Percayalah. Kata para ulama sufi, "kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu saling berkebalikan." Berbanding terbalik. Sebutlah "D" sebagai kehidupan dunia dan "A" sebagai  kehidupan akhirat. Maka bahasa matematika menyebutnya sebagai, "D=1/A atau A=1/D." Sebuah relasi yang tak sebanding. Apapun itu. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D.

Semakin banyak kita sibuk mengurus kepentingan dunia (bukan niat untuk kehidupan akhirat) maka akan semakin sedikit kita mengingat kehidupan akhirat (semakin melupakan kehidupan akhirat). Semakin banyak kita mengerjakan amal akhirat maka kita akan semakin sedikit tertarik dengan kehidupan duniawi (semakin mengabaikan kepentingan duniawi).

Ingin buktinya? Baik. Katakanlah uang di dunia adalah berharga, sedangkan pahala sama sekali tidak. Maka di akhirat nanti uang menjadi tidak berharga, sedangkan pahala menjadi alat pembayaran yang berharga. Allah akan membeli orang-orang yang beriman dengan surga, begitu dalam suatu hadis. Apakah di dunia ini ada orang yang ingin membeli pahala dengan uang? Tentu tidak karena pahala di dunia tak berharga. Atau apakah ada orang di akhirat nanti yang pahalanya ingin dibeli dengan uang? Tentu tidak pula, sebab uang di akhirat tidak berharga.

Kehidupan dunia dan akhirat itu saling berbanding terbalik. Orang-orang yang hura-hura dan senang-senang saja di kehidupan dunia, maka ia akan susah di kehidupan akhiratnya. Sementara orang-orang yang susah di dunia (untuk mentaati agama Allah) maka kelak ia akan bahagia di akhiratnya.

Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "susah-susah dahulu, senang-senang kemudian?" Apakah kita tidak mengingatnya lagi.

Dalam suatu hadis disebutkan, "barang siapa yang kenyang di dunia, maka ia akan lapar di akhiratnya." Hadis tersebut juga menunjukkan pernyataan yang berlawanan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kalimat kenyang di sini adalah kenyang dengan kenikmatan-kenikmatan dunia, sedang ia melupakan kehidupan akhirat.

Ulama sufi berbeda dengan ulama fiqh. Bisa jadi apa yang diperbolehkan ulama fiqh menurut syariat tidak baik menurut ulama sufi. Hal yang dianggap mubah oleh ulama fiqh bisa jadi menjadi hal yang tidak baik dan dijauhi ulama sufi. Seperti makan dan tidur. Keduanya halal dan mubah. Tapi bagi ulama sufi, mereka malah menjauhinya. Ulama sufi lebih senang berpuasa di siang hari dan tidak tidur di malam hari untuk beribadah. Ulama sufi lebih mementingkan ibadah dan cinta kepada Allah daripada kesenangan yang semu. Ulama sufi lebih mementingkan keselamatan daripada kesempatan.

"Menjadi ulama fiqh itu berbahaya," begitu kata ulama sufi. Ulama fiqh terkadang beribadah bukan atas dasar cinta, melainkan atas hukum-hukum. Terpenjara oleh hukum dan aturan-aturan. Bisa jadi juga mereka menggunakan dalil untuk membela diri dari kesalahan. Astaghfirullah. Dan kebanyakan ulama sufi itu kurus, sedang ulama fiqh itu gemuk, hehe.

Hari ini kita memberi, esok kita akan mendapatkan. Hari ini kita menabung, esok kita akan menuai. Hari ini kita berhutang, esok kita harus membayar. Hari ini kita melukai, esok kita akan dilukai. Hari ini kita menolong, esok kita akan ditolong. Demikianlah hukum alam, sunnatullah. Berbanding terbalik bukan, antara me- dan di-, kalimat aktif berbanding terbalik dengan kalimat pasif.

Kembali ke rumus awal di atas, D=1/A atau A=1/D. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D. Katakanlah nilai D 100, maka nilai A-nya menjadi 0.01. Jika nilai A 100, maka nilai D-nya 0.01. Benar, bukan. A=1/D, maka 100 = 1/0.01 ekuivalen dengan 100 = 100. Sehingga menjadi impas ruas kiri dan kanan. Semua kebaikan harus terbalas. Semua  keburukan harus terbalas. Tak lagi tersisa. Sebagaimana rindu, segalanya harus dibayar tuntas.

Demikianlah, masih ada tak berhitung contoh yang membuktikan bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu berbanding terbalik dengan kehidupan akhirat.

Hari ini dunia adalah nyata, akhirat hanya dongeng dan cerita belaka. Tapi setelah mati, akhirat menjadi nyata dan dunia hanyalah dongeng dan cerita masa lalu.

Kota rindu, Malang, 19.07.2018.
Ngaji pagi, Bumi Damai PPAH.
Omah Sinau Koma.
Mukhammad Fahmi.






Pagi sekali waktu itu. Pagi yang tenang. Aku melihat Kiai Sholihin akan melakukan ziarah ke makam Mbah Wahab Hasbullah, seperti yang beliau lakukan setiap kali berkunjung ke tempat ini, tempat yang senantiasa membuat beliau bisa merasa pulang, tempat yang senantiasa menjanjikan kedamaian di setiap sudut kehidupannya. Tanpa menunggu perintah, aku segera mengambil motor untuk mengantar beliau. Namun baru sebentar saja, aku celingukan, kulihat di sana-sini, beliau sudah tidak ada, beliau sudah tak nampak. Kukendarai motorku ke arah makam. Sesampainya di sana kulihat, ternyata beliau sudah khusyuk berzikir di depan makam. Kutunggu saja beliau di depan musholla.

Setelah usai ziarah, Kiai Sholihin mendekatiku yang tampak bengong  di depan musholla.

"Owalah, Le, ikut aku kontrol yuk...!" ajak Kiai Sholihin.

"Nggih, Kiai.." aku menyalami tangan Kiai Sholihin, kemudian mengantar, dan mengikuti petunjuk yang ditunjukkan beliau.

Kami mengendarai motor di antara dingin, hijau sawah, dan kilau mentari pagi. Tidak begitu jauh, kami kemudian berhenti di warung yang berada di samping persawahan. Suasana sangat damai sekali. Beliau memesan dua nasi jagung dengan lauk ikan asin dan dua teh hangat.

"Ayo, Le, sarapan dulu.." perintah Kiai. Kami pun sarapan pagi.

Seusai sarapan, di antara udara pagi yang sejuk, seperti biasanya, beliau selalu bercerita banyak hal tentang kehidupan dan hari ini. Kiai Sholihin berkata kepadaku, "manusia banyak melupakan nikmat yang sebetulnya paling dekat dengan diri manusia itu sendiri, di antaranya yaitu: nikmat menjadi manusia, nikmat menjadi umat Nabi Muhammad, nikmat menjadi orang Indonesia, dan nikmat menjadi santri al-Wahabiyah 2." Saya kaget mendengar kalimat beliau yang terakhir itu.

Setelah mengambil jeda, beliau melanjutkan, "Le, santri al-Wahabiyah 2 itu berbeda dengan santri-santri yang lain. Mereka punya karakter dan kekhasan sendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh santri-santri yang lain. Mereka itu baik-baik orangnya karena dibimbing oleh seseorang yang baik pula. Ada seseorang yang hidup dari kebenaran dan kebaikan yang dengan tabah dan sabar merawat dan mendidik santri-santri al-Wahabiyah 2 yang unik itu untuk menjadi orang yang baik, tentu dengan cara dan metode yang unik dan khas pula. Warna matanya senantiasa menyerbukkan ketulusan kebenaran yang diperjuangkannya. Setiap orang selalu dibuat bergetar dengan kalimat-kalimatnya. Selalu. Beliau senantiasa menggunakan kalimat-kalimat bersayap yang menenangkan. Sekalipun tak banyak orang yang paham dengan jalan pikirannya. Betapa orang sebaik itu; Allah tak akan pernah melupakan kalimat-kalimat dan kebaikan-kebaikannya.." begitu dawuh Kiai Sholihin.

"Nggeh, leres, Kiai.." aku hanya bisa manggut-manggut mendengar dan berusaha memahami semua dawuh beliau.

"Ayuk, kalau sudah kita pulang, sebelum nanti banyak siswa-siswi sekolah. Sekarang sekolah MAN 3 Jombang itu kan masuknya jam 6.30 WIB pagi. Padahal kegiatan mengaji di pondok baru selesai pukul 6 pagi, ada juga yang pukul 6 lebih malahan.." Kiai Sholihin kemudian berdiri dan membayari makanan kami.

Begitu akan melewati sekolah MAN 3 Jombang yang dahulu namanya adalah MAN Tambakberas itu, kami melihat banyak siswa-siswi yang telat dan berjejer di depan gerbang yang sudah ditutup karena waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 lebih, waktu Indonesia bagian barat. Aku hanya tersenyum melihat semua ini. Semua yang datang dan pergi. Alangkah indahnya kehidupan. Alangkah indahnya kerinduan itu.. ;)

Tambakberas, 14.07.18.

Suara Hati

Suara Hati

Coba dengar. Selama ini engkau bercerita uring-uringan di hadapan cermin. Tentang perasaanmu yang kalang kabut setiap kali ingin bertemu. Tentang rindu-rindumu yang tertahan. Tentang keinginanmu yang tak bisa tertuang. Sebab, kamu perempuan. Tidak dan jangan memulai duluan, katamu berulangkali.

Engkau berharap ia punya perasaan yang sama denganmu, sehingga perasaanmu tidak perlu kamu bunuh satu per satu. Engkau berandai bisa menjadi pendamping hidup yang dapat menguatkannya. Bersandar dan bergantung kepadanya. Melangkah dan menjalani kehidupan bersamanya dalam ibadah, membangun mahligai cinta keluarga yang senantiasa mesra.

Suaramu kini seperti kesiur angin dari kejauhan sana. Yang melayang-layang menempuh setiap jalanan. Bersenggolan dengan dedaunan pohon. Melewati celah-celah jendela rumah-rumah. Menembus segala semua. Angin sampaikan suara hatimu ke semesta. Hingga akhirnya sampai pula suara hatimu kepadanya. Membisikan dan mengatakan sesuatu dengan lembut dan hati-hati ke dekat telinganya, bahwa kamu saat ini sedang menunggunya di sana.

Betapa pada akhirnya engkau memberanikan diri. Menegurnya yang seorang diri. Bertanya sedang apa, apa kabar, dan lain sebagainya. Bahkan pada pernyataan yang lebih jauh dan dalam lagi perihal segala semua. Ia mungkin merasa terusik. Tapi ia tidak masalah. Sebab kamu yang mengusik.

Coba dengar. Harapanmu sungguh setinggi langit. Engkau tidak takut jatuh? Padahal di atas awan sana sama sekali tidak ada pegangan.

Coba dengar. Bila rasamu itu begitu jauh. Bagaimana bila engkau membuatnya jatuh cinta? Dan ia memiliki perasaan yang sama seperti yang engkau miliki kepadanya.

Ia sebelumnya tak habis pikir, kenapa ada orang yang mengaguminya. Apa istimewanya coba? Ia hanya seorang lelaki biasa. Ia tidak punya apa-apa yang mesti dibanggakan. Lalu apa yang membuatmu jatuh cinta padanya? Apa yang sesungguhnya kau harapkan dari seseorang lelaki yang sangat biasa seperti itu? Memang bahaya berangan-angan bagaimana perihal bersamamu kelak, tapi ia seperti kecanduan. Menikmati pikirannya yang penuh bayang-bayang.

Dalam ingatan namamu, juga kerinduan pada amanah itu. Ia mencoba masuk dalam bingkai alam pikiranmu. Merenungi titik-titik keresahan dalam dirimu dan berharap sebelumnya niatnya tak lebur. Awalnya ia mengira ini hanya usikan dari penglihatan pada kata-katamu, pada pernyataanmu yang sedemikian berani menyatakan padanya. Ia renungi semua kata-katamu. Suara puisimu ternyata terekam dan mengisi misel-misel terkecil di otaknya. Memberinya suatu pengalaman batin yang mungkin luput dari jangkauan ilmu apapun.

Bagaimana? Kini engkau telah membuatnya jatuh cinta lewat kata-katamu yang puitis. Lewat suara hatimu yang disampaikan angin padanya, juga degup rindumu yang menggemuruhkan semesta. Lewat keteguhan iman dan taqwamu. Tidak banyak orang yang punya keteguhan iman sepertimu. Dan ia saat ini sedang jatuh cinta padamu, pada keteguhan imanmu lebih tepatnya. Sedang engkau diam saja, membisu. Tidak percaya.

Orang-orang seperti ia perlu di selamatkan. Dibangunkan dari tidurnya logika. Disadarkan bahwa kehidupan nyata menanti pembuktian kata-kata. Sebab untuk membawamu ke rumahnya membutuhkan banyak pembuktian dan jalan yang panjang. Bahwa ia tidak menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ditepati. Dan ia akan menunjukkan bahwa kata-katanya tidak berhenti sebagai angan-angan. Engkau suka diperjuangkan, bukan?

Semoga doa-doa dan usaha kita dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, yang memiliki segala kuasa. Dan juga mendekatkan kepada cita-cita kita. ;) Aamiin..
Suara Cerita

Suara Cerita merupakan tulisan-tulisan karya Kurniawan Gunadi yang dibacakan oleh dokterfina.







Antara Kota dan Desa
(Sebuah permenungan di sela-sela Hikaman)
Oleh: M. Fahmi


Di kota.
Ia seperti sudah banyak kehilangan makna. Sudah hampir tak ada lagi tanah yang tidak dibangun rumah-rumah. Di kanan-kiri jalan berjejer warung dan hiburan malam. Di setiap meja sesak perempuan bersama pacarnya. Kebenaran dikubur di lembah-lembah mesum. Kebenaran dibunuh lewat janin-janin tak berdosa, hasil hubungan gelap dengan pacar. Cahaya kebenaran berkarat, tenggelam dalam minum-minuman laknat. Suaranya pun terjepit di antara ingar bingar musik jalanan. Kebenaran sudah mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin di perkampungan rumah kardus pinggir sungai yang tak dihiraukan lagi tangisnya. Kebenaran disiksa lewat protes dan amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah. Kebenaran diinjak-injak lewat kekuasaan angkara murka. Kebenaran ditipu lewat janji dan omong kosong yang tak pernah ditepati. Sementara, di alun-alun kota bergema zikir akbar. Berjejal orang mengikutinya. Mereka puja dan sebut nama Tuhan berkali-kali hingga bibir mereka kelu lewat teriakan zikir. Namun sayang, jiwa tak bisa menyatu dengan Tuhan, hati tak pernah bisa merasa tenang dan khusuk. Sebab di setiap sudut ruang terpasang kamera. Sedang hape lebih banyak digunakan untuk update status, sebagai kabar plus kebanggaan bahwa ia juga turut ikut merayakan gegap gempita zikir yang kosong, tak punya makna. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan megahnya di kota. Tapi tak banyak orang bertandang ke sana. Paling hanya satu dua shaf. Sabda kebenaran pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah kota, bahkan di mall-mall. Kota memang serba lengkap. Segala kebutuhan dapat ditemukan. Menjamin semua kebutuhan nafsu manusia. Pendidikan demi pendidikan yang diajarkan hanya membuat manusia kota menjadi pintar berdalih. Manusia-manusia kota hanya melihat sesuatu dengan mata dan pikiran. Kebenaran hanya ada dalam apa-apa yang mereka lihat. Sedang mata hatinya tak pernah dibuka untuk melihat. Hati mereka mati. Dan kota sudah benar-benar kehilangan makna.


Di desa.
Ia memang terlihat sunyi. Tak banyak ingar bingar kendaraan atau musik jalanan yang memekakkan telinga. Jika engkau melewati jalan desa pada malam hari, seperti yang kulakukan saat ini, maka engkau akan seperti melakukan perjalanan sunyi mencari kitab suci. Di desa tak banyak rumah-rumah ibadah yang berdiri megah. Tapi jangan ditanya perihal jamaahnya. Sebuah surau atau lebih tepatnya masjid kecil tak bertingkat dipenuhi oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Mereka duduk berjejer rapi mendengarkan nasihat kebenaran hingga penuh di halaman luar masjid. Pengajian yang tak pernah sepi oleh para salik pencari hikmah. Suasana malam menjadi begitu damai dalam gema suara yang mengaliri kalbu lewat pesan demi pesan yang abah berikan. Aku benar-benar terharu. Belum pernah kurasakan keheningan seperti ini setelah pengembaraan ini kulakukan. Aku seperti diseret ke masa lalu, saat di mana perjalanan sunyi itu kumulai. Dan aku benar-benar merasakan, suasana keheningan di desa jauh berbeda dengan suasana riuh kota. Dan entah setelah ini, aku akan hidup di kota lagi ataukah di desa. Tapi yang pasti, aku lebih memilih desa sebagai perjalanan akhirku kelak. Sungguh menyedihkan sekali jika kuhabiskan sisa umurku di kota. Aku ingin menulis kisah sejarah panjang hidupku di desa bersama dengan orang-orang yang kucintai.


Catatan Ngaji al-Hikam, Tambakberas, 30.04.18:

1. Tanda-tanda hati mati: tidak susah jika ketinggalan ibadah; tidak getun jika melakukan dosa; tidak bisa menerima petuah kebenaran.


2. Orang-orang yang tidak diangkat dari neraka ketika malam Nishfu Sya'ban: orang musyrik; orang yang tidak menyapa kepada saudaranya ketika bertemu; memutuskan tali persaudaraan; orang yang menjulurkan baju hingga menyeret tanah dengan rasa sombong; dan orang yang meminum minuman keras.



Jombang, 30.04.18

Perjalanan Rindu yang Indah
Turun dari taksi, Putri ragu-ragu memasuki gang yang ada di pinggir jalan dekat pasar itu. Hari sudah sore. Langit hitam. Sebentar lagi pasti turun hujan. Putri mencoba mengingat-ingat. Ia yakin tidak salah turun. Warung yang ada di seberang jalan itu adalah ancar-ancarnya. Dan rumah Dimas, sahabat yang dicari-carinya itu, pasti ada di dalam gang, di depan warung itu.

Putri heran, gang itu sudah berubah. Di depannya berdiri gapura megah. Rumah-rumah yang berderet di dalamnya juga banyak yang berubah. Dulu, gang itu selalu becek bila turun hujan. Sekarang beraspal mulus. Dulu penghuninya miskin-miskin, kini rata-rata rumah mereka bertembok rapi, bahkan beberapa di antaranya bertingkat. Di gang itulah Dimas, sahabat kuliah yang pernah menjadi kekasihnya dulu itu, tinggal. Di situ ia dulu pernah menumpahkan kegelisahan hatinya saat hidupnya dilanda kemelut antara memilih dan dipilih.

Gang Kauman, demikian nama jalan setapak yang hanya bisa dilewati satu mobil itu, tiba-tiba membersitkan kenangan aneh dalam dirinya. Kenangan yang membuat hatinya tiba-tiba begitu sepi seperti di ujung kutub. Mengapa? Entahlah, ia sendiri tak mengerti. Gang itu ia rasakan bagai lorong panjang yang tak bertepi. Setidaknya, di gang itulah dulu ia pernah berjalan bersama dengan Dimas untuk pertama kalinya di bawah cahaya bulan purnama. Sebuah kenangan indah yang takkan terlupakan. Dan sekarang entah mengapa pula, untuk memasuki gang itu kembali, Putri menjadi ragu-ragu. Mungkinkah Dimas masih mengenalinya.

Untuk meyakinkan perasaannya, Putri menghampiri tukang rokok di warung itu. Menanyakan alamat rumah Dimas.

“Dimas? Oh, pengarang yang menjadi wartawan itu, ya? Itu rumahnya, yang bertingkat dan bercat putih!” tunjuk tukang rokok itu ke arah rumah bertingkat.

Mata putri mengekor, mengikuti arah telunjuk tukang rokok. Ia mengangguk-angguk. Ah, rumahnya sudah bertingkat rupanya, batin Putri. Betapa cepat perubahan ini terjadi. Secepat perjalanan waktu yang kadang tak bisa diajak kompromi. Setelah mengucapkan terima kasih, Putri meninggalkan tukang rokok itu.

Sudah berapa tahun ia tak ke sini? Sepuluh tahun, sebelas tahun, dua belas… atau ah, mungkin lebih dari itu. Putri tak tahu persis. Ia tak sempat lagi menghitung-hitung hari, apalagi mencatat tanggal perjumpaan terakhir dengan sahabatnya itu sejak ia memutuskan menikah dengan Zainal, seorang pengusaha kaya yang berhasil merebut hatinya. Lima tahun sudah ia hidup berumah tangga dengan pengusaha itu, sebelum akhirnya mahligai perkawinan mereka hancur berantakan begitu diketahuinya Zainal selingkuh. Diam-diam, ternyata ia mempunyai istri simpanan. Pengkhianatan ini teramat melukai hati Putri. Sulit untuk memaafkannya. Tapi, Putri sudah terlanjur dikaruniai dua anak. Ia mencoba hidup mandiri. Kesibukan kerja telah membuatnya terbenam dalam kesuntukan sehingga ia tak memikirkan lagi soal cinta.

Dan Dimas, sudah berapa anaknya sekarang? Apakah ia jadi menikah dengan artis sinetron yang pernah diwawancarainya itu? Ah, rasa rindu tiba-tiba berkecamuk  dalam dada Putri. Dalam keadaan suntuk seperti ini, entah mengapa tiba-tiba ia teringat Dimas. Teringat seperti dulu, ketika setiap kali mengalami kebuntuan, ia selalu ingin cepat-cepat menemui Dimas untuk menumpahkan segala beban pikirannya. Betapa ia ingin berbincang-bincang seperti dulu lagi dengan mantan kekasihnya itu saat mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa di kampus tercinta yang terletak di pinggir kota itu. Mungkinkah Dimas masih mengenalnya? Mungkinkah Dimas masih mau menerimanya sekedar untuk menyambung tali persahabatan? Lagi-lagi, Putri mengalami keraguan ketika ia mendekati rumah yang cukup besar itu.

Rumah itu terlihat sunyi dari luar, seperti tak berpenghuni. Ataukah memang sudah ditinggalkan penghuninya? Putri segera menekan bel yang berada di pojok pagar, begitu ia berdiri di depannya. Sebentar kemudian, seorang lelaki tua keluar dari dalam rumah menyambut kedatangannya.

“Kaukah yang bernama Putri Senja?” tanya lelaki tua itu tiba-tiba setelah Putri menerangkan maksud kedatangannya.

Pertanyaan yang mendadak itu, membuatnya terheran-heran. “Betul, Pak. Saya Putri Senja. Sahabat Dimas waktu kuliah,” akhirnya Putri menerangkan.

“Sayang, rumah ini sudah dijual, Nak. Baru tiga bulan lalu.”

“Dijual…?” Putri terhenyak. “lalu… Dimas pindah ke mana, Pak?

“Ia tidak memberi alamat yang baru,” jawab lelaki tua itu.

“Ahh…,” Putri mendesah kecewa. “Maaf, Bapak siapa?” tanyanya kemudian, berusaha mengalihkan kekecewaannya.

“Saya penjaga rumah ini. Sejak Dimas menempati rumah ini, saya yang menjadi tukang kebunnya. Ketika rumah ini berganti pemilik, ternyata saya masih dipercaya menjadi tukang kebun di sini.”

“Kalau begitu, tentu Bapak tahu keadaan terakhir Dimas?”

“Belakangan, dia sering sakit-sakitan.”

“Sakit-sakitan?” Putri membelalak.

“Dia terserang paru-paru.”

Putri kembali mendesah. “Lalu, bagaimana dengan anak istrinya?” tanya Putri kemudian.

“Anak Istri…?” ganti lelaki tua itu yang heran. “Yang saya tahu, dia itu masih hidup sendiri, Nak. Membujang,” terang lelaki tua itu.

Putri terhenyak. Ia seperti tak percaya mendengar ucapan lelaki tua itu. Dimas masih hidup sendiri? Membujang? Benarkah demikian? Mengapa? Ada apa dengan Dimas? Ah, sepuluh tahun lebih, mereka berpisah. Putri sudah memiliki dua anak, tapi Dimas masih hidup sendiri. Betapa ini sulit dipercaya. Ya, mengapa? Ada apa dengan Dimas? Mengapa ia masih membujang? Kembali Putri dibuat bertanya-tanya. Namun, pertanyaan itu semakin menumbuhkan taka-teki dalam dirinya tanpa pernah ia ketahui jawabannya. Lalu, dengan perasaan lesu, akhirnya Putri pamit meninggalkan rumah itu.

“Tapi, nanti dulu, Nak!” tiba-tiba lelaki tua itu mencegah.

Putri berhenti sejenak. Tak jadi pergi.

“Apakah benar, engkau yang bernama Putri Senja?”

Putri memandang lelaki tua itu dengan tatapan tajam bercampur heran. Tapi, pandangan itu cukup sudah sebagai tanda jawaban.

"Tunggu sebentar! Dimas meninggalkan sepucuk surat untukmu." Dengan cepat, lelaki tua itu masuk, mengambil sepucuk surat. Sebentar kemudian, ia muncul kembali dan menyerahkan surat itu  kepada Putri. “Ia Cuma berpesan, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, saya disuruh menyerahkan surat ini kepadanya.”

Entah mengapa, tangan Putri gemetar ketika menerima surat itu. Setelah itu, ia cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Sesegera, ia memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Langit yang sejak tadi mendung, tiba-tiba menurunkan hujan dengan lebatnya. Putri berlari-lari kecil menyetop taksi. Bajunya basah kuyup.

***

“Putri Senja. Saat membaca suratku ini, kau pasti kecewa karena tak berjumpa denganku. Aku memang sudah pindah. Tapi, aku yakin suatu saat kau akan kembali. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Hari-hari belakangan ini, aku merasa pertemuan kita sudah dekat. Musim kemarau yang panjang sebentar lagi terhapus oleh datangnya musim penghujan, dan bunga-bunga akan kembali bermekaran…!”

Demikian bunyi surat Dimas ketika Putri membacanya di rumah. Hanya satu paragraf, tak lebih. Dan Dimas tidak meninggalkan alamat rumahnya yang baru. Putri dibuat penasaran. Apalagi kalimat terakhir yang ditulis Dimas begitu puitis dan seperti mengandung misteri. Ada apa dengan Dimas? Ke mana ia pindah? Dan ke mana pula aku harus mencari sahabat karib sekaligus mantan kekasih pertamaku itu?

Tiba-tiba, Putri teringat bahwa Dimas bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah terkenal. Tentu ia ada di sana. Keesokan harinya, Putri mencoba mendatangi kantor majalah itu.

“Apakah Anda yang bernama Putri Senja?” tanya sekretaris majalah itu ketika Putri menanyakan Dimas.

“Betul. Saya dulu sahabat karibnya waktu kuliah. Sudah sepuluh tahun lebih, kami berpisah,” jawab Putri.

“Sayang, dia sudah keluar dari majalah ini, tiga bulan yang lalu,” terang sekretaris itu.

Putri mendesah kecewa. “Dia pindah ke mana, mbak?”

“Itulah, dia tidak memberi tahu pindah ke mana dan juga tidak meninggalkan alamat yang bisa dihubungi. Dia baru saja sembuh dari sakit, setelah berbulan-bulan terbaring di rumahnya. Setelah itu, dia memutuskan berhenti dari majalah ini. Dia hanya berpesan pada saya, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka saya disuruh menyerahkan titipannya.” Sekretaris itu membuka laci mejanya, mengambil sesuatu. “Ia meninggalkan surat ini untuk Anda,” katanya kemudian sambil menyerahkan sepucuk surat pada Putri.
Putri lagi-lagi terhenyak. Tangannya gemetar ketika menerima surat itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia buru-buru pulang.

***

“Putri Senja, saat membaca suratku ini, pasti kau kecewa karena tak berjumpa denganku. Ku yakin bahwa suatu saat, kau pasti datang ke kantorku untuk menemuiku. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Aku memang sudah pindah. Lima belas tahun aku bekerja menjadi wartawan, kurasa pengabdianku cukup. Setelah lama kiranya menulis segala peradaban yang terbentang di alam semesta raya ini, sekarang, aku ingin hidup dengan tenang. Giliranku kini menuliskan kisah hidupku sendiri. Aku akan menulis sebuah kisah perjalanan rindu yang indah…”

Demikian surat yang ditulis Dimas. Lagi-lagi, Cuma satu paragraf, tak lebih. Dan lagi-lagi, Dimas tidak meninggalkan alamat pada suratnya itu juga nomor telepon atau HP yang bisa dihubungi. Dimas seolah sengaja menyembunyikan teka-teki yang membuat Putri bertambah penasaran. Apa maksud dia meninggalkan surat-surat itu? Lalu, ke mana aku harus mencari mantan kekasihku yang belakangan ini tiba-tiba kembali mengusik alam pikiranku?

Otak Putri berpikir keras. Dikenangnya kembali kisah perjalanan dirinya dengan Dimas selama ini, sejak mereka bertemu di kampus, hingga akhirnya Putri memutuskan menikah dengan Zainal. Dan sejak Putri menikah, Dimas memang tidak pernah lagi menemui Putri, begitu pula sebaliknya. Perpisahan mereka meninggalkan sebuah teka-teki panjang yang tak pernah terselesaikan. Benarkah selama ini mereka saling mencintai?

Ah, Dimas. Lelaki tinggi kurus berkulit sawo matang itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Tapi, Putri tetap yakin, bahwa Dimas memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi, inilah yang membuat Putri mengaguminya. Dimas pantang menyerah dalam melawan ganasnya kehidupan kota.

Tiba-tiba, Putri teringat riwayat hidup Dimas yang pernah diceritakan kepadanya. Umur lima tahun, ia ditinggal mati oleh ayahnya. Dimas lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama Ibu, kakek dan neneknya di desa. Setelah besar, ia pergi ke kota, kuliah dan akhirnya menjadi wartawan. Dari sekian keluarganya, hanya Dimas yang meneruskan hidup di kota. Mungkinkah Dimas sekarang ini pulang ke kampung halamannya? Ya, siapa tahu.

Keesokan harinya, Putri mengambil cuti dari kantor. Ia membeli tiket pesawat terbang menuju kampung halaman Dimas yang terletak di seberang pulau. Dulu, waktu libur kuliah, Putri bersama teman-temannya pernah diajak Dimas ke kampung halamannya itu. Ia diperkenalkan kepada Ibu, kakek, dan neneknya. Kini Putri yakin, Dimas pasti berada di kampung halamannya itu.

Turun dari pesawat, Putri harus naik bus beberapa kali menuju perkampungan Dimas yang terletak di kaki sebuah gunung. Bus menempuh jalan berliku, menembus hutan dan melewati sawah-sawah. Turun dari bus, ia masih harus berjalan kaki lagi untuk mencapai daerah pedalaman. Akhirnya, sore harinya, sampai juga ia. Ah, desa yang dimasukinya itu masih tetap sunyi seperti dulu. Tapi, di kesunyian itulah Putri menemukan kedamaian dan ketenangan. Alangkah jauh bedanya dengan kehidupan kota yang hiruk-pikuk. Putri kadang tak habis pikir, mengapa orang-orang desa yang tinggal di daerah setenang ini banyak yang memilih merantau ke kota yang sudah padat dan gaduh. Apa yang mereka kejar di sana?

“Apakah engkau yang bernama Putri Senja?” Kedatangan Putri disambut oleh wanita tua yang langsung bertanya demikian kepadanya. Ditatapnya wajah tua yang kulitnya mulai keriput itu. Dan Putri mengenalnya, wanita itu adalah ibu Dimas.

“Benar, Bu. Saya Putri Senja, sahabat Dimas waktu kuliah di kota. Sudah sepuluh tahun lebih, kami tak saling jumpa. Kemarin saya ke rumahnya yang berada di dekat pasar Kauman, ternyata rumah itu sudah dijual. Lalu saya cari ke kantornya, tapi katanya ia sudah pindah. Dimas Cuma meninggalkan surat-surat kepada saya, namun dalam suratnya ia tak memberi tahu alamatnya yang baru. Akhirnya saya punya keyakinan, pasti dia kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya saya datang kemari,” demikian Putri menjawab.

Ibu tua itu tiba-tiba tertunduk. Wajahnya mendadak menyendu. Lalu, dengan suara serak ia berkata, “Ia memang telah kembali ke kampung halamannya, Nak, dan pasti ia akan kembali, sebab di sinilah ia dilahirkan, dan dari sini pula ia mengawali pengembaraannya. Tapi sayang, kedatanganmu sedikit terlambat…”

“Sedikit terlambat?” Putri terperanjat.

“Ya, ia telah kembali berangkat mengembara yang lebih panjang lagi. Baru kemarin pagi ia meninggalkan desa ini…”

“Oh…,” Putri mendesah kecewa. Benar-benar kecewa. Intuisinya memang berjalan dengan baik, tapi ia selalu terlambat. Ya, mengapa ia selalu terlambat? Putri sejenak terdiam dan bungkam. Ah, kalau saja ia berangkat lebih awal, tentu ia dapat bertemu dengan Dimas.

“Jangan bersedih, Nak Putri. Sebelum berangkat, Dimas sempat menulis sepucuk surat untukmu. Ia berpesan kepada Ibu apabila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka Ibu disuruh menyerahkan surat itu kepadanya. Sebentar, Ibu ambilkan, ya?!” Ibu tua itu segera masuk. Sebentar kemudian, ia telah kembali menyerahkan sepucuk surat kepada Putri.

Tangan Putri gemetar menerimanya. Setelah itu, Putri buru-buru pamit untuk kembali ke kota.

***

Di atas pesawat Putri membuka surat Dimas.

“Putri Senja, tibalah engkau membaca lagi suratku, dan pasti engkau kecewa karena lagi-lagi tak menjumpaiku. Ku yakin kau pasti datang ke kampung halamanku untuk menemuiku. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Sepuluh tahun lebih kita tak bertemu. Setelah engkau menikah, engkau tak pernah menemuiku kembali atau sekedar berkirim kabar. Bukan salahmu. Perputaran kota yang demikian sibuk kadang bisa melupakan segalanya. Mungkin arti persahabatan, kasih sayang, dan ketulusan telah kehilangan makna di kota, tergilas oleh derasnya arus kehidupan. Tapi, aku tidak akan pernah lupa kepada arti persahabatan, ketulusan, kasih sayang, dan cinta. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu karena ku yakin suatu saat, kau pasti datang ke kampung halamanku. Tapi inilah suratku yang terakhir untukmu, sebab setelah hari ini kau pasti takkan pernah menemuiku lagi. Kini aku telah menjadi pengembara abadi…”

Putri gemetar membaca tulisan itu. Dadanya berdegup kencang. Ia diselimuti berbagai keheranan sekaligus teka-teki oleh bunyi surat itu surat itu. Dimas telah menjadi pengembara abadi? Apa maksudnya? Sementara itu, di kejauhan sana, ibu Dimas terisak dan menitikan air mata begitu melihat keberangkatan Putri yang ingin kembali ke kota. Ibu tua itu sengaja tidak mengatakan kepergian Dimas yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan pesan Dimas sebelum anaknya itu pergi untuk selama-lamanya.


(Untuk cinta yang tidak pernah mati).
Malang, Maret - April, 2018.
Mukhammad Fahmi.

Memperhatikan Niat
Oleh: M. Fahmi *)

“..Dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik,” (QS. Yunus: 105).

“..Sesungguhnya segala amalan itu tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya,” (HR. Bukhari).

Hal pertama yang harus diperhatikan oleh seseorang sebelum melakukan segala amal ialah niat. Amal apapun yang dikerjakan harus memperhatikan niat yang ditanamkan di dalam hati. Niat merupakan ruh segala macam ibadah. Ibarat jasad, tanpa ruh maka ia bukanlah apa-apa, dan bahkan mati. Begitu pun dalam hal ibadah, akibat kelalaian dalam hal niat juga akan mengakibatkan banyak “kerugian” bagi pelakunya.

Sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “innamal a’malu binniyyaat.” Bahwa sesungguhnya amal-amal itu harus disertai dengan niat. Tanpa niat, amal itu menjadi tidak sah, atau mungkin juga tidak bisa diterima oleh Allah. Karena niat itu secara syari’at untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah. Perbedaan antara ibadah dan bukan ibadah itu terletak pada niat.

Ada orang yang membasuh muka, membasuh tangan, dan mengusap kepala, tapi tanpa niat wudhu maka itu namanya bukan wudhu tapi raup. Jadi untuk membedakan antara wudhu dan raup itu terletak pada ada dan tiadanya niat. Niat mempunyai kedudukan yang penting dalam wudhu. Karena itulah para ahli fiqh menjadikan niat sebagai salah satu rukun wudhu. Membasuh muka disertai dengan niat, “nawaitul wudhu’a lirof’il hadatsil ashghori fardhon lillahi ta’ala,” beserta dengan maksudnya di dalam hati, baru itu bisa disebut sebagai ibadah (wudhu).

Ada orang yang berdiri, membungkuk, dan sujud, tapi tanpa niat shalat, maka itu namanya bukan shalat, melainkan senam atau yoga. Niat juga menjadi rukun dalam shalat. Niat shalat tidak harus dilafalkan, karena niat bukan merupakan pekerjaan lisan, melainkan pekerjaan hati. Menurut Ibnu Qayyim, niat adalah bermaksud melakukan sesuatu dan tempat niat adalah di dalam hati. Rasulullah Saw bersabda, “sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu,” (HR. Muslim).

Ada orang yang tidak makan selama sehari atau mungkin selama beberapa hari tapi tanpa niat, maka itu tidak disebut sebagai puasa, tapi mogok makan. Jadi, supaya orang itu mendapat pahala, namanya ibadah ya harus berniat puasa. Malam hari melafalkan, “nawaitu shouma ghodin lillahi ta’ala.” Saya berniat puasa besok karena Allah ta’ala, baru itu namanya puasa.

Dalam madzhab Imam Syafi’i niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari, yakni waktu setelah terbenamnya matahari (maghrib) sampai dengan sebelum terbitnya fajar shadiq (sebelum masuk waktu shalat subuh). Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tak ada puasa baginya,” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Terkecuali jika yang dilakukan adalah puasa sunah, maka ia boleh berniat di siang hari selagi belum makan dan minum.

Untuk puasa wajib, termasuk puasa bulan Ramadhan, niat yang demikian itu harus dilakukan setiap malam karena puasa dalam tiap-tiap harinya adalah satu ibadah tersendiri (Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Kaasyifatus Sajaa). Dengan demikian, bila seseorang lupa belum berniat pada malam hari maka puasa pada siang harinya dianggap tidak sah. Pertanyaannya kemudian adalah, bila sudah jelas puasa pada hari tersebut tidak sah karena pada malam harinya lupa belum berniat, maka apakah diperbolehkan bila pada hari itu orang tersebut tidak berpuasa? Toh bila ia berpuasa pun sudah jelas puasanya tidak sah. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, hukum fiqh tetap mewajibkan orang tersebut berpuasa pada hari itu meskipun sudah jelas puasanya tersebut tidak sah. Tidak berhenti sampai di situ, orang tersebut juga harus mengganti (mengqadha) puasa hari tersebut di hari lain di luar bulan Ramadhan. Barangkali inilah yang dimaksud dengan “kerugian” sebagaimana disebut di atas. Hanya karena teledor dan lalai dalam memperhatikan niat, seseorang harus tetap berpuasa, namun puasanya dianggap tidak sah dan harus melakukan puasa ulang untuk menggantinya. Terlebih bila melihat dari sisi kemuliaan bulan Ramadhan, maka jelas puasa sehari yang dilakukan di bulan Ramadhan jauh lebih bernilai dari pada puasa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Ini juga menjadikan orang yang lupa niat semakin mengalami “kerugian” yang lebih besar.

Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyah-nya menyampaikan satu solusi sebagai langkah kehati-hatian. Bahwa agar puasanya orang yang lupa berniat pada malam harinya tetap sah, maka dianjurkan pada malam pertama bulan Ramadhan untuk berniat akan berpuasa Ramadhan satu bulan penuh. Bila ini dilakukan maka seandainya seseorang lupa berniat pada malam tertentu puasanya akan tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Niat yang demikian itu dapat dilakukan dengan merujuk pada apa yang diajarkan oleh Imam Maliki. Namun demikian, Imam Maliki juga memberi syarat, niat berpuasa untuk satu bulan penuh itu berlaku bila puasanya tidak terputus. Bila puasanya terputus karena sakit, haid, atau perjalanan, maka wajib berniat kembali untuk hari-hari yang tersisa (Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki).

Adalah sebuah kenikmatan yang besar bagi kaum muslimin di Indonesia, di mana para ‘ulamanya membudayakan niat berpuasa bersama-sama pada setiap malam hari seusai shalat tarawih berjama’ah di masjid-masjid dan mushala-mushala. Kiranya perlu dibudayakan pula niat berpuasa sebulan penuh secara bersama-sama pada malam pertama bulan Ramadhan sebagai langkah kehati-hatian sebagaimana diajarkan oleh Imam Maliki.

Demikianlah, sekalipun ada amalan yang tanpa niat pun sudah sah, misalnya adzan itu tidak perlu memakai, “nawaitu..,” kemudian ketika shodaqoh tanpa “nawaitu..,” itu juga sudah sah, tapi sebagian besar ibadah itu harus disertai dengan niat di dalam hati. Allah Swt berfirman, “..pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula,” (QS. al-Zalzalah: 6-8).

Misalkan lagi, ketika pergi ke majlis ta’lim untuk memperoleh ilmu (tholabul ‘ilmi) dan menghilangkan kebodohan, itu namanya sudah niat. Demikian juga niat yang kedua, berangkat dari rumah adalah untuk menjalankan perintah Allah dan Rasulullah, itu juga niat namanya. Niat yang paling lebih utama lagi yaitu untuk mencari ridho Allah. Dan lebih dari pada itu, karena semakin banyak niat maka semakin banyak pula pahalanya, begitu kata para ‘ulama. Sekalipun amalnya hanya satu tapi niatnya banyak, maka orang tersebut akan mendapat pahala sesuai dengan jumlah niatnya. Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda, “innamal a’malu binniyyaat,” yaitu bukan hanya satu niat saja, tapi niat yang banyak.

Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.” Sebaliknya, apabila seseorang salah dalam berniat, maka ia akan mendapatkan kerugian. Anas bin Malik berkata, “barang siapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ‘ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, dan supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka,” (HR. Hakim dalam Mustadroknya).

Niat tidak hanya dilakukan ketika seseorang melakukan ibadah. Perkara bukan ibadah yang diniatkan untuk ibadah maka bernilai ibadah dan ia akan mendapatkan pahala. Ketika sedang makan misalnya, niatnya yang pertama yaitu mensyukuri nikmat yang hakikatnya adalah pemberian dari Allah. Niat yang kedua yaitu mengikuti perintah Allah Swt. Allah telah berfirman, “...makan dan minumlah..,” (QS. al-A’raf: 31). Ayat tersebut merupakan sebuah perintah, namun bukan suatu kewajiban tapi mubah. Sebab manusia itu tidak sama dengan malaikat. Karena malaikat itu tidak punya ayah ibu, tidak makan dan juga tidak minum, tidak pula tidur. Sebaliknya manusia oleh Allah diberi nafsu, maka ia diperintahkan untuk makan. “..makan dan minumlah..,” namun dengan catatan, “..dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (QS. al-A’raf: 31). Ada perintah tapi juga ada larangan. Niat yang ketiga yaitu supaya tubuh menjadi sehat dan kuat agar bisa digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt. Sedemikian ditambah dengan niat-niat baik lainnya, sehingga akan mendapat pahala yang banyak pula.

Semakin tinggi tingkatan seseorang, maka semakin suci dan murni niatnya. Sebab niat yang tulus, ikhlas, dan jujur akan memberikan makna pada segala tindakannya. Ikhlas terletak pada niat di dalam hati. Allah berfirman, “..kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar,” (QS. an-Nisa’: 146).

Sehingga luar biasa sekali pentingnya niat, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, maka bersiap-siaplah merugi untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Karena hanya dengan keikhlasan, amal seseorang dapat diterima. Semoga kita selalu diberikan ilmu yang bermanfaat dan niat yang ikhlas dalam belajar serta beramal. Aamiin.

Malang, 30 Januari 2018.

*) Penulis adalah staff redaksi buletin al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang.
I have worked as a research staff at LP2M UIN Malang and have produced many scientific studies in the form of research reports and international journals. At that time I was given the assignment by the lead researcher to conduct an international research presentation at ITB. Incidentally, my lecturer could not attend the event and our team consisted of only two people. So with all my confidence I prepared everything to make a presentation in front of the judges and mathematicians. Eventually I got a very warm appreciation from the viewers for our research work. As a result, my research journals can be published.

Here is a portfolio of my mathematical research that I did during college. I also often attend the Math Olympiad. Some of my research has been published in the journal Scopus, Cauchy, and others.

1. Paper PDP

2. Publikasi x-Banner ITB Symomath

3. Proyek Lp2m

4. Jurnal Internasional ITB

5. Lpj Symomath

6. Jurnal Nasional Cauchy

7. LoA

8. Skripsi

9. Paper Riset Operasi

10. Laporan Penelitian DISPENDA MALANG

11. Proyek Penelitian Kemenag Jakarta

12. LoA Basic Science UB

13. Artikel Seminar Integrasi Sains dan Islam

14. Jurnal Iconist 2018

15. Proyek LP2M 2018

16. Ppt Seminar Internasional

17. Jurnal Ismei 2018


Link to UIN Malang:

http://etheses.uin-malang.ac.id/11656/

http://repository.uin-malang.ac.id/1968/


Here is my photo documentation when doing research:


























Berikut adalah kumpulan quotes status saya. Ehe.