu bisa terjadi, Sep?"

"Ketika malam-malam ganjil setelah tanggal dua puluh di bulan Ramadan."

"Owh, jadi begitu ya," ucap Joni sambil manggut-manggut.

"Ya sudah, makasih ya, Sep, hehe," lanjut Joni.

"Asshhiyyaaapp," sambut Asep, menirukan gaya kartun Cute-Girl.

Dalam perjalanan pulang, Joni terus berpikir tentang adanya malam seribu bulan itu. Sebelumnya ia belum pernah mendengar tentang malam itu. Gurunya juga tidak pernah menjelaskan tentang malam seribu bulan. Paling hanya seputar pengetahuan tentang puasa Ramadan, syarat, dan rukunnya yang dibahas. Mungkin dapat dimaklumi, karena ia masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sekalipun demikian, ia sangat tertarik dengan hadirnya malam seribu bulan itu.

"Ah, malam seribu bulan. Pastilah sungguh indah. Pintu langit malam akan dibuka, bulatan-bulatan cahaya purnama yang banyak jumlahnya akan bertebaran di atas sana, para malaikat juga akan turun ke bumi, malam akan menjadi hidup, dan orang-orang akan keluar rumah, setiap pasang mata akan dibuat takjub dengan keindahan itu, mungkin seperti pertunjukan bunga-bunga lampion yang diterbangkan ke langit, bahkan lebih indah lagi," gumamnya.

Ia kemudian menghitung-hitung hari, "Wah, ternyata besok sudah malam ke dua puluh satu. Ini kesempatanku untuk melihat langit yang akan dipenuhi dengan bulan itu," pekiknya sangat bahagia.

Maka besoknya ia memutuskan untuk tidur di siang hari agar malamnya bisa terjaga sampai sahur dan bertemu dengan malam kemuliaan itu.

Selepas salat tarawih di malam ke dua puluh satu, Joni telah mempersiapkan diri di halaman rumah lantai dua, terjaga kalau-kalau malam ini akan terjadi malam seribu bulan. Untuk menghindari rasa kantuk, ia telah mempersiapkan berbagai macam makanan ringan. Tak lupa ia juga membawa selimut untuk melindungi dirinya dari dinginnya angin malam.

Namun jangankan bulan, bintang-bintang yang ada di langit malam itu menghilang entah ke mana, tertutup awan hitam tebal, pintu langit sama sekali tidak kunjung terbuka, hingga jam sebelas malam turun hujan sampai sahur tiba. Joni hanya bisa melihat suasana langit gelap dan rintik hujan dari balik jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Malam itu, hatinya sangat sedih sekali.

Selepas salat Subuh, Joni tidak sengaja mendengarkan percakapan ustaz Abdul Muhaimin dengan salah satu jemaah.

"Ustaz, apa benar tadi malam adalah malam seribu bulan? Saya tidak terjaga karena kelelahan," ucapnya sedih sambil menunduk.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum dan menepuk pelan bahunya, "Hanya Allah yang tahu, Mas Rahman. Tapi berdasarkan tanda-tandanya, sepertinya saya rasa tidak terjadi tadi malam, karena semalam hujan turun deras sekali. Jika saja langit cerah, tidak ada angin yang membuat daun-daun tanaman bergoyang, dan esoknya matahari bersinar lembut dan tidak begitu panas, itu mungkin adalah malam seribu bulan," terang ustaz Abdul Muhaimin.

Jemaah itupun berterima kasih atas penjelasan ustaz Abdul Muhaimin. Joni lalu menyimpulkan bahwa semalam tidak terjadi malam seribu bulan. Namun ia tetap bertekad untuk selalu terjaga pada setiap malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadan itu.

Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Malam ke dua puluh tiga, seusai salat tarawih, Joni sudah siap di atas loteng. Tak lupa ia membawa kopi panas agar bisa membuatnya terjaga sampai sahur. Kali ini malam cukup cerah. Terlihat samar-samar bintang dan bulan tunggal yang mirip pisang raja saat matang. Joni duduk sambil menatap bulan kecil itu, sesekali ia tiduran karena kepalanya terasa kaku digunakan untuk mendongak ke atas. Sampai sahur tiba, tidak ada perubahan sama sekali. Bulan hanya terlihat satu buah. Pintu langit juga tidak kunjung terbuka. Ia sempat heran, kenapa orang-orang tidak ada yang terjaga untuk memandang langit. Bukankah malam yang dipenuhi seribu bulan itu sangatlah indah? Joni menjadi bingung dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya terdengar ayahnya memanggil dari lantai satu, "Joni, bangun, Le, ayo sahur, sahur, sahur..!"

"Iya, Yah. Ini Joni sudah bangun." Ia melangkahkan kakinya dengan malas, menuruni anak tangga untuk makan sahur bersama keluarganya.

Malam itu, Joni sangat kesal. Tapi ia tak pernah putus asa. Petualangan mencari malam yang penuh dengan seribu bulan itu tetap ia lakukan di malam ke dua puluh lima dan juga malam ke dua puluh tujuh. Baginya, petualangan mencari pintu langit dan seribu bulan ini serupa perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci, seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu dan orang-orang kesayangan Tuhan. Begitu pikirnya. Namun tak ada perbedaan yang begitu nyata. Langit tetap sama seperti langit malam pada malam-malam biasa. Bahkan bulan yang ia lihat di malam ke dua puluh tujuh semakin tipis dan kekurangan cahaya, hampir saja ia tak terlihat. Joni mengembuskan nafasnya yang berat.

Selepas salat tarawih malam ke dua puluh sembilan, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ustaz Abdul Muhaimin.

"Ustaz, apakah Ustaz telah berhasil melihat malam seribu bulan itu? Saya telah terjaga pada setiap malam ganjil tapi tidak bisa melihat bulan yang berjumlah seribu itu. Malah bulan menjadi semakin kecil ukurannya. Atau apakah untuk melihatnya harus menggunakan alat bantu, Ustaz?" tanya Joni lugu. Lugu sekali.

Hening sejenak. Ustaz Abdul Muhaimin sempat tergelak dan mencoba mencerna pertanyaan bocah kecil itu. Dari sisi mimik wajahnya, bocah itu terlihat serius bertanya dan bukan bercanda.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum, dan berkata dengan tenang, "Tidak ada yang mengetahui perihal kapan datangnya malam seribu bulan itu, Nak Joni. Allah merahasiakannya agar hamba-hamba-Nya berlomba-lomba untuk menghidupkan malam dengan beribadah di setiap malam bulan Ramadan."

Belum selesai Ustaz Abdul Muhaimin berbicara, bocah kecil itu menyela, "Owh, apakah dengan beribadah kita bisa membuat malam seribu bulan itu menjadi hidup, Ustaz? Saya lihat orang tua saya tidak pernah terjaga untuk menyaksikan malam seribu bulan. Tapi mereka selalu bangun sebelum waktu sahur untuk salat dahulu," ucap Joni mencoba menerka.

"Kita melakukan ibadah bukan berarti bisa membuat malam menjadi hidup dan bangun dari singgasananya, melainkan kita sendiri lah yang harus hidup dan bangun untuk melakukan ibadah di malam itu. Malam seribu bulan itu juga bukan berarti bulan yang ada di langit akan berubah menjadi seribu, melainkan lailatul qadri khoirun min alfi syahr, yakni keutamaan malam itu melebihi seribu bulan hijriah. Seribu bulan itu kurang lebih setara dengan delapan puluh tiga tahun."

"Hehehe, maafkan saya, Ustaz, mungkin dikarenakan saya tidak begitu memperhatikan kultum Ustaz," Joni tersipu malu sembari mringis dan menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum kembali. Ia lalu berkata, "Kebenaran yang kita yakini barangkali adalah kesalahan yang hakiki, itu sebabnya kita disuruh untuk membaca segala sesuatu dengan utuh dan selesai, bukan setengah-setengah. Setiap manusia pun selalu punya impian untuk menjadi manusia seutuhnya dan bukan manusia yang tidak utuh. Bukankah begitu, Nak Joni?" canda Ustaz Abdul Muhaimin.

Kali ini Joni yang tergelak. Alisnya bertaut. Ditatapnya wajah Ustaz Abdul Muhaimin itu dengan penuh tanda tanya, "Hehe, iya, betul, Ustaz," Joni pura-pura memahami perkataan ustaz itu.

"Nak Joni yang baik, malam seribu bulan merupakan hadiah agung dari Allah kepada umat Nabi Muhammad yang usianya banyak yang tidak sampai seratus tahun sehingga tidak bisa beribadah sampai seribu bulan. Tidak seperti umat nabi-nabi terdahulu yang umurnya diberikan panjang, bahkan hingga seribu tahun. Kamu mungkin pernah mendengar kisah seorang kakek yang tekun beribadah dengan tanpa melakukan maksiat barang sedetik di balik gunung hingga ratusan tahun pada zaman umat nabi terdahulu, itu yang membuat Nabi Muhammad cemburu dan akhirnya diberilah hadiah malam seribu bulan ini kepada umat Nabi Muhammad. Dan diberikan-Nya malam yang penuh kemuliaan ini bukan berarti kita hanya tekun beribadah ketika datang malam seribu bulan saja, namun itu semua sesungguhnya sebagai sarana untuk menggapai keridaan-Nya dengan senantiasa beribadah di setiap waktu," terang Ustaz Abdul Muhaimin dengan lembut dan menenangkan.

"Baiklah, Ustaz. Terima kasih banyak atas semua penjelasannya. Di malam ke dua puluh sembilan ini saya akan berhenti memandangi bulan di langit dan menggunakan malam seribu bulan ini dengan sebaik mungkin untuk bangun dan beribadah bersama orang tua saya. Semoga kita bisa mendapatkan kemuliaan dari malam seribu bulan ini, Ustaz," Joni kemudian izin berlalu dan mengecup tangan ustaz Abdul Muhaimin dengan takzim.

"Aamiin," ucap Ustaz Abdul Muhaimin bangga.

Esoknya, pagi terasa begitu tenang dan mendamaikan. Hewan-hewan tampak bersuka cita. Bunga-bunga seperti berlomba-lomba untuk mekar. Langit bersih tanpa awan sama sekali, seperti ada yang membersihkannya semalam. Dan cahaya matahari bersinar dengan begitu teduh dan lembut. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.

Perihal Warna-Warna
Setiap dari kita sedang belajar mencintai. Menemukan setiap warna kebaikan sepanjang yang kita pandang, yang bisa kita tanam dan merawatnya di pekarangan kalbu. Kita juga sedang belajar membuang kebencian. Menghapus gumpalan-gumpalan hitam yang menyesakkan dada. Lihat. Embun yang pergi diserap mentari, akan senantiasa mencintai daun. Sekalipun cuaca sudah tak lagi pagi. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Memoar Pohon Kersen
"Kamu pernah jatuh cinta, San?"

Waktu itu, matahari menyembul dari balik pohon-pohon kersen yang buahnya sangat lebat. Buah yang matang berwarna merah cerah, bentuknya bulat-bulat, dan rasanya manis. Ada yang menyebutnya pohon beleci, ada juga yang menyebutnya pohon keres. Setiap pagi, aku suka mengambil sejenak buah-buah itu untuk kumakan di sepanjang perjalanan. Aku berjalan bersama Zahra yang tak sengaja berpapasan di jalan. Kami bergegas menuju sekolah. Ia menanyakan perihal asing yang tak ingin kujawab. Aku hanya menggelengkan kepala. Sebenarnya, aku ingin sekali mengiya. Atau lebih tegas lagi menyatakan, dialah yang telah membuatku diam-diam jatuh cinta. Celakanya, aku bukan lelaki yang mahir berbicara. Apalagi bila itu terkait dengan perasaan. Urusan hati, aku selalu mati kutu.

"Ndak pernah?"

"Ya.."

"Biar cuma sekali?"

Kali ini, aku memilih diam.

"Berarti pernah, ya? Iya kan. Iya kan. Iya kan? Ehe."

Buru-buru aku menukas, "Ndak.."

"Nilai bahasamu pasti merah," tuding Zahra.

"Enak saja," bantahku.

"Buktinya jawabanmu selalu sama," katanya sambil tertawa. "Kalau bukan satu kata, ya dua kata. Miskin sekali kosa katamu, San."

Aku tergelak. Badanku terguncang. "Kamu?"

"Kenapa?"

"Hmm.."

"Pernah jatuh cinta?" Cecarnya.

"Bukaaan. Berapa nilai bahasamu?"

Sebuah cubitan pelan singgah di pinggangku. Kurasakan cubitan itu membuatku semakin tidak nyaman. Cubitan yang kuduga adalah isyarat bahwa Zahra juga, boleh jadi, memendam rasa yang sama denganku. Namun, buru-buru kutepis dugaan itu. Siapa gerangan gadis bodoh yang bisa jatuh hati kepada lelaki sepertiku? Kalaupun ada, pasti bukan Zahra orangnya. Dan, kekakuan yang menyiksa berlangsung semenit-dua menit.

"Aku pernah jatuh cinta," kata Zahra dengan pelan. Sangat pelan.

Debar di dadaku makin kencang.

Dia berjalan mendahului dan berbalik menghadapku. Menghalang-halangi jalanku. Aku terkesiap dan menghentikan jalan. Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun mencoba bertahan, membalas tatapannya.

"Kamu ndak tanya siapa lelaki yang membuatku jatuh cinta itu?"

Setengah terpaksa, aku bertanya. "Siapa?"

"Rahasia.." katanya sambil meleletkan lidah. Ia seakan mengolok-olokku melalui tatapannya. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Cinta di Mata Anisa
Namanya Anisa. Ia teman MTs ku dulu. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, paling sekitar dua ratus meter. Ia gadis yang ayu, namun sangat pendiam, dan jarang sekali bergaul. Ayahnya seorang petani dan juga pengarang. Di rumahnya terdapat banyak buku cerita. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku itu. Tidak banyak yang tahu tentang dirinya. Tapi tidak sedikit laki-laki yang datang ke rumahnya. Namun ia selalu saja menolaknya dengan halus. Lelaki seperti apa yang ia cari?

Setiap sore kulihat ia pergi bersama ayahnya untuk mengunjungi ladangnya yang cukup luas. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan. Mulai dari singkong, jagung, ketela, sayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Di sana ia suka sekali merawat tanaman-tanaman itu dengan memberi pupuk dan menyiraminya dengan air. Tak jarang ia memetik beberapa sayur dan buah-buah itu untuk kemudian dibawanya pulang.

Paginya, ia sering mengirim sebagian sayur dan buah-buah itu ke rumahku. Buat tambahan masak ibuku, katanya. Terkadang ia juga membawakan yang sudah masak. Aku berterima kasih. Ia tersenyum. Dan selalu seperti itu.

Saat itu, Ibulah yang menemuinya ketika ia mengantarkan sayur dan buah. Ibu memintanya agar singgah sebentar di rumah. Berbincang-bincang dengan Ibu di ruang tamu. Sedang aku disuruh untuk membuatkannya teh hangat. Saat ia akan pulang, Ibu memberikan beberapa makanan sebagai gantinya.

Ketika sarapan bersama, Ibu menerawang sesuatu di luar jendela dan berkata dengan nada yang tidak biasa.

"Anisa memang anak yang pendiam. Ia demikian karena ingin menjaga mulutnya dari menyakiti dan melukai orang lain. Dari mencela, dari menghasut, dari menggunjing, dari kalimat-kalimat yang tak semestinya keluar. Nyatanya saat ini memang, kalimat-kalimat yang keluar dari kebanyakan anak manusia adalah kalimat yang tidak baik. Bahkan sedikit sekali yang baik. Itu sebabnya ia ingin menjaga mulut dan juga tubuhnya dari api yang kelak menyala-nyala."

Hening sejenak. Sekarang barulah Ibu menoleh ke arahku dan melanjutkan.

"Anisa itu anak yang santun dan baik, Le. Keluarganya juga orang-orang yang baik dan dermawan. Dan satu lagi. Ia sangat menyukaimu."

Aku tersentak. Dadaku berdesir tak keruan.

"Hmm. Ibu ini adaaaaa saja."

Aku mengatur nafasku. Mengambil air teh ke gelas, lalu melanjutkan.

"Apakah ia mengatakannya kepada Ibu?" Tanyaku salah tingkah. Aku meniup-niup teh yang sama sekali tidak panas.

Ibu tertawa kecil melihat tingkahku.

"Tidak."

"Lalu bagaimana mungkin Ibu bisa tahu?" Sanggahku. Tidak percaya.

Ibu menjawab dengan mendekatkan suara pelan ke telingaku. Sangat pelan.

"Anakku sayang. Ibu ini perempuan." ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim
Aku sedang membaca surat-surat yang telah lama kutulis, namun belum pernah kukirim sama sekali padamu. Sebab aku tak mengetahui. Di mana alamatmu sekarang. Lembaran-lembaran itu, akan dengan sukarela memeras seluruh kenanganku. Kuambil satu dari sekian surat-surat itu. Kubaca isinya dengan pelan. Pelan sekali.

"Maukah engkau duduk di sampingku lagi. Seperti saat itu. Akan kubuatkan kopi hangat kesukaanmu. Sambil menikmati matahari yang akan segera tenggelam. Dan kita akan bersama-sama. Menulis lagi."

Kubaca lagi surat demi surat itu. Sampai tak lagi tersisa. Hingga kudapati diriku, yang tiba-tiba kehilangan segenggam nafas. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Seperti apa Hidup itu Bagimu?
Hidup merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat wajah-Nya dengan pandangan nyata. Tuhan ternyata ada di dalam kehidupan. Kini, akupun mencintai hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menciptakan kehidupan itu. Perjalanan seorang anak manusia paling panjang sesungguhnya tidaklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.