Senja pun jadi kecil
Oleh: Goenawan Mohammad

Senja pun jadi kecil
Kota pun jadi putih
Di subway

Aku tak tahu saat pun sampai
Ketika berayun musim
Dari sayap langit yang beku
Ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
Terhenti mempermainkan waktu
Ketika kita berdiri sunyi
Pada dinding biru ini
Menghitung ketidakpastian dan bahagia Menunggu seluruh usia

Goenawan Mohammad, 1966

Senja di Pegunungan

Busa telaga tidak lagi dihajar angin
Hutan sepi sudah dari riuh dewa-dewa menari
Hatipun dingin
Sedang gunung-gunung jingga cemas menemu kelam kesangsian malam
Elang mencoba masih mengejar matahari
Dan antara gunung, telaga dan matahari
Lari
Terurai tanya, abadi...

Puisi: Sutikno W.S
Musik: Hendi Yusup

Jika debur ombak bukan di pasir pantai
Tapi di sini di relung jantung dan pada pusar hati
Adalah karena ketukan dan usapan yang membangunkan sejuta mimpi

Dan kalaupun embun berlinang bukan pada putik-putik pagi
Tapi pada indahnya seuntai puisi
Karena engkaulah embun yang meneteskan kesejukan pada hari-hari kelam ku

Radha Kepada Khrisna
(Puisi Anonim India, Saduran Sapardi Djoko Damono)

Biarlah lumpur tubuhku menyatu
dengan jalan yang dilewati kekasihku

Biarlah api tubuhku menjadi cahaya
dalam cermin yang memantulkan wajah
kekasihku

Biarlah air tubuhku menyatu
dengan kolam bunga padma
tempat dia mandi senantiasa

Biarlah napasku menjadi udara
yang mengipasi tubuhnya yang letih

Biarlah aku menjadi langit
yang dilintasi awan kekasihku

Semacam Endapan Proses Belajar
Oleh: M. Fahmi

"Ummati, ummati, ummati... Tuhan, bagaimanakah keadaan umatku kelak setelah kepergianku? Ya Tuhan, betapa sakit kematian ini. Maka limpahkanlah rasa sakit kematian yang diderita oleh seluruh umatku kepada hamba. Biarlah hamba saja yang menanggung..." [Rasulullah, di akhir hayatnya].

Betapa cinta dan sayangnya Rasulullah kepada kita. Betapa perhatiannya Rasulullah kepada kita, kepada seluruh umatnya, agar kelak berada pada tempat yang sama. Tapi pernahkah kita merindukan, menangis, dan mangadu kepada Rasulullah, atas segala perjalanan yang kita jalani, sekaligus atas segala peristiwa yang disuguhkan dalam layar lebar kehidupan di masa kini? Jawabannya mungkin pernah, tapi hampir dipastikan jarang sekali. Kita mungkin lebih suka hanyut di dalamnya untuk kemudian menghibur diri dan bersenang-senang. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara dan kelak akan binasa, perbanyaklah menangis. Bumi adalah tempatnya bersabar atas segala ujian. Ini ujian dari Allah, agar kemudian manusia menanam dan mengumpulkan kebaikan. Kakanda Rasulullah, izinkanlah aku menulis dan bercerita tentang kondisi umatmu di masa kini. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad...

***
Aku tidak tahu, ini tulisan macam apa. Tapi betapapun demikian, setidaknya biarlah tulisan ini menjadi bagian yang (semoga bisa) menyembuhkan "penyakit" yang diderita oleh manusia-manusia, yang tak juga kunjung sembuh dari hari ke hari. Sebenarnya, telah sedemikian jelas apa yang telah disampaikan di dalam buku besar kehidupan. Namun entahlah, manusia banyak yang mengabaikan pesan demi pesan rahasia yang ada di dalam kitab kebenaran itu.

Sudah lama sekali rasanya aku tidak bercerita (baca: curhat). Cerita memang identik dengan alay. Dan, aku sangat risih jika tulisanku terkesan alay. Tapi mau bagaimana lagi. Kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran. Aku seperti terkoyak habis-habisan jika kebenaran itu kemudian dijadikan oleh orang-orang sebagai barang mainan yang layak untuk ditertawakan. Dan kali ini, aku harus menjelaskan kebenaran itu dalam bentuk cerita. Sebab, tidak cukup jika disampaikan hanya lewat puisi maupun artikel. Aku harus menghadirkan uraian kronologi cerita itu di dalam tulisan ini (meski tidak seutuhnya), agar engkau percaya. Percaya senyata-nyatanya, bahwa hal semacam ini memang telah benar-benar terjadi di masa kini. Namun dengan catatan tetap menjaga kehormatan dengan tanpa menyertakan identitas, karena aku hanya ingin menjadikan tulisan ini sebagai pelajaran sekaligus pengabaran kepada kakanda Rasulullah, bukan penghakiman dan penghajaran.

Sementara, kulihat di luar sana, telah sedemikian entah, hingga tak mampu lagi kujelaskan lewat kata-kata biasa di lembaran sesempit ini. Namun aku ingat, sesungguhnya aku punya tanggung-jawab moral pada semua manusia. Mau tidak mau, aku harus tetap menulis untuk kebenaran. Betapa dalam menulis tulisan semacam ini, aku harus melewati fase-fase amarah di dalam diri. Tapi sungguh, Kawan, ini demi kebenaran, dan aku tak punya pilihan lain lagi. Meski ada beberapa yang menolak kebenaran dan menganggapku sok, aku tidak peduli. Fa innii laa ubaalii bikum. Dan aku akan tetap menyayangi dan berprasangka baik kepada semua manusia ciptaan Tuhan. Toh, ini semua demi kebaikan kita bersama. Bukankah begitu, Kawan?

Aku hanya ingin menulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku. Betapapun, aku tetap harus bercerita di sini; tentang segala yang sebetulnya terjadi. Tentang segala realita yang kita melihatnya bersama namun tak kunjung juga kita mampu membela kebenaran. Tentang segala yang tak mampu untuk kuselesaikan sendiri, kecuali berbagi dengan menulis. Karena kebetulan tokoh aku dalam tulisan ini adalah seorang mahasiswa, maka ceritanya kebanyakan juga tentang persoalan mahasiswa. Dengan uraian masalah-masalah berikut, semoga bisa memberi permenungan bersama sekaligus pencarian solusi, setidaknya berangkat dari diri sendiri. Inilah yang menjadikan keresahan penulis dalam melatarbelakangi lahirnya tulisan ini (yah, dari sini saja sudah kelihatan alay; mungkin karena efek skripsi, wkwk).

Baiklah, cukup. Kita kembali lagi ke permasalahan. Kalian pasti mengerti, kalau aku adalah sosok yang sangat acuh, dingin, dan juga tidak peka. Biarlah apa kata kalian, itu tidak mengapa bagiku. Toh, aku orangnya memang begini (hehe). Tapi mengapa kalian diam-diam masih juga memerhatikanku? Apakah kalian suka kepada lelaki macam aku? Lalu, aku harus bersikap bagaimana lagi agar membuat kalian berhenti memujiku? Ups, namun bukan itu yang ingin kubahas. Itu hanya sebagai kode pengantar saja. Ada banyak hal lain yang lebih penting dan mesti kuceritakan seputar perputaran zaman ini. Akan kuceritakan dari cerita yang paling ringan (baca: sepele) sampai pada cerita yang tidak ringan sekalipun. Baiknya, kujadikan poin-poin saja.

Poin satu (back to nature).

Masih ingat dengan cerita alm. Yu Patmi dan para pejuang tanah Kendeng? Baiklah, kemarin hari Kamis yang lalu (30/03/2017) telah diadakan kegiatan tahlil dan do'a lintas iman di Bunderan UGM, paling tidak, untuk turut memberikan dukungan kepada para petani di Kendeng. Dan, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan lingkungan di pegunungan Kendeng adalah menolak pabrik semen berdiri di sana. Selain tahlil dan do'a lintas iman juga diadakan orasi, pembacaan puisi, pentas musik, aksi teatrikal, dan aksi cor kaki. Aksi penolakan telah digelar di berbagai tempat, termasuk juga di Balai Kota Malang. Sebentar, kita perlu flash back dulu. Tahun 2015 yang lalu, para ilmuwan di seluruh dunia telah berkumpul di Prancis untuk membicarakan kadar emisi karbon di dunia. Hasil dari konferensi tersebut adalah bahwa emisi karbon telah meningkat sebesar 56 juta milton dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (dari tahun 2004-2014). Sementara itu, suhu bumi meningkat 0.8% setiap tahunnya. Ini berarti lingkungan semakin rusak, efek lebih jauh lagi adalah berkurangnya kadar oksigen dan ozon di bumi, efek rumah kaca, dan mencarinya gunung es di kutub. Konferensi berakhir dengan problem tanpa solusi, karena para ilmuwan tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasinya,  mengingat manusia hari ini lebih suka dengan kondisi yang nyaman, praktis, dan instan (dengan pesatnya produksi kendaraan, banyaknya pendirian industri, maraknya obat-obat kimia, sampai pupuk kimia sekalipun). Manusia hari ini banyak yang tidak memikirkan nasib anak cucu mereka ke depan: masihkah mereka menghirup udara yang sejuk, dan masihkah mereka meminum air bersih? Para ilmuwan dalam konferensi tersebut banyak yang memilih diam dan menunggu sampai suhu bumi naik empat derajat. Di Indonesia sendiri, terjadi penebangan hutan sampai puluhan juta hektar setiap tahunnya. Kota Malang hari ini (dengan suasana polusi dan panas di jalan raya) dengan Malang tempo dulu (dengan kesejukan udara meski di siang hari) jelas berbeda. Dan, kita sebagai mahasiswa, mestinya turut peduli kepada lingkungan, paling tidak berangkat dahulu dari diri sendiri. Mulai dari gerakan menanam tanaman toga, tidak membuang sampah sebarangan, tidak melakukan kapling pada tanah pertanian dan perkebunan, tidak menebang pohon yang masih muda dan berbuah. Aku pikir, dengan gerakan sederhana yang kemudian bisa dilakukan bersama-sama, setidaknya bisa menyumbang untuk perbaikan lingkungan di bumi. Tentu dibarengi dengan segala kebijakan pemerintah (yang sangat menentukan) untuk turut memperbaiki alam, termasuk kebijakan atas tanah Kendeng.

Poin dua (back to religion).

Mungkin dengan bergantinya zaman demi zaman, maka kehidupan akan menjadi semakin transparan. Dan kukira, kebaikan ataupun keburukan dari segala peristiwa yang ditawarkan dalam kehidupan ini bergantung dan kembali pada masing-masing individu. Dengan proses keluar masuknya data dan informasi yang maha cepat ini, maka bisa jadi manusia zaman sekarang akan menjadi "lebih pintar" dan karena itu juga manusia menjadi "lebih bodoh" daripada manusia zaman dahulu. Kita patut untuk prihatin.

Proses masuknya berita dan "ilmu" dari sesuatu yang sering disebut sebagai hape android dengan segala aplikasinya berupa Mbah Google, Whatsapp, Bbm, Line, dan segala macamnya itu kupikir cukup membantu manusia dalam memahami mana yang disebut sebagai kebenaran dan mana yang bukan kebenaran. Beribu-ribu bahkan berpuluh ribu kitab dan buku dengan format pdf bisa disimpan di dalamnya. Tapi mungkin ilmu itu hanya sampai di mata dan pengusapan layar saja, belum menyatu dalam laku. Dan kenyataannya sekarang, kebenaran semakin menjadi kabur saja. Aku "tidak tahu" faktor apa yang menyebabkan kaburnya kebenaran itu. Ah, tak perlu bertele-tele lagi lah. Biar kuberikan contoh riilnya saja, agar kita sama-sama mawas diri. Sebuah universitas dengan segala pendidikan yang ada di dalamnya, sekalipun dengan background agama—ternyata masih belum mampu menjadikan mahasiswa dan mahasiswinya menjadi benar. Nyatanya, masih banyak ditemukan mahasiswa yang sudah mengerti bahwa bersentuhan dengan lawan jenis (yang bukan mahrom) itu haram, tapi masih juga dilanggar atas nama kebersamaan. Apakah itu bersalaman (sekalipun kepada dosen), mencubit, sampai pada hal-hal yang berada di luar pemikiran penulis (hmm, iya ta?). Hal ini menjadi tanda tanya. Juga tentang mahasiswi yang sudah mengerti batasan-batasan aurat, tapi masih saja pergi ke kampus dengan tanpa menggunakan kaus kaki, memperlihatkan lengan, memakai kaos dan kerudung pendek yang membuat terlihatnya (tolong lanjutkan sendiri), ataupun berbusana dengan dilanjutkan kata "tapi" yang berada dalam tanda kutip besar. Laki-laki mana yang tidak tertarik, kasihanilah mereka yang harus berkali-kali menundukkan wajah sekaligus mengumpatkan kata maaf di sepanjang persimpangan jalan. Hal yang nampak sepele ini seakan menjadi wajar dan membudaya. Bagaimana menurutmu? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk membuat Rasulullah tersenyum.

Poin tiga (protect yourself).

Masih pada persoalan mahasiswa. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan peristiwa kejahatan luar biasa. Beritanya masih hangat, karena baru saja kemarin. Apakah itu hoax atau nyata, yang penting kabar itu telah menyebar di media sosial. Tentang mahasiswi (belum nikah) yang melahirkan di tempat kos. Tidak hanya melahirkan, kabarnya, bayinya juga dibunuh. Kupikir, seorang mahasiswa ataupun mahasiswi telah banyak berpikir (atas banyaknya tugas) dan juga menimbang. Tapi mengapa masih juga "pura-pura" bodoh untuk soal yang seperti ini. Ini semua berawal dari (tolong sebutkan sendiri ya hehe, aku sudah tidak kuasa menyebutkan). Kasus-kasus terkait ini, sebenarnya bukan kali pertama kudengar. Kedua, aduh, memalukan sekali. Di kampus agama. Kejadiannya di dalam toilet (ah, aku sampai lupa ceritanya). Juga, masih ingat peristiwa Yuyun? Seorang siswi yang mati mengenaskan di salam semak-semak setelah dikeroyok oleh empat belas laki-laki sepulang sekolah. Di manakah rasa kemanusiaan itu kini berada? Juga tentang temannya teman penulis, yaitu tentang mahasiswa (yang kebetulan dianugerahi harta sekaligus ketampanan) di kampus negeri daerah Surabaya, yang ia sendiri telah lupa, kapan terakhir shalat (padahal muslim). Pun, ia (yang bercerita sendiri kepada teman saya) tidak menghitung, telah melakukan "sesuatu" itu berapa kali kepada mahasiswi-mahasiswi di kampusnya. Astaghfirulloh. Hal serupa juga dialami oleh seorang mahasiswi yang telah kecanduan sampai berganti-ganti..., seperti kecanduan merokok (yang apabila tidak merokok maka akan terasa pahit). Dan terakhir, ini yang membuat aku sungguh tidak percaya. Tentang seorang hafidzhoh al-Quran (mahasiswi jurusan PBA, salah satu kampus negeri di Malang) yang mengaku telah "tidak ori" karena terlena. Aih, eman banget tuh hafalannya yang cuma di bibir saja, Neng. Ini semua gara-gara siapa sih. Jujur dan maaf, aku menulis ini pun penuh dengan umpatan dan emosi, Kawan. Bagaimana bisa seperti ini alur ceritanya. Dan, masih banyak lagi cerita, terutama di negara bagian luar sana, yang hal-hal demikian mungkin telah dianggap lumrah. Padahal jika  manusia tahu, hukuman asli bagi para muslim/muslimah pezina ghoiru muhson (belum menikah) adalah dicambuk seratus kali di bagian punggung dan diasingkan selama satu tahun, sementara untuk pezina muhson (sudah menikah) adalah dirajam sampai mati. Lha, orang yang sudah menikah tapi berzina dan tidak mau dirajam (alias kabur), maka di hadapan penghuni langit ia seperti bangkai yang berjalan di atas muka bumi, karena semestinya ia harus sudah mati, dan amalnya pun tidak diterima. Hmm, Bagaimana menurutmu atas segala peristiwa ini? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk mengembalikan senyum Rasulullah.

Poin empat (back to rightness).

Kawan, kita harus rela memberikan segala-galanya, seluruh hati kita untuk kebenaran. Sebab, hari ini telah banyak orang yang melupakan kebenaran. Perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, hingga arti kebenaran telah dicampakkan darinya. Berbagai produk kecanggihan teknologi, perubahan gaya hidup, modernisasi, dan berbagai kemasan lain, baik yang kasat mata maupun tidak, serasa membuat manusia semakin lupa diri: menjauhkan manusia dari inti pencariannya yang sesungguhnya. Orang-orang kini telah banyak yang tak peduli lagi pada kebenaran. Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak untuk ditertawakan. Betapa orang zaman sekarang sudah jarang berbicara soal setan berikut nafsu yang sudah jelas-jelas menjadi musuh terbesar bagi umat manusia di muka bumi ini. Manusia zaman sekarang telah banyak yang terjajah: terjajah oleh para penjajah nyatanya lahir dari diri sendiri. Manusia telah lama tertidur, hingga mereka tak mengerti, bahwa kebathilan telah sedemikian pesatnya menyesaki dan memenuhi isi bumi. Bumi telah sesak oleh berbagai kemungkaran-kemungkaran. Lihatlah di luar sana, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani. Atas nama kebenaran mereka merayakan cinta, padahal itu semua hanya nafsu. Kawan, sudahkah kita berani jujur pada diri kita sendiri? Ataukah masih saja kita dustai nurani? Sudahkah kita telanjang polos di hadapan-Nya? Ataukah diam-diam masih saja kita coba tipu Dia? Sudahkah kita ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Ataukah masih saja kita pura-pura tak mengerti? Sudahkah kita sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara? Ataukah justru sembunyi-sembunyi kita jadikan Dia yang kedua? Sampai kapan tipu diri kita sendiri, kita perdaya diri kita, kita pertuhan diri kita, kita biarkan diri kita tenggelam dalam lumpur yang nista? Kawan, sampai kapan? Tapi percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan...!

Poin lima (back to "home").

Di luar sana, kehidupan ternyata telah sedemikian entah, Kawan. Dunia telah berubah menjadi gaduh. Bumi telah benar-benar "terluka" parah! Mungkin disebabkan oleh para penghuninya yang sudah tidak lagi mau tahu apa yang sesungguhnya dilakukannya; kebenaran ataukah ke-tidak-benaran. Mataku yang—sengaja maupun tak sengaja—menyaksikannya pun ikut "terluka"; terkena panah api yang diam-diam melesat begitu cepat dalam "peperangan" itu. Aku memang ceroboh, "keluar rumah" tidak membawa "bekal senjata" sama sekali. Untung aku tak lupa membawa "peta" untuk perjalanan pulang. Dan aku memutuskan untuk segera berlari, "pulang ke rumah". Menyembuhkan "luka-luka" dengan air wudhu dan shalat.

Catatan untuk poin lima:

- Maaf atas banyaknya tanda petik: sebagai majas (sengaja memang, hehe).
- Aku lupa mencatat nomor polisinya, tapi aku berpikir biar malaikat saja yang mencatatnya.
- Alumni pesantren ternyata terbagi menjadi dua: menjadi santri sepanjang hidupnya dan menjadi mantan santri. Ilahi, sudilah kiranya Engkau memaafkan setiap kesalahan hamba-hamba-Mu; mungkin terlampau jauh.
- Semoga yang terjadi hanya sebuah sandiwara.
- Aku sudah kapok "keluar rumah" untuk mencari hal-hal yang bersifat sia-sia dan nihil.

Aku harus lebih banyak menulis lagi. Tentang kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang kebenaran, dan masih banyak lagi. Sebab, menulis ternyata bukan hanya sekadar aktivitas merekam kejadian, tapi juga untuk mengumpulkan kebenaran, memperbaiki langkah, mengingatkan yang lupa, dan mempertebal keyakinan. Semua yang kutulis bukan bermaksud berburuk-sangka, tapi ini sudah menjadi realita di kehidupan masa kini. Semoga setiap yang kita tulis menjadi pelajaran bersama di kemudian hari.

Malang, 01.04.17

Puisi Anak Kecil
Oleh: M. Fahmi

aku ingin
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, 22/01/2013

Merahasiakan Maqam dan Amal Shalih
Oleh: M. Fahmi

"... dan ketahuilah, bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun," [QS. al-Baqarah: 235].

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal shalih yang tersembunyikan, maka lakukanlah!" Kemudian imam adh-Dhahabi R.a. berkata, "seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang mampu menyembunyikan amal baiknya sebagaimana ia menyembunyikan dosanya."

Nabi Muhammad Saw. juga pernah bersabda, "ilmu itu membisik, jika disertai amal, ilmu akan meresponnya, tetapi jika tidak ia akan meninggalkannya." Hadits ini menunjukkan bahwa barokah ilmu bisa sirna, tinggal argumen-argumennya belaka, sehingga seseorang akan menjadi ilmuwan, 'ulama, dan cendekiawan yang yang terfitnah oleh ilmunya sendiri, yang tersisa hanyalah pohon pengetahuan, sedangkan buahnya sirna darinya.

Mohonlah kepada Allah Azza wa-Jalla agar Dia memberikan rezeki kondisi ruhani dan maqom di hadapan-Nya. Bila Allah Azza wa-Jalla memberikan rezeki maqom dan haal pada kita, mohonlah agar Allah Swt. merahasiakan semua itu, dan hendaknya kita tidak suka bila rahasia itu ditampakkan. Bila kita suka ditampakkan kondisi ruhani kita yang ada di hadapan-Nya, maka itulah yang akan menyebabkan kehancuran. Berhati-hati dan waspadalah terhadap rasa kagum pada prestasi ruhani dan amal baik kita. Karena orang yang kagum pada amal dan ruhaninya, sesungguhnya ia telah terpedaya dan terkena amarah dari Allah Azza wa-Jalla.

Hati-hati, janganlah kita terlalu banyak berbicara dengan sesama, dan merasa senang ketika ucapan kita diterima. Hal itu justru yang akan membuat diri kita terkena bahaya dan tidak ada gunanya. Janganlah kita bicara dengan suatu kalimat sampai kalimat itu benar-benar mendapatkan restu dari Allah azza wa-Jalla. Bagaimana mungkin kita mengundang banyak orang ke rumah kita, sementara kita tidak menyiapkan hidangan bagi mereka? Persoalan ini harus membutuhkan pondasi, kemudian bangunan. Cangkuli hati kita hingga tumbuh subur air hikmah lalu bangunlah dengan ikhlas, mujahadat, dan amal shalih hingga istana kita menjulang. Baru setelah itu kita bisa mengajak orang lain. Ya Allah, hidupkanlah jasad amal kami dengan ruh keikhlasan dari-Mu.

Bagaimana mungkin bersembunyi dari makhluk bisa memberi manfaat pada diri kita, sementara makhluk terus menerus ada di hati kita? Sungguh tak ada kehormatan dan tak ada artinya khalwat kita. Bila kita berkhalwat sementara makhluk masih bercokol di hati kita, nafsu, syetan, dan hawa kesenangan terus menyertai kita, maka sesungguhnya kita dalam kesendirian tanpa hadir di hadapan Allah Azza wa-Jalla. Bahagia mesra itu bersama Allah Azza wa-Jalla. Bila hati kita merasa senang bahagia bersama Allah Azza wa-Jalla di sepanjang hembusan nafas, pasti kita sepi dari makhluk, walaupun kita bersama riuhnya orang.

Bila kebahagiaan indah benar-benar teguh mandiri di hati kita bersama Allah Azza wa-Jalla, maka dinding wujud kita pun roboh, mata-hati kita akan melihat, lalu yang kita lihat adalah anugerah dan tindakan-Nya. Lalu kita ridho hanya kepada-Nya, bukan ridho pada selain-Nya. Maka di situlah syarat ridho, berselaras dan 'ubudiyah benar-benar didapatkan.

Jangan sampai kita berdusta. Kita mengaku ridho, tapi hati kita bisa dirubah oleh sayuran, oleh suapan makanan, kata, dan gengsi. Kita jangan sampai berdusta, betapa nyaringnya dusta kita, sementara amal dan kejujuran kita menjadi sirna, bahkan tak seorang pun makhluk yang membenarkan kita.

Allah Swt. mewahyukan kepada hati para kekasih-Nya dengan Kalimat-kalimat yang istimewa, di mana mereka mengenal kebaikan dan mereka berserasi dengan Kalimat itu. Mereka yang hatinya tercerahkan akan senantiasa mengikuti jejak Rasul dalam ucapan dan tindakannya. Bila Rasul Saw. mendapatkan wahyu secara dhohir, maka para kekasih Allah mendapatkan melalui hati mereka (Ilham) karena mereka adalah para pewaris Nabi, pengikut-pengikutnya dalam seluruh apa yang diperintahkan Allah Swt. kepada mereka.

Bila kita ingin mengikuti jejak Rasul secara benar, maka perbanyaklah mengingat mati, karena mengingat mati itu akan berarti bagi diri kita, nafsu kita, menjauhkan syetan, dan menepiskan duniawi kita. Barang siapa yang tidak meraih nasihat dari maut, maka ia tidak akan meraih jalan nasihat. Nabi Saw. bersabda, "Cukuplah maut itu sebagai penasihat."

Bagian kita akan tiba, meskipun kita sedang zuhud sekalipun, dan kita justru akan meraih kemuliaan. Tetapi jika bagian itu kita ambil dengan ambisi nafsu, maka kita akan meraihnya, tetapi tidak meraih kemuliaan. Orang munafik itu malu kepada Allah Azza wa-Jalla ketika bersama makhluk, dan ia merasa sinis ketika tidak berada di tengah publik itu. Ingat! Jika iman dan akidah kita benar, Dia akan senantiasa memandang kita, Maha dekat dan Maha Mewaspadai kita, maka sungguh kita akan sangat malu atas segala kelalaian dan dosa yang telah kita perbuat. Kita tak lebih dari serpihan debu atau sebiji sawi di muka bumi, karena kita melihat yang memberi bahaya dan manfaat itu tetap datang dari Allah Azza wa-Jalla, bukan dari yang lain. Budak dan tuan adalah sama.

Beranikanlah untuk mengingkari diri kita dan yang lain melalui jalan syara', bukan jalan nafsu kita, kesenangan atau naluri kita. Bila syariat diam, maka berselaraslah dengan diamnya. Bila syariat bicara, maka berselaraslah dengan ungkapannya. Janganlah kita mengingkari orang lain dengan hawa nafsu kita, tetapi lawanlah dengan iman kita. Iman itulah yang kontra terhadap kemungkaran, sedangkan yaqin itulah yang menghapus kemungkaran. Allah Azza wa-Jalla Yang akan Menolong dan Membela kita. Allah azza wa-Jalla berfirman, "Bila Allah menolong kalian, tak ada yang mengalahkan kalian," (QS. Ali Imron, ayat 160). "Bila kalian memohon pertolongan Allah, Dialah yang menolong kamu dan mengokohkan pijakanmu," (QS. Muhammad, ayat 7).

Bila kita mengingkari kemungkaran sebagai wujud kecemburuan bagi Allah Azza wa-Jalla, maka Dia akan menolong kita untuk menghapus kemungkaran itu, menolong kita mengalahkan ahli mungkar dan menghinakannya. Tetapi jika kita nahi mungkar dengan emosi nafsu kita, hawa nafsu syetan, dan watak hina kita, maka Allah Azza wa-Jalla tidak akan menolong kita untuk mengalahkan ahli mungkar.

Imanlah yang kontra terhadap kemungkaran. Setiap tindakan nahi mungkar yang tidak didasari iman, maka bukanlah sebagai nahi mungkar. Seharusnya motivasinya hanyalah Lillahi Ta’ala. Bukan kepentingan diri dan nafsu kita, atau kepentingan makhluk. Benar-benar untuk kepentingan Allah Azza wa-Jalla, bukan untuk kepentingan diri kita. Tinggalkan stres kita dan ikhlaslah dalam amal-amal kita.

Maut akan terus mengintai kita, sudah seharusnya kita berkontemplasi. Karena itu, tinggalkanlah ambisi kita yang telah membuat kita terhina. Apa yang menjadi milik kita bakal tiba, dan apa yang menjadi milik orang lain tidak bakal kita raih. Karena itu, sibukkan diri kita bersama Allah Azza wa-Jalla. Jangan berambisi mencari apa yang menjadi milik kita dan yang bukan milik kita.

Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah engkau pandangkan kedua matamu pada apa yang Kami hiaskan pada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga-bunga kehidupan duniawi, di dalamnya sebagai cobaan dari Kami untuk mereka,..." (QS. Thaaha, ayat 131).

Tuban, 25 April 2017

Mempersiapkan Diri untuk Kehidupan Abadi di Negeri Akhirat
Oleh: M. Fahmi

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. al-Qashash: 77)."

Sebagai umat muslim kita wajib meyakini dengan seutuh-utuhnya, bahwa kelak akan ada kehidupan selanjutnya setelah kehidupan di dunia, yaitu kehidupan di alam kubur dan kemudian kehidupan akhirat yang kekal. Al-Quran merupakan kalam Allah yang mutlak kebenarannya. Maka jangan pernah mendustakan ataupun membohongkan segala yang ada di dalamnya. Pesan demi pesan kebenaran yang disampaikan al-Quran menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah dipelajari oleh semua khalayak. Diksinya lebih utuh dari sekadar syair. Pun tidak ada satu pun syair yang mampu menandingi keindahan bahasa al-Quran. Al-Quran lebih rasional dari logika sekalipun. Malah, logika yang sesungguhnya harus banyak belajar pada al-Quran. Sebab sekarang banyak logika yang nakal. Mempertanyakan segala keberadaan yang dianggap tidak masuk akal. Maka setiap muslim harus meyakini dengan keyakinan dan keteguhan yang sempurna, bahwa negeri akhirat itu kelak akan benar-benar ada dan terjadi. Agama adalah keyakinan dan keteguhan.

Di kehidupan zaman yang semakin canggih dan transparan ini, banyak manusia yang disibukkan oleh segala macamnya sehingga tidak lagi mempedulikan negeri masa depannya: akhirat. Bagi yang tidak percaya akan datangnya negeri akhirat, mereka akan mengatakan bahwa negeri akhirat hanyalah dongeng nenek moyang yang telah kadaluwarsa di zaman sekarang yang telah melesat dengan cepatnya, menembus dinding-dinding cerita yang berbau takhayul.

Apakah mereka berkata dengan pandangan sebelah mata, "dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita masa lalu. Tidak baik tinggal dalam mimpi-mimpi..". Maka ungkapan logika yang rasional untuk menanggapinya ialah, "Saat ini, memang dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita masa lalu, sementara engkau akan melihat, bahwa akhirat menjadi nyata..!"

Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan esok di akhirat? Sampai detik ini, apa saja yang telah kita siapkan untuk negeri akhirat? Sudah cukupkah bekal kita? Tentu jawabannya ialah belum. Sayangnya kematian telah menjadi penasihat yang sering disia-siakan oleh manusia. Bahwa pemberi nasihat yang berbicara ialah al-Quran, sementara pemberi nasihat yang diam ialah kematian. Dalam surat al-jumu'ah ayat 8 Allah Swt. berfirman, "Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui, kapan ajalnya akan datang. Kematian selalu datang tiba-tiba. Sehingga mulai detik ini juga, mulai hembusan nafas ini juga, kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju negeri akhirat.

Negeri akhirat dengan segala perjalanannya menuju pintu gerbang Surga amatlah jauh, mungkin butuh puluhan ribu lebih tahun akhirat untuk menjalaninya. Semua catatan perjalanan manusia selama hidup di dunia akan diperiksa satu demi satu oleh para malaikat, tidak ada yang tersisa. Maka berbahagialah bagi mereka yang membawa bekal dan persiapan menuju kehidupan abadi di akhirat. Ibarat seseorang melakukan perjalanan jauh di suatu negeri lain, maka mau tidak mau ia harus mempersiapkan segala sesuatunya, dan tentunya tidak lupa untuk membawa bekal. Sehingga tidak ada pilihan misi lain lagi bagi manusia di muka bumi selain hanya mempersiapkan segala bekal untuk kehidupan esok di negeri akhirat dengan cara mengumpulkan kebaikan demi kebaikan di muka bumi ini, di sepanjang detak masa.

Sesungguhnya jika pahala dan dosa itu ditampakkan, niscaya manusia akan berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Tak akan lagi ada manusia yang bermain-main, bergurau, apalagi melakukan maksiat. Sayangnya, tentang pahala dan dosa itu menjadi rahasia ilahi, sehingga banyak manusia yang terlupa dan mengabaikannya. Siapa-siapa yang paling banyak menanam kebaikan, ia akan paling banyak memetik kebaikan pula di negeri akhirat kelak. Banyak cara untuk mengumpulkan kebaikan. Mulai dari kebaikan yang tak kasat mata sampai kebaikan yang kasat mata sekalipun. Kebaikan yang tak kasat mata seperti berdzikir dalam hati, sementara kebaikan yang kasat mata seperti berdakwah dan mengingatkan kepada sesama. Semua boleh dilakukan asalkan niatnya benar.

Ada pula kebaikan yang bisa terus mengalir sampai datangnya hari akhir, seperti shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholih-sholihah. Jika manusia mau membuka mata dan hatinya, maka akan terlihat di setiap ia memandang, kebaikan-kebaikan yang bisa dilakukan untuk kehidupan.

Masalahnya, sekarang orang banyak yang lupa membawa bekal untuk menuju negeri akhirat. Masih banyak orang yang bergurau dan pura-pura tidak tahu kabar tentang negeri akhirat. Kelak di akhirat, orang kafir akan berkata kepada tuhannya, "ya Allah, berilah kesempatan sekali lagi kepada kami, kembalikanlah kami ke dunia, niscaya kami akan beragama Islam dan beriman kepada-Mu.." Maka sekali-kali mereka tidak akan bisa kembali ke dunia, karena mereka sendiri yang tidak memenuhi janji. Sebab setiap manusia sesungguhnya telah berjanji kepada tuhannya di alam azali, membenarkan bahwa Allah Swt. adalah tuhannya, namun ketika dilahirkan di dunia mereka mengingkari janji. Orang juga banyak mengejar sesuatu yang mereka anggap bekal, namun sesungguhnya itu bukanlah bekal.

Sesungguhnya mereka telah mengerti dan berulang kali mendengar kebenaran, tapi entah mengapa, manusia di kebanyakan waktunya banyak yang terlupa. Kebenaran seperti hinggap sejenak di telinga dan kemudian menguap entah ke mana. Padahal jika saja manusia mengetahui, bahwa di setiap pekerjaan dan aktivitas jika diniatkan setulus ikhlas untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka di sepanjang waktunya tidak akan ada yang sia-sia. Segalanya akan menjadi kebaikan, kalau itu memang benar-benar kebaikan dan diniatkan setulus ikhlas untuk beribadah. Mudah bukan untuk mencari bekal itu?
Setiap manusia memiliki skill dan kapabilitas masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berprofesi menjadi kyai, ada yang menjadi tukang, sopir, pedagang, guru, siswa, petugas sampah, buruh, penulis, dan lain sebagainya. Semua itu telah menjadi hukum alam atau sunnatullah. Sehingga setiap pekerjaan yang baik dan bermanfaat itu mulia dan bisa mendatangkan pahala. Menjalankan segala aktivitas dunia jika benar-benar diniatkan untuk akhirat maka akan menjadi amal akhirat. Dan bisa jadi, terlihat amal akhirat tapi sesungguhnya itu adalah amal dunia. Maka janganlah kita memandang remah suatu pekerjaan yang terkesan bukan amal akhirat. Dan berhati-hatilah jika sedang menjalankan amal akhirat, jangan-jangan pekerjaan itu bukan karena Allah. Sesungguhnya segalanya bergantung pada kondisi hati dan niat seseorang. Sehingga mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di negeri akhirat dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja yang mau.

Pahala begitu penting, sebab hanya pahala yang dapat menyelamatkan dan menjadi bekal kelak di hari datangnya akhirat. Namun demikian, tidak semua orang yang melakukan kebaikan mendapat pahala. Hanya orang yang beragama Islam yang akan mendapat pahala jika melakukan kebaikan.

Sementara orang non-Islam, sekalipun ia telah berbuat baik sebanyak apapun, kebaikannya tidak dapat diterima oleh Allah. Agama Islam adalah kebenaran, jangan pernah sekali-kali meragukan. Agama Islam ibarat sebuah wadah, sementara pahala ialah isinya. Akan menjadi percuma jika seseorang hanya punya isinya, sementara ia tak memiliki wadahnya. Maka berbahagialah orang yang telah memiliki wadah, terlebih isinya.

Melihat kembali ayat al-Qur'an surat al-Qashash ayat 77 di atas, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat..." Sehingga telah sedemikian jelas, bahwa negeri akhirat adalah kebahagiaan yang harus dicari dari apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita di dunia ini. Tentu kita senantiasa merasakan, bahwa anugerah itu tak pernah lepas menyelimuti setiap makhluk di muka bumi ini. Maka atas segala anugerah itu, hanya dengan bersyukur kepada Allah lah jalan yang terbaik, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kemudian lanjutan dari penggalan ayat tersebut, "dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.." Bahwa segala apa yang telah diberikan oleh Allah dengan cuma-cuma kepada manusia di dunia ini ialah juga bagian dari anugerah. Kita harus melangkah gembira dengan melafadzkan syukur serta puji atas segala nikmat yang telah diberikan Allah. Jangan sampai kesibukanmu beribadah melupakan melihat dan membaca karya agung-Nya yang terhampar di jagat raya ini. Sehingga ada manusia yang diangkat menjadi wali karena khusyu' melihat dan memikirkan keagungan dan kebesaran Allah.

Jangan melupakan bagian kita dari kenikmatan dunia, maksudnya bahwa kita memiliki bagian nikmat, berupa kesehatan, kesempatan, dan lain sebagainya, sehingga kita harus memainkan peran sebagai khalifah fil ardh untuk menyemai segala kebaikan dan kebenaran di bumi, dan mempergunakan segala nikmat di dunia ini dengan sebaik dan sebijak mungkin, dan menggunakan dunia sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan di negeri akhirat. Namun demikian, jangan sampai terlena oleh gemerlap dunia yang sesungguhnya menipu ini. Kita harus cerdas dalam membedakan mana pahala mana dosa, mana nikmat mana laknat.

"...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.." Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk terus mengumpulkan kebaikan di setiap masa, dan menghapus kesalahan-kesalahan dengan cara mengakhiri kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt., dzat Yang Maha menerima taubat setiap insan. Semoga esok kita dibangunkan dengan membawa bekal kebaikan-kebaikan jauh lebih banyak dari kesalahan, yang dengannya kita bisa sampai kepada ridho-Nya, yaitu surga dengan segala kenikmatannya. Aamiin..

Malang, 31 Januari 2017

Usaha Meredakan Hujan
Oleh: M. Fahmi

Inilah risiko bermain di tengah hujan
Pertarungan ego di altar jiwa
Menunggu hujan memahamiku
ataukah berusaha memahami
setiap dari cuaca?
Seperti selalu tumpah dalam gemuruh
bersama petir, badai, mendung, dan juga gerimis.
Segalanya menjadi gelap.
Tak mampu lagi kuraba
mana timur, mana barat.
Dan aku serasa tak menjadi diriku.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak tertawa lagi,
dan bersandiwara dalam lugu
Sekali lagi, risiko memang
Tapi biarlah
Aku ingin sesegera ini pulang,
menjadi diriku.
Kutanggalkan segala baju, sepatu, topeng,
bahkan songkok sekalipun
yang memberatkan diriku
untuk bisa terbang, merobek langit
Kiranya cahaya itu datang
membelah hujan, mengusir gelap
Kini, kulepas diriku
(semoga) tepat dalam dekapan insyaf.

Malang, 14/04/2017.

Menggenggam Matahari
Oleh: M. Fahmi

Sekerdil (ini)/itu kah,
idealisme (kita)/mu?
Apa kau kira aku akan
-begitu saja-
menyerahkan matahari
dan lalu terbakar
oleh gincu, bedak, celak, paras,
pakaian, sampai semerbak aroma tubuhmu?
Rupanya (kita)/kau masih belum
benar-benar mengenal matahari,
meski telah sedemikian lama
kita saling mengenal.
Mengapa begitu ceroboh
meludahi matahari?
"Dengar, kita sudah hampir sampai
di penghujung waktu pura-pura. Tak ada salahnya
jika memperbaiki diri," bisikmu suatu ketika
"Memperbaiki diri?" ulangku
seraya mengernyitkan dahi.
"Kurasa, kita perlu lebih banyak belajar lagi
pada segala yang ditawarkan matahari," rayuku kemudian.
Tapi engkau seperti tak percaya.
Dan engkau semakin menjadi dirimu.
Sementara aku, (semoga) tetap menjadi diriku.

Malang, 14/04/2017.