Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Siapakah Aku?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[“Kawan, siapakah sebenarnya kita ini? Musliminkah? Mukmininkah? Muhsinin? Muttaqin? Khalifah Allahkah kita? Umat Muhammadkah kita? Khaira ummatinkah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk-makhluk lain, di negeri-negeri lain? Atau bahkan lebih rendah dari itu, hanya budak-budak perut dan kelamin?”]

Begitulah kira-kira Gus Mus (K.H. Musthofa Bisri)—dalam puisinya—menjelaskan alfa, beta kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Namun kita tak kunjung mengerti. Tak kunjung mengetahui siapa sebenarnya kita ini. Mendengar setiap bait puisi Gus Mus saja aku merinding, apalagi menghayatinya. Seperti ingin menangis!
Sobat, tahukah kau, siapa aku ini? Baiklah, dengan segala keterbatasanku, aku akan mencoba menuliskan tentangku. Aku ini adalah... Ah, betapa sulit mengenal diriku sendiri. Padahal aku telah  sekian lama bersama diriku, namun tak kunjung juga kutemukan tafsir “aku”. Hari-hari telah hilang tanpa ada pemahaman tentangku. Ku akui, aku masih bodoh, tak seperti kalian yang telah belajar tentang banyak hal. Aku hanyalah seseorang yang belum bisa belajar dari kehidupan, apalagi mengerti tentang sebuah kematian.

Aku mencoba untuk mendengar dan melihat semua pergerakan di muka bumi ini, namun belum bisa benar-benar menghayati. Aku mencari, namun belum ada dari gerakku yang bisa membuatku menemukan. Detik demi detik, waktu demi waktu, hari, bulan, tahun, kosong tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa nafas, tanpa pemahaman tentang siapa aku!

Sekian lama sobat, tak kutemukan diriku. Bantulah agar aku segera menemukannya. Semakin aku merasa tahu tentang siapa “aku”, di situlah sebenarnya aku tak mengerti apa-apa tentangku. Namun bagaimana bisa mengetahui tanpa merasa? Langkah demi langkah kujalani dengan kebingungan yang menggema di setiap sudut pikiranku. Berbagai pertanyaan yang tak terjawab semakin menyesaki jiwa. Di hadapan penggenggam segala jiwa, aku semakin merasa rapuh, miskin, kotor, hina, dan tak punya apapun.
Di mana aku bisa menemukan diriku, juga diri-Nya? Aku belum menemukan apa-apa, Sobat.

Bantu aku, tolong! Di mana aku memburu untuk mencari, di situ semakin tampak ke-Aku-anku. Sedang tak memburu, aku semakin kehilangan jejak. Lalu aku harus bagaimana, Sobat? Bantu aku menemukan diriku yang sesungguhnya. Semakin lama semakin aku kehilangan arah, kehilangan tujuan. Di mana sebenarnya tujuan yang hakiki itu, Sobat? Aku semakin kehilangan makna. Tak kusadari, semua berjalan begitu cepat. Waktu semakin cepat saja berlari. Dan aku? Masih saja diam di tempat, menunggu sebuah keajaiban yang tak pernah kunjung datang.

Setiap detak waktu berjalan, Dia selalu bersamaku dan juga meliputi segala yang ada, namun aku belum pernah bisa benar-benar bersama-Nya.

Semakin aku merasa bersama-Nya, di situlah aku kehilangan-Nya. Lalu, aku harus bagaimana, Sobat? Misteri ini amat sulit kupecahkan sendiri. Dulu, ketika kita berjalan beriringan bersama, kau selalu menemaniku pada setiap langkah perjalanan. Kini kita berada pada pijakan bumi yang berbeda. Aku butuh sobat—yang benar-benar sobat—yang bisa menuntunku, menunjukkan cahaya pada setiap perjalananku, menggenggam erat jemariku menuju-Nya, menolongku dari selain-Nya, agar aku segera sampai kepada-Nya.

Aku rindu dirimu, Sobat, yang telah sekian lama menghilang, entah di langit mana. Kini aku berjalan sendiri. Tak ada lagi sobat yang menemaniku dalam pencarian ini. Siapa saja engkau yang membaca tulisanku ini, sudilah kiranya engkau menjadi sobat jiwaku, mengobati luka yang tak terperi ini. Belum pernah kulihat warna semuram luka ini, Sobat. Perjalanan masih panjang, sementara aku semakin tertatih-tatih dalam melangkah.

Waktu menghempaskanku, sedang engkau belum juga datang, Sobat. Aku memang tak pernah mengerti, ini tulisan macam apa, mungkin juga engkau dan mereka. Namun tanpa menulis, aku akan luput merekam keadaan, yang kelak akan menjadi sejarah di waktu yang lain. Maka dari itu Sobat, aku menulis semata-mata hanya karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis, maka legalah perasaanku.

Aku yang belum sepenuhnya mengerti tentang islam, iman, dan juga ihsan, ajarilah aku, Sobat. Hatiku bisa beku jika lama tak mendengar kalam-Nya, jika tak membaca segala ayat-Nya.
Sobat, jawaban demi jawaban itupun datang seiring dengan sekian banyak tafsir yang membingungkanku. Pernah aku beniat untuk berhenti mencari siapa aku, berharap tafsir “aku” yang kuimpikan bisa kuraih. Namun apa yang terjadi? Aku semakin tenggelam di ruang yang salah. Sebetulnya aku selalu ingin berbuat baik, berharap kutemukan diriku, namun harapan itu tak pernah terwujud, karena dalam hati masih berdebu, sehingga aku selalu tahu, kalau-kalau manusia melihat semua gerakku, menjadikan salah dalam niat. Bagaimana ini, Sobat? Berbuat baik saja bisa salah, apalagi tak berbuat apa-apa, atau bahkan berbuat tidak baik.

Tentang lahiriah, memang tak pernah bisa menjamin keadaan bathin. Aku semakin kehilangan diriku, manakala dalam novel kehidupanku, kutulis “aku sudah bisa”, “aku telah menemukan”, “aku sudah baik”, atau kata-kata lainnya yang senada. Semua yang kutulis ini tidak mutlak benar, Sobat. Jika terdapat banyak kesalahan, itu pasti dariku yang lemah, dan apabila benar, itu pasti datangnya dari-Nya.

Pemikiran manusia selalu nisbi dan kebenarannya tidak mutlak. Sementara kebenaran mutlak hanya bersumber dari-Nya.

Doakan ya, Sobat. Aku dan mereka yang agaknya “merasa” mulia, akan selalu dilimpahi istidroj oleh-Nya, yang tak kalah berat dari cobaan kepada orang-orang fakir. Aku dan mereka yang terlena dengan kata, atau segala ucapan yang dengannya orang bisa menerima tentang apa yang kusampaikan, selalu diintai cobaan-Nya. Aku, di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-ku. Juga ketika menganggap apa yang menjadi pendapatku adalah satu-satunya yang paling benar, sementara pendapat-pendapat lain yang berbeda adalah salah.

Astaghfirullah, “kata”, begitulah orang menyebutnya. Lembut bila didengar, atau mungkin bahkan menikam bila dirasakan. Kasihan sekali nasib sebuah kata. Terlahir untuk di tulis dan dibaca, namun banyak dariku yang belum selaras dengan kata, bahkan dengan kata-kataku sendiri. Detik ini, sebisa mungkin, aku tak ingin menciptakan kata yang sia-sia, Sobat..

Terkait dengan istidroj (cobaan), berikut adalah pendapat Gus Mus dalam cerpenya yang berjudul ‘Gus Ja’far’.

[“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak?”]

Dalam majalah Cahaya Sufi dijelaskan: “Terkadang, Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian wali-Nya, dan menghiasi wali-Nya dengan pakaian musuh-Nya.”

Lalu tentang siapa aku, aku masih mencari. Semoga selau diterangi ‘irfan-Nya. Aku teringat juga dengan sajak Saprdi, “Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, KAU (Allah) takkan letih-letihnya kucari...”

Wallahu A’lam
Tuban, 16 Juli 2013

Pertanyaan untuk Diri Kita
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Hamba Allah kah kita?” Coba hitung kembali usia kita yang berpuluh tahun sejak lahir dahulu kala, berapa persen kita menjadi hamba Allah, berapa persen kita menjadi hamba setan, berpa persen kita menjadi hamba nasfu, berapa persen kita menjadi hamba harta, dunia, dan kekuasaan?

Bagaimana kita mengku sebagai hamba Allah, sedangkan berhala iri, dengki, egoisme, nafsu birahi, kuasa, harta, berhala yang kita bangun sebagai patung pujaan dan kebanggan adalah kuburan yang mengerikan bagi kematian jiwa kita?

Bagaimana kita bisa mengaku sebagai hamba Allah, sedangkan kita tidak pernah mau mencatatkan diri kita di buku harian Ilahi sebagai benar-benar hamba Allah? Ataukah mungkin nama kita pernah dicatat di sana sebagai hamba Allah, sedangkan di lembar berikutnya nama kita sudah dicoret dengan tinta merah di Lauhul Mahfudz sana?

Bagaimana kita mesra menjadi hamba Allah sedangkan ibadah yang kita lakukan selama ini bukan untuk Allah, tetepi agar kita sukses meraih kehidupan dunia, agar kita lebih sejahtera di dunia, atau agar kita bahagia di akhirat?

Bagaimana kita bisa disebut sebagai hamba Allah sedangkan kita menghadap Allah dengan muka berpaling bahkan dengan muka mesum yang dilumuri bau busuk ambisi dan nafsu kita?

Bagaimana kita mengaku hamba Allah, hanya dangan surban, hanya dengan tangisan di media massa, hanya teriakan takbir yang sia-sia, sementara hati kita tak pernah bersurban, jiwa kita dipenuhi kesombongan dan riya’, roh kita dijubahi oleh rasa bangga sebagai tokoh agama?

Bagaimana mungkin kita dicatat sebagai hamba-Nya, ketika hari-hari ini kita lebih senang menjadi binatang  jalang,  menjadi budaknya setan, menjadi buruhnya hawa nafsu kita, menjadi penyembah patung-patung  yang  kita buat sendiri dari limbah-limbah kotoran kita sendiri?

Astaghfirullaahal adziim. Jangan pernah berhenti memohon ampunan-Nya. Karena sesungguhnya istighfar itu adalah pelukan cinta-Nya ketika kita telah lama hilang dari kinasih-Nya. Jangan berhenti, jangan pula melepaskan diri dari elusan mesra-Nya, dalam dekapan-Nya. Di sanalah sesungguhnya kita telah menjadi hamba-Nya.

Wallaahu a’lam.
Tambakberas, 5 Agustus 2011
Ketika Manusia Berkarya
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Seorang penulis dari Inggris, Muriel Rukeyser, mengatakan, “Konon, Alam semesta raya ini terbuat dari cerita-cerita, bukan dari atom-atom.” Kemudian sastrawan, Horace, menambahkan, “Cerita adalah tentang diri kita sebagai manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.” Hal ini pun—agaknya—sesuai dengan kitab Daqaaiqul Akhbar, bahwa Allah menciptakan makhluk yang pertama kali setelah Nur Muhammad adalah sebuah qalam atau pena. Dari pena tersebut disusunlah cerita demi cerita tentang manusia dan alam raya ini di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia: Lauh Al-Mahfudz. Dari sanalah segalanya bermula; cerita dan kisah di sepanjang perjalanan abad. Cerita tentang adanya kita—yang ada di dalam rangkaian cerita yang maha panjang itu.

Di rangkaian cerita itu, lahirlah makhluk bernama ruang dan waktu, hingga dimensi ke-n yang lain. Adanya berbagai dimensi tersebut sangatlah memungkinkan seluruh makhluk-Nya dapat tinggal di sana. Semua makhluk yang ada di muka Bumi dan Langit, serta yang ada di antara keduanya sejatinya senantiasa me-Mahasucikan Allah, hanya saja terkadang manusia terlupa akan siapa sebetulnya dirinya. Kehidupan ini begitu indah, bukan? Dialah Allah, Sang Kreator Mutlak. Lihatlah, seluruh aksara karya Agung-Nya yang maha ajaib ini, yang tak pernah ada makhluk yang sama persis baik dari segi karakter maupun fisik. Allah sungguh hebat dan kreatif, bukan? Dialah yang Maha Qadim—yang “dahulu”Nya tanpa adanya permulaan, berbeda dengan semua makhluk-Nya selalu berhulu dan bermuara. Akan ada banyak sekali keajaiban dalam Kehidupan yang Maha Akbar ini jika manusia mau membacanya.

Sebagaimana uraian di atas, bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini telah ditulis oleh Tangan yang sama. Masa depan telah ditulis dan apa-apa yang ditulis-Nya selalu untuk kebaikan manusia. Setiap orang memiliki legenda pribadi. Semakin dekat seseorang ke perwujudan legenda pribadinya, semakin besar legenda itu menjadi alasan utamanya untuk selalu belajar dan berkarya di dalam Kehidupan. Saya jadi teringat mutiara kalam Imam asy-Syafi’i, “..Bila kau tak tahan lelahnya belajar dan berkarya, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan..”. Kata-kata yang sederhana tapi terkesan utuh itulah yang berhasil memotivasi saya untuk selalu belajar dan berkarya.

Legenda pribadi adalah apa yang selalu ingin ditunaikan oleh manusia dalam Kehidupan. Masing-masing manusia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Semua dari mereka menjalani legenda pribadinya sampai selesai, sebab hidup tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Mereka berkelana, berbicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan keajaiban-keajaiban kepada yang ragu. Dan ketika seorang anak manusia itu menginginkan sesuatu, maka segenap Alam raya bersatu untuk membantu meraihnya.
Jika Tuhan yang dengan segala karya agung-Nya dapat sedemikian kreatif menjadikan segala sesuatu, mengapa manusia tidak? Bukan berarti mau menyaingi ciptaan demi ciptaan-Nya, tapi dengan berkarya maka setidaknya seorang anak manusia akan senantiasa belajar meng-iqro’i segala karya agung-Nya di alam raya ini. Pun dengan berkarya, ia akan menemukan dirinya yang sesungguhnya. Melukis, menulis, memahat, membaca, bermusik, dan segala aktivitas berkarya lainnya ternyata bukan hanya sekadar aktivitas seni, tapi juga merupakan pengembaraan, pencarian, perjalanan, sekaligus pencapaian seorang kreator dalam menggapai Cahaya Maha Cahaya; yang adanya adalah sebagai puncak Keindahan tertinggi. Semua ilmu berhulu dari pemikiran (filsafat) dan akan bermuara menjadi seni.

Menulis—terkhusus mengarang—adalah proses merevisi naskah sepanjang hari, seperti seorang pelukis yang terus memoleskan kuasnya di kanvas dari waktu ke waktu untuk mencapai taraf keindahan tertinggi. Jadi, tidak akan bisa rampung saat itu juga. Harus sabar dan tetap ulet dalam menyelesaikannya, sampai suatu nanti ketika kita sendiri merasa puas membacanya. Kalau kita sendiri puas, insya Allah pembaca pun puas. Sebab, menulis pada hakikatnya adalah untuk kepuasan batin penulis sendiri. Pembaca hanyalah audiens yang kebetulan terkena efek dari keindahan batin seorang penulis.

Menulis itu pun sebetulnya tidak ada bedanya dengan kebutuhan sholat, makan, dan minum. Hanya saja, dengan tulisan, kemungkinan untuk menggapai makna hidup yang lebih tinggi bisa lebih terwakili. Pertarungan paling panjang adalah pertarungan abadi antara pertentangan hati nurani manusia yang ingin berdiri sendiri dengan suara-suara lain—entah itu datang dari setan atau nafsu—yang berusaha menggoyahkan keyakinannya. Itu pulalah sebabnya mengapa manusia berkarya. Hanya karyalah yang akan ditinggalkan manusia sebagai jejak kehidupan dalam pengembaraan yang tidak ada ujung pangkalnya ini.

Apakah manusia dalam perjalanan berkaryanya selalu benar? Tidak. Mereka akan menjumpai berbagai rintangan yang kemudian—bisa jadi—ia tidak selamanya berjalan di ruang yang benar. Namun, justru dari perjalanan itulah seseorang—sebetulnya—dapat belajar untuk sampai pada titik yang benar. Saya pribadi, cukuplah menjadi orang “sederhana” dengan pikiran “sederhana” dan hidup “sederhana”. Saya ingin hadir apa adanya di muka bumi ini sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah yang ikhlas untuk apa mereka hadir.

Sebagai bahan belajar bersama, saya punya beberapa tips: Tulislah apa yang paling kita ketahui. Biasanya pengalaman pribadi adalah hal yang paling mudah untuk ditulis. Tidak jarang, pengalaman pribadi menjadi sumber ilham terbesar bagi seorang pengarang setelah diramu dengan imajinasi dan bahan-bahan lain yang ada. Tulisan bisa membekas di hati pembaca karena tulisan itu memiliki “ruh”—yang dengannya kata demi kata yang disampaikan akan menjadi terasa “hidup” dan akan sampai pada maksud makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengantarkan pembaca sampai pada titik hikmah. Ada keindahan kata-kata yang tidak bisa digantikan dengan gambar, lukisan, suara, atau bahasa yang lain. Itulah sastra. Di sana, pengarang akan benar-benar terlibat dalam pembuatannya dengan mencurahkan segala rasa yang ia punya.

Apa yang perlu dihindari saat menulis? Kalau saya pribadi percaya, bahwa saat menulis itu ada kekuatan tak kasat indera yang tanpa kita sadari sedang membimbing kita dalam menulis, dan itu pun tergantung pada niat dan apa yang kita tulis. Sebab, ketika kita menulis maka sebenarnya kita memiliki tanggungjawab moral kepada pembaca, terlebih kepada Tuhan. Untuk itu, hindari segala perbuatan yang tidak diridhoi Allah—yang dibenci sekaligus dimurkai oleh Allah. Maka setidaknya, dalam kehidupan keseharian kita harus taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Insya Allah apa yang kita inginkan tercapai. Nampaknya hal ini sepele dan terkesan simpel, namun inilah esensi Kehidupan. Agama bukanlah ritual yang hanya sekadar menjemukan atau dogma yang memaksa, melainkan keyakinan dan keteguhan.

Semoga kita bisa saling berbagi dan menyemangati. Seorang penulis tidak akan berarti apa-apa kalau karyanya tidak ada yang membaca. Penulis hidup dalam kesunyian dan sahabatnya yang sejati adalah pembaca. Salam sukses selalu, Sahabatku. Teruslah berkaya untuk sahabat, untuk bangsa, untuk Cinta!

Wallahu a’lam.
Malang, 22 Pebruari 2015


Keluar dari “Penjara” Rasa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Sesuatu yang kita sendiri mengalaminya hari demi hari, namun tak kunjung juga kita mengerti. Hidup ini dibuat biasa sajalah. Tak perlu tegang dan serius. Mungkin di antara kalian, sering melihat dan mendengar saya berhumor yang tidak jelas. Ya, harap dimaklumi. Mungkin dikarenakan sifat saya yang masih kekanak-kanakan.

Tapi, kau tahu. Ada latar belakang yang membuat saya sering berhumor dan tertawa. Dan yakinlah. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang bersifat serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Karena itu, manajemen rasa itu dirasa penting. Kita perlu kondisi yang tenteram, bahagia, dan penuh kedamaian di sekeliling kita, agar hidup tak selalu tegang. Kenapa saya berpikir demikian. Sebab, sesuai dengan perjalanan pengalaman saya, di kelas, beberapa dosen yang killer membuat mahasiswanya tegang dan berpikir sedemikian seriusnya. Tak hanya di kelas, di luar pun, mahasiswa sering diburu ketakutan atas tugas-tugas dari dosen. Hari-hari saya selama kuliah membuat saya jarang berhumor. Hidup saya pun penuh dengan ketegangan dari hari ke hari. Jadilah saya orang sains yang sering serius dan jarang tersenyum, apalagi tertawa. Wajah saya pun agak berubah, laiknya dosen yang killer. Itulah sebabnya, saya suka berhumor di sana dan di sini. Sebab, betapa waktu di kelas, telah banyak menyita waktu humor saya dengan berbagai keseriusan.

Seperti halnya rasa marah, iri, benci, dendam, ketakutan, ego, suka, cemburu, cinta, nafsu. Tegang dan serius juga merupakan bagian dari semua itu, yang pada hakikatnya adalah sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kita sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kita sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kita telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, seseorang harus mengabaikan segala rasa yang sedang membelenggunya. Perlu kita ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Dengan filsafat, seseorang dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin.

Ini cerita saya. Dulu, memang pribadi saya sangat labil. Cinta pun saya tuhankan. Saya menjadi buta dan tuli, hanya gara-gara cinta. Saya dibuat sibuk dan pusing oleh cinta. Saya pun diperbudak oleh cinta. Saat itu, saya belum pernah mengenal filsafat. Sehingga tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, semua jejak cerita itulah yang akhirnya membuat saya kokoh pendirian. Kujadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang saya pakai di hari ini.
Cerita saya berawal dari sini. Pernah saya mengagumi seseorang. Kupuji ia dalam siang dan malam. Dalam salat, saya tak tahu harus menghadap Allah ataukah seseorang yang selalu kuingat namanya itu. Wajah saya penuh dosa karena mengkhianati nurani saya. Seharusnya saya hanya menghadap Allah, bukan yang selainNya. Saya tak berani mengutarakan pada perempuan. Diam-diam suka, diam-diam cemburu, dan diam-diam cinta.

Dulu, saya juga pernah pacaran. Satu kali dalam hidup saya, hingga saat ini. Tapi nahasnya hanya berlangsung dua hari. Hari pertama saya menyatakan cinta. Dan hari kedua saya memberinya hadiah. Setelah itu, saya tak berani lagi mendekati, apalagi berbicara padanya. Semua telepon dan sms darinya saya abaikan. Kata dia, saya jahat. Memang di matanya begitu. Tapi entah lagi kalau di hadapan Allah. Ah, tahu apa saya soal cinta. Saya kemudian sadar, dan saya tinggalkan nafsu itu dalam keyakinan.

Semenjak itu, saya hanya bisa merindu dan mengkidungkan nyanyian cinta. Ternyata perjalanan cinta belum berakhir. Saya harus menanggung beban rindu dari hari ke hari. Hati saya masih labil oleh godaan cinta. Apakah itu cinta atau nafsu, saya belum bisa membedakan. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan filsafat. Ialah yang mengantarkan saya pada ruang hikmah. Ialah yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia. Saya pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani saya yang asali. Saya seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga saya tinggalkan segala bentuk cinta dalam keyakinan hati. Kupatahkan segala sayap-sayapku, agar aku tak lagi terbang mencari-cari cinta, sebab cinta sebetulnya selalu hadir di depan mata, di setiap pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman. Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya menolak sepenuhnya. Orang munafik tak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujungnya.

Malang, Mei 2015

Pesan-Pesan Rahasia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Pesan rahasia pertama: Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah kebenaran.

Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada kebanaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan cinta, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan mengantarkan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah. Lalu, adakah manusia yang benar-benar manusia di antara bermiliar manusia di muka bumi ini? Adakah tempat yang benar-benar menjanjikan ketenangan dan kedamaian di setiap sudut kehidupan?

Pesan rahasia kedua: Untuk sampai pada puncak kearifan dan kebijaksanaan tidaklah selamanya seseorang harus menempuh perjalanan yang terjal lagi mendaki. Adakalanya ia harus menikung dan turun sebelum akhirnya naik kembali. Begitulah tangga alam mengajarkan kepada kita dalam meraih suatu tujuan. Karena itu, tidak selamanya hidup ini harus dihadapi dengan ketegangan yang kadang justru dapat mengurangi substansi dari nilai sebuah kebenaran, tapi sesekali hidup juga perlu diisi dengan humor-humor yang menyegarkan agar tujuan suci itu tercapai dan perjalanan ke arahnya tetap terjaga. Mengapa demikian? Sebab, kesucian tanpa humor sifatnya meragukan. Serius memang suatu keharusan tapi terkadang hiburan juga penting. Dengan humor manusia bisa melupakan kegetiran sejenak sebelum akhirnya kembali dalam kesejatian.

Pesan rahasia ketiga: Apakah hati akan beku jika tertawa? Ah, tidak betul itu, Kawan. Tertawa malah bikin awet muda. Tertawa juga bikin sehat jiwa, karena tawa dapat melepaskan dan mengendurkan syaraf-syaraf manusia dari ketegangan dan dari beratnya beban hidup. Tertawalah secukupnya dalam kewajaran. Tapi jangan tertawa sendirian tanpa sebab kalau tak ingin disebut orang tak waras, kecuali kalau sedang latihan drama atau memang sudah berada di rumah sakit jiwa. Hati akan beku kalau dimasukkan ke dalam kulkas.

Pesan rahasia keempat: Mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa! Tapi percayalah, satu-satunya orang tak waras di tengah-tengah orang yang “gila” di zaman ini sesungguhnya dialah satu-satunya orang yang masih menjaga kewarasannya. Gila adalah satu cara agar seseorang tak lagi mementingkan diri. Dan justru dengan gila pula, seseorang tak perlu lagi merasa untuk sakit hati.

Pesan rahasia kelima: Kita selalu rindu untuk kembali ke asal mula; terbang di keluasan Alam Semesta, menuju puncak yang paling tinggi, mendekati Dzat yang sebetulnya paling dekat dengan diri manusia. Orang yang pernah masuk dalam dimensi seperti ini, akan selalu rindu untuk kembali. Tahukah kau, mengapa kaki kita masih menginjak bumi? Karena sayap kita cuma jiwa.

Pesan rahasia keenam: Orang alim itu tidak sempurna imannya apabila belum menghadapi empat cobaan: dimusuhi oleh musuh; dicela oleh teman-teman dekatnya; dicacat oleh orang-orang bodoh; dan dihasud oleh ulama’ (Imam Abu Al-Hasan Asy-Syadzili).

Pesan rahasia ketujuh: Harapan seseorang dengan kekasihnya hanyalah bertemu. Tak meminta apa-apa, kecuali hanya bertemu. Hatinya  merasa terpotong-potong karena sakitnya berpisah dengan kekasih (Allah).

Pesan rahasia kedelapan: Allah itu selalu mendampingi setiap orang yang  mengembara dan orang yang selalu sendiri untuk mengingat-Nya. Seorang pengembara berkata, “Ilahi, mengapa orang-orang tak lagi mengingat-Mu? Sungguh, Engkau adalah ganti dari segala sesuatu yang hilang dariku.”

Pesan rahasia kesembilan: Makna keindahan itu sangatlah luas, Kawan. Ada keindahan estetika, keindahan etika, keindahan rasa, keindahan bentuk, dan lain sebagainya. Dari semua itu, di muka bumi ini tidak ada keindahan yang benar-benar mutlak, sebab keindahan itu memang tidak memiliki titik batas. Hanya Allahlah yang menguasai kemutlakan itu. Pastikan bahwa hadirnya “keindahan” itu tidak perlu menunggu hari esok tiba, melainkan dapat kita ciptakan dan kita capai dalam detik ini juga dengan sebuah keyakinan! Orang yang berani berkata “pasti” berarti ia telah menggenggam kekayaan tertinggi, yaitu keyakinan. Dengan bekal keyakinanlah manusia akan sampai pada puncak keindahan itu.

Pesan rahasia kesepuluh: Dari manakah awal mula adanya air itu? Ke mana perjalanan akhir dari air? Dari mana awal mula lahirnya angin? Ke mana akhir dari pengembaraan angin? Dari mana awal mula terciptanya api itu? Ke manakah hilangnya panas yang membakar? Dan tanah, meski manusia sering memandang dengan sebelah mata, namun dalam diam ia selalu memamah segala yang ada sekaligus memberi kehidupan pada bumi yang dipijak manusia. Tanah merupakan pemersatu sekaligus sahabat setia air, angin, dan api yang tak terpisah untuk selamanya. Mungkin sebab itu pulalah, mengapa manusia tercipta dari tanah. Tanah akan kembali ke tanah, ruh ke ruh. Lalu ke mana perginya air, angin, dan api?

Pesan rahasia kesebelas: Harapan merupakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Jika tidak, maka ia hanyalah angan-angan belaka (Syaikh Ibnu Athoillah As-Sakandary).

Pesan rahasia keduabelas: Seseorang yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga (HR. At-Turmudzi dari Abu Hurairah, R.A).

Pesan rahasia ketigabelas: Kesungguhan dan ketekunan seseorang akan dapat mendekatkan segala sesuatu yang jauh. Dan dengan ketekunan itu juga dapat membuka segala pintu kebodohan yang tertutup (Imam Asy-Syafi’i).

Pesan rahasia keempatbelas: Saat Nabi Muhammad wafat, datanglah malaikat Jibril dan berkata, “Ibadah yang dilakukan karena takut akan api neraka dinilai setara dengan perak. Ibadah yang dilakukan karena keinginan untuk masuk surga dinilai setara dengan emas. Ibadah yang dilakukan karena kecintaan kepada Allah semata dinilai setara dengan permata atau intan. Sementara permata atau intan merupakan sesuatu yang bernilai paling tinggi.

Pesan rahasia kelimabelas: Seseorang yang memakan makanan yang haram maka hatinya akan petang dan ibadahnya ditolak selama empat puluh hari.

Pesan rahasia keenambelas: Kesibukan melakukan sesuatu yang tidak menjadi tujuan hakiki berarti berpaling dari sesuatu yang menjadi tujuan.
Pesan rahasia ketujuhbelas: Kelezatan rohani jauh lebih tinggi tingkatannya daripada kenikmatan duniawi.

Pesan rahasia kedelapanbelas: Ilmu itu laksana binatang buruan, sementara tulisan laksana talinya. Maka ikatlah binatang (ilmu) itu dengan tali yang kuat.

Pesan rahasia kesembilanbelas: Kebahagiaan bagi binatang adalah apabila ia mendapatkan makanan, minuman, dan tidur yang puas.

Pesan rahasia keduapuluh: Orang yang mampu menahan hawa nafsu dan kedagingannya akan mendapatkan imbalan berupa kedekatan dengan Allah.

Pesan rahasia keduapuluh satu: Orang cerdas itu adalah orang yang mampu menaklukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.

Pesan rahasia keduapuluh dua: Ilahi, sungguh buta mata hati yang tak dapat melihat pengawasanMu dan sungguh rugi seorang hamba yang tak dapat bagian dari rasa cintaMu (Ibnu Athoillah).
Pesan rahasia keduapuluh tiga: Allah selalu bersamaku, Allah selalu menyaksikanku, Allah selalu mengawasiku.

Malang, Juni 2015
Perjalanan Manusia
Oleh: M. Fahmi


Konon, filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Semua ilmu berawal dari filsafat dan akan berakhir menjadi seni. Filsafat memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat dirangkum berdasarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari jawab atas sebab musabab terjadinya gejala, fenomena, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, setiap orang adalah philosof, apalagi yang sempat mempertanyakan asal-usul dirinya, dari mana aku ini? mau ke mana aku pergi? untuk apa aku ada? mengapa alam ini diciptakan? berapa sebenarnya umur alam semesta raya ini? siapa Tuhan itu sebenarnya? dan lain sebagainya. Berbahagialah mereka yang mau merenungi semua ini dan berusaha mencari jawabnya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Atau apakah ada jawaban lain yang mendekati benar? Entahlah. Lalu, bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang membuat perjalanan ini bisa ada? Untuk apa perjalanan ini ada? Dari mana awal mula perjalanan ini? Sejak kapan kita memulai sebuah perjalanan? Apakah ada titik akhir dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan ini? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal sedemikian hingga kita tak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya kita cari dari perjalanan yang sedang kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami perjalanan agar kita menjadi manusia yang bijak? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?

Pertanyaan demi pertanyaan mengenai perjalanan begitu menggugah saya untuk lebih dalam memahami dan menguak interior semesta raya ini.  Konon, setiap manusia ditakdirkan menjadi pengembara dalam hidupnya yang tak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Ia berkelana menjelajah jagat raya dengan langkah dan imajinasinya hingga sampai pada batas ketakberhinggaan.

Konon juga, hidup ini tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Setiap orang di muka bumi ini memainkan peran sentral dalam sejarah dunia, tanpa ia menyadarinya. Mengenai tujuan dan pemilik arah dari sepanjang perjalanan, saya teringat beberapa firman Allah dalam Al-Quran. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah: 115).

...Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah: 142).

...Tuhan Yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal (QS. Asy-Syuaraa: 28)

“Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat (QS. Al-Maaarij: 40).
Dari kesamaan makna berbagai ayat tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah-lah pemilik arah timur dan barat. Maka setiap detik pencarian seorang pengembara bisa jadi merupakan momen perjumpaan dengan Allah yang sangat berharga.

Semua manusia pada hakikatnya hanif dan baik. Namun, dalam menempuh perjalanan mengarungi hidup di kehidupan ini ada berbagai warna alam yang mempengaruhinya, sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi. Manusia dinilai bukan dari seberapa lama ia melewati perjalanan, melainkan bagaimana ia melewati perjalanan. Keberanian yang kita harapkan dan kita junjung tinggi bukanlah keberanian untuk menjadi orang yang terhormat di sepanjang perjalanan ini, melainkan adalah bagaimana melewati perjalanan ini secara jantan. Jantan itu bukan terletak pada kekuatan, kekayaan, atau kemasyhuran, melainkan pada keberanian. Keberanian muncul karena adanya kejujuran, kebenaran, dan keikhlasan.

Manusia akan terus melewati semua perjalanan untuk mencari dan mencari. Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita sesungguhnya telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah Kebenaran. Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada Kebenaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan manusia, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan dapat mengantarkan perjalanan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah.

Hidup setelah mati merupakan proses perjalanan panjang menuju keabadian. Jangan sampai kita kembali kepada Allah dalam keadaan dimurkai. Jangan sampai manusia pergi dengan tidak membawa bekal. Berbahaya. Bisa kelaparan di tengah jalan itu. Dan, kelak manusia akan menangis dalam dua perkara: menangis bahagia atas jerih payah dan perjuangan dalam mencintai kebaikan selama hidup di dunia dan menangis sedih atas kebodohannya tidak menetapi agama Allah selama hidup di dunia. Barang siapa menanam kebaikan, maka ia akan memperoleh buah kebaikan. Barang siapa menanam keburukan, maka ia juga akan memperoleh buah keburukan.  Kehidupan itu seperti siklus memberi dan menerima. Hari ini kita memberi, esok kita akan menerima, dan akan selalu berjalan seperti itu. Peristiwa timbal balik dalam kehidupan akan selalu ada, sebab semua yang ada ini merupakan sunnatullah dan hukum alam yang terbantahkan.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (melakukan perjalanan) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaaq: 6).

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih dan kekal baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-Anaan: 32)

Malang, 21 September 2014

Qolbun Salim
Oleh: M. Fahmi

Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi gersang, segersang padang pasir yang tandus. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi beku, sebeku es di daerah kutub. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi kotor. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa sakit. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa menjadi batu. Tidak diragukan lagi, bahwa hati ibarat cermin, tempat segala bentuk dan rupa menjadi tampak di dalamnya. Dan, tidak diragukan lagi, bahwa cermin dapat berdebu dan hitam, sehingga ia tak lagi berfungsi sebagai cermin.

Berkaratnya hati disebabkan oleh dua perkara, yakni lalai dan dosa. Keduanya adalah penyakit yang membentuk noktah-noktah hitam di dalam hati. Ketika noktah tersebut semakin bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar di dalamnya sebagaimana adanya. Apabila hati telah menjadi hitam, maka pandangannya menjadi rusak, sehingga ia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Ia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Segala sesuatu tidak akan tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Kegelapan sebenarnya hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima. Di dalam kegelapan, orang tak mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari kegelapan, bersama kegelapan, dan menuju kegelapan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan dosa.
Sesuatu yang dapat membersihkannya juga ada dua perkara, yakni istighfar dan menghadirkan Allah di dalam hati. Setiap kali seseorang membaca istighfar dan berdzikir, maka akan ada cahaya putih di hatinya. Ketika cahaya putih itu semakin banyak, maka hati akan menjadi terang, sehingga jelaslah segala bentuk dan gambar kehidupan. Di dalam cahaya, orang akan mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari cahaya, bersama cahaya, dan menuju cahaya. Mengingat Allah dapat membersihkan segala karat hati, sehingga ia menjadi seperti cermin yang bersih. Orang yang senantiasa mengingat Allah di tengah-tengah orang-orang yang lalai mengingatNya seperti pohon hijau yang berada di tengah-tengah tanaman yang kering dan seperti rumah yang berpenghuni di antara reruntuhan rumah.

Mengingat Allah adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus damai bersamaNya. Mengingat Allah merupakan unsur terpenting dalam perjalanan manusia menuju al-Haq. Bahkan, ia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Tidak ada sesuatu setelah mengingat Allah. Semua perangai mulia dan terpuji akan selalu bermuara kepadanya dan bersumber darinya. Mengingat Allah adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menujuNya. Sungguh, ia adalah landasan bagi perjalanan itu sendiri. Tidak seorang pun dapat sampai kepadaNya, kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepadaNya. Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang yang telah sampai kepadaNya adalah terputus dari mengingatNya.

Dengan mengingat Allah, hati manusia akan menjadi bersih dan selamat (qolbun salim), sebab ia merupakan lembaran cahaya penghubung, tanda awal perjalanan yang benar, dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Orang yang hatinya selamat adalah mereka yang gemetar hatinya manakala menerima kebenaran dan sering menangis ketika mendengar nasihat orang bijak. Sebaliknya, orang yang hatinya hitam adalah mereka yang merasa diri paling benar, selalu berburuk-sangka, dan tertawa apabila diberi nasihat.

sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. QS. Al-Anfaal: 2.

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari (dimana) mereka dibangkitkan,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa. QS. Asy-Syuaraa: 87, 89-90.

(yaitu) surga ´Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan). QS. Thaahaa: 76.
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi buta. Tidak ada yang lebih mulia dari telinga, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi tuli. Tidak ada yang lebih mulia dari hati, maka jangan sampai lupa menyiramnya dengan air kebenaran, karena jika tidak, akan menyebabkan hati menjadi gersang.

Sekarang ini, banyak orang yang hatinya gersang, karena mungkin sedang musim kemarau ya, hehe. Malang saja yang dikenal kota hujan dalam dua bulan ini baru sekali turun hujan. Oh, kemarau, segeralah berlalu, agar kebenaran tidak terlanjur kaku menjadi batu! Dengan berbagai perkembangan teknologi, manusia sekarang lebih mengedepankan akal dan rasio daripada hal-hal yang berbau tahayul. Banyak yang tidak memercayai nasihat orang tua, para kyai, dan orang-orang shalih, padahal orang dahulu telah berfikir, menulis, dan mencari kebenaran dengan perjuangan keringat dan darah, hati para ulama terdahulu pun juah lebih bening dan bersih daripada orang-orang zaman sekarang. Tahukah kau? Kekayaan terbesar dalam hidup adalah keyakinan.

Maka temukan Allah dalam diri, dan diri dalam Allah. Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir, dan membaca Al-Quran. Kemanisannya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa saat itu hati sedang tertutup. Jangan sampai gelap menjadi jalan, karena masing-masing manusia kelak akan sendiri menghadap tuhannya.

Malang, 17.10.2014

Note: Diterbitkan dengan judul yang berbeda, pada buletin Al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang:

https://ppanwarulhuda.com/buletin-al-anwar/endapan-belajar/

Di Balik Usaha dan Takdir
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Dulu, saya pernah belajar ilmu Tasawuf di PP. Bumi Damai Al-Muhibbin Tambakberas pada setiap malam Selasa. Kitab yang dikaji adalah “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah As-Sakandary. Di sana—pada setiap malam Selasa—selalu ramai oleh masyarakat dari berbagai wilayah, dari berbagai golongan, dari berbagai etnis. Saya sangat menikmati pengajian tersebut, sebab Abah Jamal selalu memberikan pembelajaran yang benar-benar baru di mata saya.

Saya melihat, bahwa pada setiap kajian kitab-kitab tasawuf itu selalu cenderung  pada paham Jabariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Para Salik (penempuh jalan menuju Allah) dan Sufi, mereka tak pernah tertarik sedikit pun oleh gemilangnya dunia dan seisinya ini, sebab kebahagiaan mereka hanyalah bisa bersanding dengan kekasih sejati, yang memberinya kehidupan di waktu siang maupun malam. Usaha macam apa pun yang dilakukannya semata-mata lahir atas kehendak-Nya. Dan hanya Allah-lah yang mengatur segala kehidupannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Manusia banyak yang terbudak oleh ganasnya dunia. Barang siapa yang meninggalkan dunia maka dunia akan dengan sendirinya patuh padanya. Banyak cerita Sufi juga yang senada dengan paham Jabariyah. Hal-hal semacam ini mengajarkan kepasrahan total kepada Allah atas apa yang terjadi pada dirinya.

Namun seiring dengan berjalannya usia, saya memperoleh pemahaman baru lagi atas apa yang saya pahami selama ini, dan ini justru sangat bertentangan dengan apa yang pernah saya kaji di Pesantren. Bahwa hidup itu harus ada keseimbangan antara olah dzikir dan olah fikir. Bahwa Allah memang telah menentukan takdir setiap manusia di Lauh al-Mahdfudz. Tapi tidak berarti Allah menghendaki manusia ini jadi orang jahat, manusia ini jadi orang baik, tidak. Tidak sama sekali, Kawan. Jika saja seperti itu maka berarti Allah tidak adil, padahal sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Adil. Dalam Lauh al-Mahfudz itu Allah hanya menentukan mana jalan yang baik dan mana jalan yang tidak baik.

Manusia lantas diberi kebebasan memilih jalan. Dengan demikian berarti Allah adalah Dzat yang benar-benar Adil pada setiap makhluknya.
Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini hakikatnya hanif, suci, dan fitrah. Namun, dalam perjalanannya mengarungi samudera kehidupan ini ada banyak macam “warna” yang mempengaruhinya. Manusia memilih jalannya sendiri-sendiri sesuai apa yang diyakininya. Sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi.
Pemikiran Jabariyah berbanding terbalik dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang cenderung Qadariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas jerih payah dan usaha yang dilakukannya. Bahwa setiap manusia diberi kekuatan untuk berusaha. Inilah yang menjadikan orang Barat berkembang menjadi negara maju dan mengalahkan orang-orang Islam.

Umat Islam sekarang banyak yang terbelakang dan menjadi bangsa terjajah serta menjadi obyek dari keproduktifan dan kekreatifan umat lain karena pola pikirnya banyak yang terjebak ke dalam paham jabariyah dan fatalistik. Kita memerlukan wali dan dan para sufi yang terjun langsung ke medan juang, bukan wali dan sufi yang menghindar dari peperangan  dan menjadi pertapa di gunung. Kemiskinan, penyakit, dan kebodohan adalah musuh terbesar kita saat ini yang mesti diperangi.

Kita beramal dan beribadah bukanlah karena mengharapkan Surga atau karena takut masuk Neraka, namun semata-mata karena ikhlas, tunduk, patuh, dan cinta kepadaNya. Namun, cinta itu sendiri harus dimanifestasikan lewat perjuangan, kerja keras, dan harus ditebus dengan tetesan keringat, darah, dan air mata. Memang tidak ada kekuatan melainkan datangnya dari Allah, tapi untuk mengenal kekuatanNya yang sesungguhnya kita harus mengosongkan diri, hening-heneng-henong, bahkan keluar dari diri sendiri sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam alam makrifat dan tenang bersamaNya. Perjalanan itu harus dilalui lewat tangga syari’at, thoriqoh, hakikat, hingga akhirnya sampai pada tangga terakhir, yakni makrifat.

Nahdhotul ‘Ulama telah memberi pemahaman bahwa segala sesuatu harus disikapi dengan metode “mutawashith”, yakni tidak hemisfer kanan, juga tidak hemisfer kiri. Maka NU berada di tengah-tengah paham Jabariyah dan Qodaariyah. Ini bukan berarti NU tidak punya pandangan, tapi “di tengah-tengah” itu berarti bahwa ada saat dimana kita Jabariyah, dan ada saat di mana kita Qadariyah. Bahwa beribadahlah engkau seakan-akan maut selalu mengintai dan bekerjalah engkau seakan-akan hidup selama-lamanya!

Tuban, 18 Ramadhan 1435 H

Melihat Kebaikan dalam Segala Hal*)
Oleh: M. Fahmi

*) Diterbitkan juga di buletin Al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang: https://ppanwarulhuda.com/buletin-al-anwar/melihat-kebaikan-dalam-segala-hal/

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Pagi ini. Semesta masih bertasbih dengan bias birunya. Fajar yang purnama, betapa gagah menjemput segala pagi. Semburat fajar menjadi saksi perjalanan setiap manusia. Pagi-pagi begini, ada manusia yang berjalan kepada kebahagiaan. Ada pula yang berjalan kepada kebencian. Ah. Sepertinya, soal rasa, telah menjadi penyakit lama manusia. Belum juga tibakah saatnya manusia mengetahui, bahwa senyum dan do’a di pagi hari akan menentukan cuaca hari ini?

Ketahuilah. Angin, selamanya tak akan pernah tidur. Ia akan terus berhembus ke mana ia suka. Ialah yang pagi-pagi membelai setiap helai rambut di ubun-ubun manusia. Jelas saja, setiap manusia mempunyai hak sendiri-sendiri, untuk memilih isi ubun-ubunnya. Sehingga, menjadilah manusia itu sebagaimana ia menjadi. Angin pula yang tahu, apakah ubun-ubun manusia itu berisi embun ataukah api.]

Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Yang membuat segalanya menjadi gelap adalah diri kami sendiri. Pun, yang melahirkan cahaya sesungguhnya datang dari kami sendiri. Kehidupan zaman sekarang ini, tak seburuk yang kami sangka. Sebab kami bukanlah Tuhan, dan semua bukanlah urusan kami yang pada akhirnya membuat kami pusing. 

Kepada mereka yang hidupnya terseok-seok dan ragu tepat di persimpangan jalan. Kepada mereka yang selalu menolak taburan cahaya. Kepada mereka yang senantiasa menjauh dari rel kebenaran. Kepada mereka yang membuat mata kami perih. Mereka yang membuat telinga kami panas. Kepada mereka yang tak mengenal agama. Yang melakukan kerusakan. Yang melakukan kemungkaran. Yang menindas kami. Yang melecehkan agama kami. Yang semena-mena mencela kami. Kami tak perlu merisaukan mereka. Kami harus selalu berbaik sangka. Jangan sampai berburuk sangka menjadi kebiasaan yang menjamuri pikiran kami. Bahaya...! Bisa-bisa kalau sudah akut, nanti menjadi tumor ganas yang mengganggu sistem kerja otak kami. Kami harusnya selalu bergembira dan menerima dengan bahagia atas segala rencana-Nya. Menikmati segala yang datang kepada diri kami. Ketahuilah, bahwa emosi dan menyimpan dendam pun tidak baik buat kesehatan jiwa kami. Bukan berarti kami tidak peka terhadap kebenaran ataupun kemungkaran, bahkan dengan cara begini, kami akan bisa belajar untuk lebih waspada dan peka kembali, kepada apa yang telah, sedang, dan akan terjadi di dalam diri kami sendiri. Buang saja puisi-puisi kami yang bernada mengutuk keadaan. Yang berlagu menyombongkan diri. Yang berirama membesarkan diri. Yang bersyair merendahkan sesama. Malah sebaiknya, kami harus waspada kepada diri kami sendiri, kepada prasangka-prasangka kami sendiri. Atau jangan-jangan, kami tak pernah gelisah dan risau kepada diri kami sendiri.

Sebagai catatan awal, kalau semisal ada yang mengatakan kami adalah orang keren, hebat, pandai, kaya, alim, ataupun berasal dari keluarga raja, maka percayalah, bahwa itu semua hanyalah berita bohong belaka. Orang yang mengatakan seperti itu, kami pikir sangatlah berlebihan. Dan sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Mereka mungkin salah terka. Bahwa kami sesungguhnyalah cuma orang biasa, berasal dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa, bahwa kami hanyalah manusia yang sangat-sangat biasa—tak suka sama sekali dengan yang namanya pujian.

Melihat kebaikan dalam segala hal ini erat kaitannya dengan akhlak. Akhlak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia; merupakan hal yang paling penting dan menjadi tanda bahwa seseorang itu layak disebut sebagai manusia. Akhlak merupakan satu-satunya jalan yang dapat menghubungkan para penempuh jalan agar sampai kepada tempat yang menjadi tujuan sejati. Sepandai atau sebanyak apapun ilmu seseorang bila tidak memiliki akhlak, ia tidak akan pernah menemui apa sebetulnya yang ia cari di muka bumi ini. Hanya hampa yang ia jumpai, hari demi hari. Hatinya telah membeku, sebab ia menolak kehadiran nurani.

Betapapun kami, setidaknya tidak merasa lebih baik dari siapa pun yang pernah kami jumpai. Andaikan saja, kami bertemu dengan seseorang yang umurnya lebih muda daripada kami. Maka sikap atau lebih tepatnya pemikiran yang harus kami bangun dalam pikiran adalah bahwa, seburuk apapun ia pada kenyataannya tetap lebih buruk kami dari orang itu, sebab dosa yang ia perbuat masih lebih sedikit daripada tumpukan dosa yang sengaja kami simpan waktu demi waktu di sebuah lemari besar yang tak tersebutkan namanya. Atau, kalau saja kami bertemu dengan orang yang lebih tua umurnya dari kami, maka pada rasionalisasinya ia tetap lebih baik daripada kami, sebab ia telah lebih dahulu beramal, dan amalnya sudah dapat dipastikan lebih banyak daripada kami. Kalau kami bertemu dengan orang kafir, maka pemikiran yang dibangun adalah bahwa suatu saat ia bisa beriman, sehingga ia bertaubat kemudian diampunilah segala dosa-dosanya, persis seperti ketika bayi yang baru lahir. Pun tak bisa dipastikan bahwa selamanya kami akan beriman hingga akhir hayat. Begitulah, secara terus-menerus konsep itu kami tanamkan dalam pikiran, maka setidaknya kami telah berusaha untuk mengubur dalam-dalam kesombongan yang ada dalam diri. Merasa tidak lebih baik dari orang lain ini sebenarnya tidak hanya mencakup aspek amaliah saja, namun juga bersifat lebih komprehensif lagi.

Berburuk sangka akan berdampak pada munculnya rasa sombong, karena telah melihat keburukan orang lain sehingga menjadi lebih benar dari yang lain. Dalam suatu hadis disebutkan, tidaklah masuk Surga manusia yang di dalam hatinya terdapat sebiji (dzarroh) rasa sombong. Kami sering kali sebagai manusia yang statusnya adalah sebagai penguasa di tanah bumi, merasa sombong atau sengaja memunculkan ke-Aku-an dan ke-Ego-an yang sebetulnya hanyalah hak mutlak Tuhan. Betapa pun, “aku” dan “ego” adalah bagian dari diri manusia, tapi setidaknya kami berusaha untuk tidak membiarkannya menjadi liar. Malahan, sebuah penelitian kesehatan membuktikan, bahwa rasa amatlah berpengaruh kepada setiap datangnya penyakit. Bahwa penyakit itu datang bersamaan dengan kondisi jiwa yang rapuh, sedih, tidak senang, dan yang lebih banyak lagi, penyakit datang sebab sombong dan berburuk sangka. Hidup kok cuma dibuat untuk menganalisis keburukan setiap orang lain. Sehingga satu demi satu dari setiap orang tak pernah lepas dari pengamatan.

Mari, kita eja dengan hati yang merdeka, satu demi satu pernyataan yang kami kutip. Firman-Nya dalam QS. Al-Hujurat: 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Di dalam QS. Al-Baqarah: 216 pun dijelaskan, “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Atau tentang pesan Rasulullah, bahwa “Apabila seseorang mengkafirkan saudara sesamanya, maka pengkafiran itu pasti menimpa kepada salah satunya. Jika yang dikafirkan itu memang kafir, maka ia kafir. Jika yang dikafirkan tidak kafir, maka kekafiran itu menimpa kepada orang yang mengkafirkan.” HR. Imam Muslim. Juga, ungkapan Aa Gym dalam salah satu syairnya, “Jagalah hati, jangan kau kotori... Jagalah hati, cahaya Ilahi.”

Pun kami jadi teringat kata mutiara Gus Mus di dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Gus Ja’far”. Begini kira-kira, “Sebagai Kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke Surga kelak? Atau, apakah kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang sarat kemungkaran, yang kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu? Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Kenyataan mengenai perbedaan kebenaran dan kesalahan bisa dibilang begitu tipis. Keduanya berdekatan, sebab manusia sepenuhnya tak punya wewenang sedikit pun untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan. Siapa yang tahu kondisi hati, kecuali hanya Yang Menjadikan hati itu sendiri. Maka siapapun kami yang masih dalam tahapan syari’at, pastilah tak pernah mengetahui dengan persis dalam suatu peristiwa, mana yang sebetulnya benar dan mana yang salah. Namun, betapapun demikian. Allah telah memberi secercah petunjuk cahaya lewat Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau lewat kalam para ulama’, sehingga langkah kami di sepanjang perjalanan kami tidak begitu gelap. Dengan lentera Al-Qur’an dan As-Sunnah kami dapat berjalan di tengah kegelapan sekalipun. Betapa, kegelapan telah menutup hampir seluruh permukaan jalan bumi di zaman akhir ini. Tak ayal, hati manusia pun ikut tertutup oleh karena keadaan yang bermacam-macam sebab dan datangnya. Kami, sebagai sesama manusia tidak elok jika saling berburuk sangka. Siapakah yang paling benar di antara kami. Kami tidak tahu. Atau. Siapakah yang paling salah di antara kami. Kami tidak tahu. Kami mengerti, kami semua adalah saudara. Al-muslimu akhul muslim. Maka kami tak hendak berprasangka satu sama lain. Betapapun bejat tingkah kelakuan saudara kami, kami tetap menyayanginya. Kami hanya membenci perilakunya, bukan orangnya. Mari, meraba hati lagi. Sudahkah hati kami baik untuk sesama. Sudahkah kami melihat, bahwa mesti akan selalu ada kebaikan dalam segala hal.

Malang, 04 Maret 2016



Menjadi santri yang sesungguhnya.

http://rbi.or.id/pesantren-adalah-sebuah-jawaban/

Pesantren Adalah Sebuah Jawaban
Oleh: M. Fahmi

"...Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai..." QS. al-A'raf: 179.

"Beruntunglah mereka yang berada di pesantren yang kemudian menimba sekaligus mengamalkan ilmu agama. Jujur, saya saja harus nekat membuat pesantren di dalam kampus negeri. Padahal sebetulnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Tapi saya benar-benar nekat. Sebab jika tidak ada pesantrennya, maka mahasiswa tidak akan pernah bisa menjadi pintar. Menjadi pintar saja tidak bisa, apalagi menjadi baik. Baik itu kan berada di atasnya pintar," begitulah tutur Prof. H. Imam Suprayogo dalam mau'idhoh hasanahnya di acara al-Halaqah al-'Ilmiyyah yang diselenggarakan di Ponpes Anwarul Huda (24/2/17).

Mondok di pesantren itu penting. Dikatakan penting bukan sekadar basa-basi, tapi hal ini memang sebuah esensi. Tidak akan pernah bisa tercapai cita-cita lahirnya intelek yang ulama', apalagi ulama' yang intelek jika tidak mondok di pesantren. Malah akan menjadi tidak jelas: disebut intelek kok begitu, disebut ulama' kok ya begitu. Bahkan kadang-kadang memalukan. Ada kisah nyata yang menarik. Diceritakan ada seorang mahasiswa yang telah diwisuda dari sebuah kampus. Kabar lulusnya mahasiswa itu terdengar hingga ke telinga para tetangganya. Hingga masyarakat mengira bahwa mahasiswa tersebut sudah pintar, sudah siap terjun dan menerapkan ilmunya di dunia masyarakat. Disuruhnya mahasiswa tersebut untuk mengimami sholat di masjid, kemudian juga memimpin tahlil, memimpin do'a, istighosah, khotbah, dan acara keagamaan lainnya. Hal yang demikian kemudian malah menjadi beban bagi mahasiswa tersebut. Ijazah itu membebaninya, karena jika pergi ke mana saja ia menjadi bingung: akan disuruh ini, disuruh itu. Akhirnya ia datang ke kampus untuk mengembalikan ijazahnya. Sungguh cerita yang memalukan. Itulah sebabnya, seseorang tidak cukup hanya dengan menjadi mahasiswa saja. Harus sekaligus mondok di pesantren. Karena jika hanya mengandalkan kuliah, maka dapat dipastikan ia akan menjadi bingung, dan pada akhirnya ia tidak bisa berperan di masyarakat. Kuliah itu cuma ceramah teori dan bercerita saja. Berbeda dengan pesantren yang langsung dilatih dan berlatih.

Banyak sekolah-sekolah yang cenderung berlebih-lebihan, tidak sukses, dan akhirnya gagal. Bahkan sebetulnya, pendidikan di sekolah itu perlu dipertanyakan. Katanya, pendidikan itu mencetak akhlak yang bagus, memperbaiki karakter. Tapi nyatanya masih banyak orang yang bingung usai sekolah. Salah satu bukti bahwa akhlak dan karakter seseorang bagus ialah jujur. Kita melihat, bahwa jenjang pendidikan itu dimulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, S1, dan seterusnya. Sekarang dari semua jenjang tersebut, yang paling jujur lulusan apa? Pasti jawabannya adalah PAUD. TK masih terbilang jujur. SD juga masih jujur, tapi itu pun hanya kelas satu, kelas dua. Setelah kelas tiga dan seterusnya, maka ia sudah mulai tidak jujur: mulai dari menipu temannya, berbohong pada guru, dan lain sebagainya. Coba kita renungkan, SD dengan SMP lebih nakal mana? SMP dengan SMA lebih nakal mana? Dan seterusnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan ternyata para muridnya semakin nakal. Sehingga, pendidikan di sekolah itu sesungguhnya berusaha untuk menakalkan seseorang. Coba kita teliti lagi, ketika dilontarkan sebuah pertanyaan kepada anak PAUD dan TK, "siapa yang hari ini membawa uang saku lima ribu?" maka mereka menjawab, "saya, Bu Guluuu..!" Dan ketika dicek maka pasti benar: yang dibawa adalah uang lima ribu rupiah. Sementara jika diberikan tugas semisal proyek, katakanlah kepada mahasiswa S1, maka akan dipotong ini, dipotong itu, potong semua! Karena pendidikan yang selama ini diasah hanyalah otak, yang diajarkan di sekolah hanyalah perkara efektif-efisien, untung-rugi, menang-kalah. Akhirnya mereka banyak yang menjadi bingung. Ketika bingung, yang dipegang adalah kepalanya. Padahal sesungguhnya yang mestinya diperbaiki lebih dulu adalah bagian hati, bukan otak. Sehingga ketika ada masalah, yang dipegang adalah dadanya, "yang sabar ya, yang ikhlas ya, yang istiqomah ya." Oleh sebab itu, mengapa ketika sudah kuliah kok harus mondok, ya memang seharusnya mondok. Sebab hanya pesantrenlah yang bisa menjawab segala persoalan dan memperbaiki segala yang berurusan dengan hati. Pendidikan di sekolah itu tidak bisa memperbaiki akhlak dan karakter. Tidak bisa. Justru, akhlak dan karakter itu diperbaiki di dalam pesantren.

Pendidikan di sekolah menjadi tidak sukses bukan karena gurunya, bukan karena birokrasinya. Karena memang untuk mengurus manusia merupakan suatu urusan yang berat sekali. Itulah sebabnya mengapa seseorang harus ada pondok pesantren. Kata manusia sendiri disebutkan di dalam al-Qur'an sebagai al-insan, an-nas, dan al-basyar. Disebut al-insan 56 kali, disebut an-nas 179 kali. Al-Qur'an menyebut al-insan dengan konotasi yang selalu jelek, kecuali satu ayat, yaitu laqod kholaqnal insana fi ahsani taqwim. Tapi itu pun masih diteruskan dengan tsumma rodadnahu asfala safilin. Selebihnya itu, kata al-insan jelek semua. Innal insana lirobbihi lakanud, bahwa insan/ manusia kepada Tuhannya saja ingkar, apalagi kepada teman-temannya, kepada gurunya, kepada istrinya. Jadi sangat sulit mengurus manusia itu, innal insana layathgho, innal insana lafi khusrin, innal insana ladhulmun mubin, innal insana lakafurun mubin, dan lain sebagainya. Sehingga yang disebut insan-insan itu selalu kurang, jelek, kufur, dholim, rugi, berkeluh-kesah, ingkar, dan seterusnya. Nahasnya, ada konsep pendidikan di sekolah yang berusaha untuk mencetak "insan kamil". Padahal insan itu jelek, kamil berarti sempurna. Ada pula yang membuat slogan "memanusiakan manusia": manusia itu sudah jelek, lalu dijadikan lebih jelek lagi. Apa tidak malah lebih jelek? Memang sangat sulit segala yang berurusan dengan urusan manusia, apalagi mengurusnya. Karena itu tidak cukup seseorang belajar hanya lewat pendidikan di sekolah saja.

Kalau memang akhlak dan karakter manusia itu tidak bisa diperbaiki lewat pendidikan di sekolah, maka solusi untuk dapat membuat manusia menjadi baik adalah lewat mondok di pesantren. Namun, tidak semua yang menjadi santri itu benar-benar baik. Santri yang apa, santri yang bagaimana? Untuk menjadi baik, tidak berbuat keji dan mungkar di dalam al-Qur'an telah dijelaskan, innassholata tanha 'anil fakhsyai wal munkar. Arti lengkapnya di surat al-'Ankabuut ayat 45 yaitu, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." Sudah sangat jelas bukan ayat tersebut, bahwa ternyata untuk menjadi baik itu bukan melalui pendidikan di sekolah, tapi dengan melakukan sholat. Dan aktivitas sholat, terlebih shalat berjamaah itu selalu ditunaikan di pesantren. Di pesantren, para santri selalu diobrak-obrak untuk melakukan shalat berjamaah. Qad aflaha man tazakka wa dzakarosmarobbihi fasholla, wasta'inu bis shobri washsholah, robbij'alni muqimas sholati wa min dzurriyyati, fasholli lirobbika wanhar, wa aqimisholata lidzikri, dan lainnya sebagainya.

Kalau sholatnya sudah beres, maka sesungguhnya segalanya sudah selesai. Sehingga jika ada orang yang berbuat kemungkaran, jelas sholatnya tidak benar. Padahal banyak sekali orang yang sudah sholat tapi masih menipu, masih hasud, masih berbohong, iri, dengki, mengganggu orang lain, takabbur, dan lain sebagainya. Lalu apa yang salah? Yang salah itu ya kira-kira adalah sholatnya. Karena tidak semua sholat itu bisa membuat manusia menjadi baik. Di dalam al-Qur'an surah al-Mu'minun ayat 2 dijelaskan, Qad aflahal mu'minun, alladzinahum fi sholatihim khosyi'un. Permasalahannya, sholat yang khusu' itu sholat yang seperti apa dan bagaimana?

Di dalam al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 45-46 dijelaskan, "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." Ternyata sholat khusyu' adalah sholat yang dirinya yakin akan bertemu dengan Allah. Maka untuk dapat melakukan shalat khuyu', seseorang harus meyakini bahwa ia kelak akan bertemu dengan Allah. Kalau ketemu dengan Allah, apakah benar-benar ketemu? Kalau benar ketemu, shalat mestinya harus tahu: siapa yang shalat? Lalu juga, shalat itu di mana? Seringkali kita tidak melakukan permenungan di dalam sholat, sehingga lupa, siapa sesungguhnya yang sedang shalat, di mana shalat itu dilakukan, kepada siapa shalat itu dipersembahkan. Sebutlah seseorang bernama Wika. Wika ini kalau pergi sebentar itu berarti badannya tidur. Kalau badannya tidur, maka tangannya tidak bisa bergerak, matanya tidak bisa digunakan untuk melihat, telinganya pun tidak bisa digunakan untuk mendengar, dan lain sebagainya: karena Wikanya pergi. Apalagi kalau Wika itu sudah pulang, selama-lamanya. Maka seluruh anggota tubuhnya tidak bisa lagi digunakan untuk bergerak. Sehingga badannya Wika harus segera dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikirim ke kuburan. Karena Wikanya sudah roji'un. Jadi yang shalat itu adalah Wika, yang punya badan itu. Bukan tubuhnya Wika. Sering kali yang shalat itu tubuhnya Wika. Mulutnya Wika yang mengucap surah al-fatihah, tangannya Wika yang melakukan takbir, badannya yang melakukan shalat, sementara Wikanya sendiri pergi ke Mall, ke kampus, ke jalan, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya. Di situ lalu kemudian disebut shalat yang tidak khuyu'. Mestinya ketika Allahu akbar, maka Wikanya yang shalat, ditambah qoulinya, ditambah fi'linya. Hal inilah yang sesungguhnya shalat itu tidak mempengaruhi apa-apa, tidak dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.

Shalat itu tidak saja hanya menghadap ke baitullah, tapi hatinya juga harus ada di sana. Shalatnya di masjid, tapi hatinya di sana (baitullah). Orang-orang terkadang terlalu liberal, mengatakan bahwa semua tempat itu sama, semua waktu itu sama. Dan mahasiswa banyak yang lantas kemudian percaya begitu saja. Padahal semestinya kita harus berpikir terlebih dahulu: ketika dalam kaitannya ibadah apakah semua waktu dan tempat itu sama. Tentu tidak. Ibadah haji itu harus dilakukan di baitullah makkah, puasa ramadhan itu harus pada bulan ramadhan. Maka ruh, jiwa, dan hati manusia ketika shalat semestinya berada di baitullah, sebab hanya di sanalah tempat yang paling aman, sehingga shalatnya tidak lagi digoda dan diganggu oleh syaithan. Man dakholahu kana aminan. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mengetahui syaithan? Mudah sekali. Ketika kita becermin di depan kaca, maka yang ada di depan kita, yang sedang kita lihat itulah yang disebut syaithan. Yang ada di dalam kaca itulah yang disebut syaithan. Tapi itu kan gambar kita? Bukan. Bukan itu yang dimaksud. Tapi yang di dalam kaca itu: kalau dia itu suka hasud-menghasud, kalau ia suka dengki, riya', memfitnah, adu domba, suka berbuat keji, ngajinya tidak serius, maka itulah yang disebut syaithan.

Sholat sesungguhnya adalah berlatih pulang. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Bahwa segalanya itu adalah milik Allah, dan nanti kelak akan kembali kepada-Nya. Manusia itu terdiri dari jasmani dan rohani. Maka keduanya kelak akan kembali. Tanah ke tanah. Ruh ke Maha Ruh. Kalau kembalinya jasmani mungkin tidak akan pernah tersesat dalam berpulang, karena diantar oleh masyarakat ke kuburan. Persoalannya adalah kembalinya rohani kita ini. Rohani kita ini kembali ke mana? Tentu jawabannya adalah kepada Allah. Sholat itu sesungguhnya kembali. Kembali ke tempat asal: kepada-Nya. Apabila seseorang telah membiasakan untuk kembali kepada-Nya sebanyak lima kali sehari semalam, maka pada saat ia benar-benar pulang, maka ia akan tahu tempat kembali yang sesungguhnya. Berbeda dengan manusia yang jarang atau bahkan tidak pernah shalat, maka ruhnya akan menjadi bingung: mau kembali ke mana, karena tidak tahu tempat kembali. Akhirnya kemudian ruhnya gentayangan dan menjadi gendruwo. Itulah sebabnya, jika shalat seseorang sudah benar maka ia akan mengerti tempat kembali yang sesungguhnya.

Katanya, kalau ingin menjadi kaya, maka berdekat-dekatlah dengan orang kaya. Kalau ingin pintar dekat-dekatlah dengan orang pintar. Kalau ingin baik dekat-dekatlah dengan orang baik. Diceritakan bahwa jumlah Nabi itu ada 124.313, sementara jumlah Rasul ada 313. Ruh mereka berkumpul di baitullah. Maka jika ingin menjadi baik, ruh kita ketika shalat pun harus berada di baitullah sana, berkumpul bersama ruhnya para nabi dan Rasul, sehingga insya Allah ia akan menjadi baik. Demikianlah, ketika shalat itu telah benar, maka seseorang akan menjadi baik. Dan tempat pembinaan shalat, ilmu tentang shalat, berikut praktiknya ya hanya ada di pesantren. Pesantrenlah yang menjadi sebuah jawaban.
Ketika kita membaca surat al-Ma'un, tentu tidak lantas kemudian dimaknai secara tekstualnya saja, tapi juga harus melihat kontekstualnya, Aroaitalladzi yukadzzibu biddin, fadzalikalladzi yadu' 'ul yatim, wa la yakhuddu 'ala tho'amil miskin. Tapi mengapa kemudian diteruskan dengan fawailul lil mushollin, kok seperti ada bab baru. Maka mungkin, yatim dimaknai bukan secara biologisnya, tapi yatim yang dimaknai dengan: "ruh ini yatim" karena terpisah dengan bapaknya. Seseorang yang tidak mempunyai bapak itu kan yatim. Yang disebut Abul basyar adalah Nabi Adam, sementara abul arwah itu adalah Nur Nabi Muhammad SAW. Innalloha wa malaikatahu yusholluna 'alannabi. Maka jika seseorang tidak sholat, maka ini akan menyebabkan terputus, sehingga yatim: yatim di dalam hati, dan juga miskin di dalam hati. Ketika sudah yatim dan miskin hati, maka punya mata tapi tidak bisa digunakan untuk melihat, punya telinga tapi tidak bisa digunakan untuk mendengar, punya hati tapi tidak bisa digunakan untuk merasa. Sehingga ia terputus. Kalau cuma miskin harta itu tidak terlalu berbahaya, tapi kalau sudah miskin hati itu yang sangat berbahaya. Orang yang menipu, riya', dengki, maksiat ke diskotik malam, itu semua sesungguhnya miskin hati, bukan miskin harta. Harta mereka melimpah ruah, tapi hati mereka yang sesungguhnya yatim dan miskin.

Maka sesungguhnya yang menjadi persoalan adalah mengurus hati, kalau hati baik insya Allah semuanya menjadi baik, sehingga selesailah semuanya. Rasul pernah bersabda ketika usai perang badar bahwa, "kita baru selesai dari perang kecil, kita akan bersiap-siap dengan perang besar." Perang badar yang sedemikian dahsyatnya seperti itu kok kemudian dibilang oleh Rasul sebagai perang kecil. Lalu sahabat bertanya, "perang besar itu seperti apa ya Rasul?" Kemudian dikatakan oleh Rasul bahwa perang besar itu adalah perang melawan hawa nafsu diri sendiri. Itu lebih berat dari perang badar sekalipun. Karena hawa nafsu adalah musuh yang tak kasat mata, sementara musuh dalam perang badar terlihat oleh mata. Manusia memulai perang dengan hawa nafsu itu dimulai dari semenjak bangun dari tidur di pagi hari. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melakukan do'a qunut di waktu shalat shubuh. Kalau manusia merasa belum sanggup melawan dahsyatnya hawa nafsu ya seharusnya melakukan qunut. Manusia itu terdiri dari empat unsur: unsur api, unsur tanah, unsur air, dan unsur udara. Sifat manusia seperti angin: yang suka sikut sana sikut sini. Sifat manusia yang seperti api: yang suka memanas-manasi temannya, sifat manusia yang seperti air: yang suka mencari jalan entah itu benar atau salah, sifat tanah yang selalu tidak puas. Jadi, selama nafas masih berada di kandung badan manusia, maka sesungguhnya nafsu itu masih menyertainya.

Al-Qur'an adalah kebenaran. Kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran. Telah sedemikian banyak keajaiban yang telah ditunjukkan oleh keagungan kalam Allah itu. Sehingga yang menjadi garis besar dari awal hingga sampai pada paragraf terakhir ini ialah "perkara yang paling berat itu sesungguhnya adalah mengurus hati". Cara mengurus hati ialah dengan membimbing ruh dengan shalat yang benar. Shalat yang benar itu dilakukan dengan khuyu', yaitu shalatnya orang-orang yang meyakini, bahwa mereka kelak akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. Tentu untuk kembali kepada-Nya, manusia harus dalam keadaan dengan hati yang bersih seperti sedia kala ketika manusia dilahirkan, suci tak berdebu oleh dosa. Illa man atalloha bi qolbin salim, yaitu orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dan bersih. Ketika seseorang telah benar dalam melakukan shalat, maka seseorang akan menjadi baik, dan insya Allah hati akan menjadi damai bersama-Nya. Sementara, tempat pengajaran sekaligus pelatihan ilmu agama yang meliputi: pembinaan shalat, ilmu tentang shalat, berikut praktiknya ya hanya diajarkan di pesantren. Pesantrenlah yang menjadi jawaban.

Wallahu a'lam.

Malang, 03 Maret 2017

http://rbi.or.id/pesantren-adalah-sebuah-jawaban/

http://rbi.or.id/hamba-hamba-allah-yang-cerdas/

Hamba-Hamba Allah yang Cerdas
Oleh: M. Fahmi *)

“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik,” (QS. ar-Ra’d: 29).

Ada makna yang begitu dalam, perihal syair yang disebutkan pada muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi, "Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.” Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana. Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya. Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia. Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.

Siapakah hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana itu? Mereka adalah anak manusia yang berhasil menyelesaikan misinya yang agung sebagai hamba Tuhan dalam mengarungi dalamnya lautan dunia. Mereka menthalaq atau menceraikan dunia dari hatinya yang telah membelenggunya dalam menemukan kebenaran yang seutuhnya.

Sungguh, dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia. Dunia dengan segala kesusahan, kekecewaan, kepenatan, kemiskinan, kehinaan, keputusasaan, kelaparan, penipuan, kematian, bencana, keterlukaan, kegundahan, kengerian, kebosanan, kebinasaan, kesakitan, dan air mata, bukanlah tempat yang sesungguhnya bagi manusia. Lihatlah, manakala bayi, seorang anak manusia untuk pertama kali melihat keadaan dunia dan seisinya, hal yang pertama kali dilakukannya ialah menangis, betapa ngeri dan aneh ia berada di tempat bernama dunia itu. Demikian, ada tempat sejati yang telah dijanjikan dan disediakan bagi umat manusia. Tempat itu adalah Surga. Sebagaimana dikisahkan dalam penciptaan manusia yang pertama, yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa. Tempat manusia yang sebenarnya adalah Surga. Merupakan tanah kelahiran, kampung halaman, sekaligus tempat kembali bagi umat manusia yang sejati. Hanya karena tergoda tipu daya iblis, Nabi Adam dan Ibu Hawa terusir dari Surga dan diturunkan ke dunia yang penuh dengan kengerian. Hingga akhirnya, selanjutnya anak cucu Nabi Adam harus menjalani hidup di tempat yang tidak sebenarnya, dunia.

Sementara, banyak manusia yang tidak ingin kembali ke kampung halamannya yang dahulu. Mereka lebih memilih dunia sebagai tempatnya hidup dan bersenang-senang. Mereka menjadikan dunia sebagai satu-satunya tempat kehidupan dan mereka serasa tak ingin mati. Padahal hampir setiap hari kita mendengar, diumumkan pada setiap masjid, manusia demi manusia yang berpulang dan tak kembali lagi ke dunia, untuk melanjutkan perjalanannya yang maha panjang. Demikian, menunjukkan hidup manusia di dunia ini tidak selamanya, hanya sebatas tempat persinggahan sementara.

Sepintas mata, dunia memang begitu indah dan memesona. Namun, bagi hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana mereka mengerti, bahwa di dalamnya terdapat tipu muslihat dan fitnah yang begitu kejam. Sebagaimana kenikmatan buah khuldi yang di dalamnya terdapat tipu daya iblis untuk menggoda Nabi Adam dan Ibu Hawa. Manakala Nabi Adam dan Ibu Hawa memakan buah khuldi, seketika terbanglah pakaian surganya, hilanglah kemuliaannya, dikeluarkanlah mereka dari Surga, tempat manusia yang sejati.

Hamba-hamba Allah yang cerdas melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam. Ada manusia yang menyelamatkan diri dengan menggunakan perahu berupa iman dalam mengarungi lautan untuk sampai ke dermaga pulau Surga. Ada manusia yang tidak berbekal apa-apa, dan ia segera terciduk oleh ombak lautan yang deras. Ada manusia yang menggunakan perahu iman, namun tiba-tiba di tengah perjalanan ia menenggelamkan diri ke lautan karena tergoda intan dan permata yang hanya dunia semata. Waktunya telah habis hanya untuk mencari intan dan permata. Betapa, telah tenggelam di dalam bahtera lautan itu kebanyakan manusia yang terlupa akan tempat tujuan kembali, pulau Surga. Sedikit sekali manusia yang dengan sabar mendayung perahunya untuk bisa sampai ke dermaga Surga. Padahal, telah siapkan di sepanjang perjalanan manusia itu peta dan kompas kehidupan berupa firman Tuhan dan sabda Nabi Muhammad sebagai petunjuk jalan pulang. Namun, sebagian manusia mengabaikan dan lebih memilih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari keindahan permata yang ada di dalam lautan.
Disebutkan dalam al-Quran surat ar-Ra’d ayat 22, “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” Jelas sudah, hanya orang-orang yang sabar dalam menjalankan kebaikan dan menyelamatkan imannya dari derasnya arus gelombang dan dalamnya lautan dunia, mereka yang akan kelak sampai di tempat kesudahan (Surga) yang baik.

Lanjutan ayat tersebut, “(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.”
Hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana itu, disambut kedatangannya oleh malaikat penjaga Surga. Di akhirat nanti, ada dua jenis air mata. Pertama, air mata bahagia, kemudian sisanya adalah air mata kesedihan. Saat-saat demikian di depan pintu Surga, menjadi momen paling haru di akhirat, sebab manusia yang cerdas telah berhasil untuk bersabar di muka bumi, hanya untuk hari yang paling ditunggu-tunggu, yaitu berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla di Surga, Kekasih sejati yang tidak akan pernah ada tandingan lagi rasa nikmat ketika melihat-Nya. Para malaikat itu memberi hormat dan mengucapkan salam kepada mereka, “Salaamun 'alaikum, bimaa shobartum fani'ma 'uqbaddaar. Selamat, selamat, wahai manusia-manusia yang cerdas. Selamat atas kesabaranmu dalam menjalankan kebaikan dan menjauhi kemungkaran di muka bumi, selamat atas kesabaranmu di dalam mengarungi derasnya lautan dunia, sungguh Surga telah menanti kedatanganmu, merupakan tempat kesudahan yang sejati bagi manusia-manusia yang cerdas.”

“(sambil mengucapkan salam): "Salamun ´alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu,” (QS. ar-Ra’d: 24).

Sementara sisanya, manusia-manusia yang dungu, manusia-manusia yang bodoh, manusia yang tidak bersyukur dan menggunakan akalnya, mereka menangis karena tidak bisa pulang ke kampung halamannya. Ialah mereka yang merusak janjinya pada Tuhan setelah diikrarkan dengan teguh di alam ruh, mereka yang memutuskan segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah, dan mereka yang berbuat kerusakan. Perjanjian antara Allah dan anak manusia di alam ruh disebutkan dalam al-Quran surat al-A’raaf ayat 172, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap janji ini (keesaan Tuhan)"
Sedemikian, manusia-manusia yang tidak cerdas itu telah siapkan tempat kembali yang sebenarnya pula, Neraka. Itulah sebagai balasan atas kegagalan menyelesaikan misinya yang agung sebagai seorang anak manusia dalam mengarungi lautan dunia.

Disebutkan dalam surat ar-Ra’d ayat 25, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”

Lanjutan ayat tersebut, “...mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”

Demikian, semoga kita tergolong sebagai hamba-hamba yang cerdas, yang tidak latah dan silau hanya dengan keindahan dan gemerlap dunia yang menipu. Akhirnya, hanya dengan bersabar dalam menanam kebaikan dan menepis segala kemungkaran, berpegang teguh pada agama Allah, dan selalu mengingat-Nya yang dapat menyelamatkan iman kita dari deras dan dalamnya lautan dunia. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram,” (QS. ar-Ra’d: 28).

Bumi damai PPAH, 27 Oktober 2017.

*) Penulis adalah staff redaksi buletin al-Anwar sekaligus santri PP. Anwarul Huda Malang.

http://rbi.or.id/hamba-hamba-allah-yang-cerdas/

 Ini, Tentang Sebuah Janji
Oleh: M. Fahmi

Pernah baca buku “The Secret” karya R. Bayrne? Buku itu mega best seller dunia, mampu menginspirasi serta mengevolusi pemikiran jutaan umat manusia. Di dalamnya ada rahasia-rahasia hidup yang dijalankan Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi lain serta tokoh-tokoh terkenal dunia semisal Albert Einstein dan orang-orang sukses lainnya. Di dalam buku itu disebutkan, “kita adalah apa yang kita pikirkan. Pikiran adalah energi paling dahsyat yang cepat atau lambat akan mewujud. Keberadaan pikiran adalah sesuatu yang tidak dapat disebut, namun nyata adanya.”

Kita harus berhati-hati dengan pikiran kita, sebab pikiran itu suatu saat akan mewujud. Kita hari ini—disadari atau tidak—ternyata merupakan perwujudan dari hasil pikiran kita di masa lalu yang telah mengendap begitu lama. Pikiran merupakan sebuah energi yang sudah terlanjur mengada dan tidak akan pernah mati; sekali kita lesatkan maka ia bagai anak panah yang  meluncur menuju sasarannya dan akan terus mengada dalam pengembaraannya yang kekal, hingga menemukan perwujudannya yang asli.

Segala hal yang kita pikirkan dan lakukan tak ubahnya sebuah aksi. Sedangkan akibat darinya dapat kita umpamakan sebuah reaksi. Semesta pun merespon semua yang kita lakukan. Hukum aksi-reaksi dan ketertarikan akan selalu berlaku pada apa pun yang kita kerjakan.  

Dengan demikian, sukses adalah sebuah pilihan, Kawan. Jika kita berpikir dan melakukan segala sesuatu untuk menuju kesuksesan, maka jalan itu pasti ada. Sukses merupakan sebuah keharusan! Orang hidup harus meraih kesuksesan. Sukses merupakan titik keberhasilan yang tidak pernah terpuaskan karena tidak ada titik akhirnya. 

Kawan, segala rintangan dalam perjalanan hidup hanyalah tikungan. Bukan jalan buntu. Keberhasilan sejati bukan berarti kesuksesan tanpa menemui kegagalan. Keberhasilan sejati didapat apabila kita kembali bangkit setiap gagal. Setiap kegagalan sejatinya mengandung benih kesuksesan. Thomas Alfa. E berkali-kali mengalami kegagalan. Tetapi ia tetap maju dan berhasil menemukan lampu pijar kehidupan. Orang bahagia adalah mereka yang mengemas kegagalan menjadi tenaga kesuksesan. 

Kawan, hidup yang indah bukanlah hidup yang tanpa rintangan, tantangan, dan hambatan. Hidup yang indah bukanlah hidup yang tanpa cobaan dan ujian. Tetapi sesungguhnya hidup yang indah adalah hidup yang dibumbui rintangan, cobaan, dan ujian serta kita mampu untuk mengatasinya, sehingga tercipta sebuah keberhasilan. 

Sukses paling cemerlang adalah sukses yang dicapai oleh orang-orang yang mampu menganalisis sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Mereka menarik pelajaran-pelajaran paling bermanfaat darinya. 

Memeriksa sebab-sebab kegagalan itu sendiri akan membawa seseorang mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan bagaimana menyelesaikannya. Ia akan membuka ufuk, di mana jalan menuju kemenangan nampak jelas. Dengan cara ini, orang bisa menggunakan sumber daya pikiran dan energinya serta mengubah seluruh situasi dengan cara yang luar biasa. 

Memang, tidak selamanya harga diri diukur oleh materi, tapi kemiskinan bukanlah cita-cita kita dan bukan pula kehendak setiap orang. Untuk mencapai kesuksesan, seseorang harus bekerja seperti mesin, tanpa harus menjadi mesin.  Hanya ada satu jalan untuk bisa maju: melangkah ke depan. 

Katakanlah dengan lantang, “selamat datang masa depan!” Maka kita akan memperoleh energi yang tak ada hingga. Dan apa yang saya tulis ini adalah tentang sebuah janji. Janji merupakan komitmen pribadi antara tekad dan konsekuensi yang saling mengikat, diikrarkan penuh rasa tanggung jawab. Oleh sebab itu, saya ingin berjanji, “untuk urusan cinta, saya boleh gagal sekarang, tapi STUDI dan KARIRku TIDAK ADA KATA GAGAL, karena SUKSES akan mengundang CINTA yang lebih berkelas…!  Ahay J 

Itulah janji dan ikrarku, Kawan. Untuk sekarang, persetan dengan segala kerinduan. Aku harus membunuh dan mengubur dalam-dalam rasa rindu, sebab cinta (untuk saat ini) bagiku adalah pembodohan! Dan aku ingin melawan pembodohan itu dengan menulis, meng-iqro’i hidup, dan belajar. Apa-apa yang saya tulis ini semata-mata hanya untuk mengingatkan diri saya sendiri. Tapi ilmu itu tak akan pernah memberi faidah manakala disimpan sendiri. Bukankah begitu, Kawan? 

Hidup ini tidak bisa ditimbang dengan perasaan, Kawan. Mengapa? Sebab dengan pertimbangan perasaan, kita hanya akan dibawa hanyut dan larut dalam kesedihan, yang akhirnya menghancurkan diri sendiri dalam penderitaan. Perasaan akan menghancurkan energi dari semua pikiran yang telah kita bangun. Yakin, itu…! 

Studi dan karir adalah dua hal yang penting dalam hidup ini. Cinta akan datang dengan sendirinya pada saat di mana ia harus datang. Bila kita mampu meraih dua hal ini dengan hasil yang gemilang, maka kita akan memperoleh cinta yang berkelas tinggi, bukan cinta yang diperoleh secara cuma-cuma. Enyahkanlah perilaku galau, malas, dan melakukan sesuatu yang tak ada manfaatnya. Jadilah orang yang kuat, tangguh, dan tidak gampang cengeng. Belajar dan terus belajar adalah jalan menuju ruang kesuksesan. Fokuskan niat dan tujuan kita pada impian dan sambutlah masa depan…! 

Kawan, hidup jangan takut bermimpi. Bermimpilah sebanyak-banyaknya, sebebas-bebasnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, dan fokuskan pikiran kita pada mimpi itu, cepat atau lambat mimpi itu akan segera mewujud, sebab manusia adalah produk dari pikiran-pikirannya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi manusia selama kemungkinan itu masih dalam batas kemanusiaannya. Manusia adalah makhluk yang paling dicintai dan disayangi oleh Allah, dan Allah selalu mengabulkan dan memberi yang terbaik kepada makhluk yang dicintaiNya ini, selama manusia tidak menyekutukanNya. 

Namun demikian, Allah tidak pernah menjanjikan bahwa langit akan selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Namun ketahuilah, bahwa Ia selalu memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap do’a.  Hidup bukanlah suatu tujuan, melainkan haya sebatas jalan, dan dunia hanyalah hampiran belaka. Satu hal yang membuat kita bahagia adalah cinta dan kasih sayang. Satu hal yang membuat kita dewasa adalah masalah. Satu hal yang membuat kita hancur adalah putus asa. Satu hal yang membuat kita maju adalah usaha. Itu yang harus selalu kita ingat! 

Barangkali kita sudah lupa bagaimana awalnya sehingga saat ini kita bisa melangkah dengan kedua kaki. Ternyata dulu, melangkah itu sangat sulit dan kita pun jatuh. Kita menangis tetapi herannya setelah reda kita kembali mencoba melangkah lagi. Berkali-kali kita jatuh dan tidak juga jera. Sampai akhirnya pun kita berhasil melangkah. Demikianlah hingga kita bisa berdiri, berjalan, dan berlari. Bayangkan apa jadinya jika saat bayi dulu kita sudah mengenal kata menyerah dan berhenti berusaha pada saat kegagalan kita yang pertama? Tentunya kita tidak akan bisa berdiri. Kalau dulu kita sanggup menjadi sosok yang tangguh lalu ke manakah keberanian itu sekarang? 

Dan kita masih mengingat peristiwa hujan. Hujan, selalu mengajarkan kita di setiap tetesnya, kalau ‘jatuh’ itu sebenarnya tidak sakit. Tidak ada manusia yang tidak pernah jatuh, pun tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah. Jatuh untuk bangkit dan kemudian berjuang lebih giat lagi mungkin adalah satu-satunya obat penawar dalam meraih kemenangan berikutnya daripada putus asa dan kemudian mengutuk keadaan. Tapi kesedihan akibat dari jatuh itu akan tetap ada meskipun sifatnya sementara. Hanya mental sang juara yang bisa mengenyahkannya dalam seketika. 

Kawan, hidup hanyalah sebuah permainan. Seseorang yang tangguh dan mampu menyelesaikan semua permainan, maka ia akan menjadi Sang Juara. Banyak orang berkata bahwa air itu mengalir ke bawah, namun sesungguhnya ia sedang menuju puncak ketinggian. Di pusat panas yang sangat panas justru di situ ada titik dingin paling dingin. Ini juga adalah sebuah permainan yang kadang sulit kita pahami, tapi benar adanya, karena ia telah mengada dalam keberadaannya. 

Kawan, apa-apa yang kita perbuat untuk mensukseskan permainan hidup ini adalah perlawanan nyata. Biarkan ada pertumpahan darah dalam kata. Sejarah akan mencatat bahwa pena pun bisa lebih kuat dan tangguh dari pedang bermata buta. Jasad boleh rapuh dan mengabu ditelan bumi, namun apa-apa yang kita guratkan lewat pena akan menjadi nafas yang membaluri dalam kehidupan yang abadi, kelak. 

Memang, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Kawan. Manusia adalah tempat salah dan lupa. Tapi ketahuilah, bahwa kesempurnaan manusia itu ada dalam ketidaksempurnaannya. Indah, bukan? Justru dari kesalahan itulah kita dapat belajar untuk menuju kebenaran. Tolong koreksi pula kalau saya membuat kesalahan dalam menulis. Menulis, bagiku ya tidak ada bedanya dengan kebutuhan sholat, makan, minum, dan sebagainya. Hanya saja, dengan tulisan kemungkinan untuk menggapai makna hidup yang lebih tinggi bisa lebih terwakili. 

Namun demikian, kita jangan sampai melupakan maqolah, man qola bi aqilihi fahuwa dolun”, yang artinya: Barang siapa yang berfatwa atau berfikir dengan akalnya (saja) maka sesungguhnya ia tersesat. 

Pastikan ini adalah kebenaran yang kita cari berabad lamanya dalam keletihan, dan segera hilangkanlah segala keraguan. 

Semoga kita selalu diberi dan ditunjukkan yang terbaik dalam hidup dalam memerankan drama kehidupan ini. Teruslah merangkai cita dan cinta. Hidupkan hidupmu, sujudkan dzikirmu, iqro’i semua karya agungNya dalam alam raya yang Maha Akbar ini. Dan semoga hidayah, inayah, maghfiroh, dan keberkahan hidup dari Allah selalu dilimpahkan kepada kita, sehingga keselamatan, kesejahteraan, dan kesuksesan menyertai langkah kita. Kejarlah cita-cita, raih dan wujudkan mimpi-mimpi kita. Jalan masih panjang, Kawan. Harapan kita masih terbentang sangat luas, seluas bentangan langit dan hamparan samudra. Belajarlah dengan tenang. Selesaikan dulu studimu. Mantapkan cita-citamu…! 

Salam sukses selalu, Kawanku. Teruslah berkaya untuk sahabat, untuk bangsa, untuk cita, untuk cinta!

M. Fahmi
Tuban, 17 Ramadhan 1435 H