Aku Tak Suka Kembang Api
Oleh: M. Fahmi

Kau tahu. Aku tak suka kembang api!
Nyalakan kembang api, laiknya membakar uang saja
Betapa pun, ia hanyalah sesosok benda
Dilahirkan cuma untuk kesuksesan dan kegembiraan temporal
Lihatlah! Ia mudah melejit, berusaha menyaingi langit paling tinggi
Namun, ia lupa siapa sesungguhnya dirinya
Sesaat kemudian, jatuhlah ia dihempas angin, tersungkur ke bumi paling rendah
Keindahan, kemegahan, serta kegemilangannya pun sirna. Lenyap!
Ia kehilangan cahaya, yang tersisa hanyalah selongsong kosong: abu hitam tak bermakna
Redup selama-lamanya! Mungkin, itu buah keangkuhan dan kesombongan
Padahal, langit tak pernah berkata kalau dirinya tinggi
Langit akan tetap tinggi, meski tak ada pengakuan dari yang lain
Betapa pun, setinggi apa saja puncak yang kita daki, tundukan kepala
Kembalilah pada dan bersama manusia-manusia
Apakah yang patut kita banggakan, kalau cuma keindahan sementara. Fatamorgana!
Dunia dan segala kemewahannya pun begitu, Kawan
Ia kadang mudah datang, tapi mudah pula pergi
Itulah sebabnya, aku tak suka kembang api
Aku hanya ingin mencari Cahaya Abadi
Yang tak pernah lekang oleh hempasan ruang dan waktu

Malang, 08 Januari 2016
Memoar Kambang Putih
Oleh: M. Fahmi

Kambang Putih
kota bak puspa itu, nan elok merekah
nan anggun sumringah
semilir wanginya, diterpa seribu angin laut utara
hingga melekat di segala layar-layar niaga
maka terdengarlah suaranya yang penuh gemuruh,
membahana, menggelegar, menggetarkan bumi Ronggolawe
tak ayal, rakyat Kambang Putih turun bersorak-sorai
di tanah-tanah lapang, di sepanjang jalan
menjemput gempita budaya

Guratan jejak sejarah, terpancar di wajah bumi wali
begitu setia menyangga petuah wali
deburnya menaungi, gelombangnya menghidupi,
kecipaknya mendamaikan
lihatlah, memoar yang hanya berdenyut di jantungnya:
tentang makam para wali, tentang bukit-bukit kapur,
tentang seribu goa, sumber air panas, kerajinan batik gedog, air terjun Nglirip,
terminal terapung, klenteng Kwan Sing Bio, siwalan, juga legen
atau tentang warisan kebudayaan: budaya Sandur, seni reog, haul Sunan Bonang,
adat shalawat Tombo Ati, budaya tayuban, peringatan ulang tahun klentang KSB,
kepercayaan sedekah bumi, atau tentang manganan
semua adalah milik Kambang Putih
jangan sampai usang, wasiat sejarah yang agung itu

Tapi katanya, kini Kambang Putih
mulai tergerus oleh arus badai
yang terpaannya menghantam kesadaran hari,
melenakan rakyat
hingga hilang rasa cinta hasil rasa, karsa, cipta kakek-neneknya
Kambang Putih, kini tanahnya bersalin rupa
menjadi gedung-gedung pencakar langit
pabrik-pabrik, mal-mal, sektor industri, pusat hiburan
hutan pun jadi hutan beton, sungai pun mulai kering kerontang
mungkin, hanya batu Tiban dan kuda sembrani yang masih tersisa di museum
zaman dan budaya modern, katanya
gaun warisan pun lupa tak dikenakan lagi, hingga tak tahunya
telah dicuri bangsa lain,
senyum jelata yang dirampas
tersedu, menangisi romantika sejarah
kota itu, teramat tua untuk diukur angka-angka
tak ada yang lebih tua dari kota itu, selain mitos yang menghuninya
tapi kini, mitos itu hanyalah mitos yang bahkan tak menyisakan petilasan budaya
kotaku tak seperti dulu

Tiga atau empat puluh tahun nanti
kota itu mungkin makin tua
dan aku, entah masih atau tiada
kuharap, ia akan terus belajar
pada kerasnya samudera zaman kehidupan, meski
dengan balutan luka yang menorehkan luka-luka sejarah:
semua sudah sepatutnya

Apakabarmu, Kambang Putih?
masihkah kau sejuk seperti dahulu kala
saat di mana para pejuang memerdekakan budayanya?
ataukah kini telah berubah, akibat hempasan pergolakan musim?
entahlah, semoga saja
berita yang berisi “katanya dan katanya” itu tidak benar
ah, hampir enam tahun sudah
kuhabiskan waktu di tanah seberang
hingga hampir aku melupakanmu, Kambang Putihku
sungguh, aku merindukanmu..!

Malang, 18 Mei 2016

Judulnya Lupa
Oleh: M. Fahmi

Lihatlah,
masa kini begitu indah, bukan?
Tapi ingatkah,
bahwa kita sedang terlupa?

Mungkin, kita terlalu lama tenggelam
di masa yang kini
hingga lupa
bagaimana harus merangkak naik
menuju keutuhan yang sempurna: tempat paling tinggi

Mungkin, kita terlalu asyik bermain-main
di masa yang kini
hingga lupa
pada kenangan-kenangan purba
yang menuntun kita, di sepanjang perjalanan

Mungkin, kita terlalu terlena
pada zaman yang kini
hingga lupa
bagamana dahulu
dengan tabah Sang Guru mengajarkan
pesan demi pesan rahasia Kehidupan

Mungkin, kita terlalu terbuai
di zaman yang tak punya hati
hingga lupa
pada segala yang diajarkan Kehidupan

Mungkin, kita terlalu jauh pergi
di peradaban yang entah mana
hingga lupa
bagaimana cara pulang
ke rumah, yang dahulu telah kita rajut

Mungkin, kita terlalu serakah melangkah
hingga lupa
bagamana cara menginjak bumi yang benar

Mungkin, kita terlalu munafik melihat
hingga lupa
bagaimana cara menatap langit yang jujur

Mungkin, kita terlalu sibuk
Mengatur seluruh isi bumi: rumah mimpi
hingga lupa
pada pagi—yang bernama ajal—
yang pasti datang.
Lalu Ia mengirim firman,
“...ketika engkau Kubangunkan esok pagi,
sapalah Aku
dengan sebaris puisi...”

Itulah sebabnya,
kutulis “sebaris” puisi ini.
Barangkali
—atau mungkin,—
ini hanyalah puisi tentang lupa
yang mengingatkan

Mari kita mengingat kembali.

Mungkin, kita terlalu keterlaluan
hingga terlalu
kurang waspada
pada segala waktu

Mungkin, kita terlalu buta
hingga ayat-ayatNya
tak mampu kita baca

Mungkin, kita terlalu tuli
hingga firmanNya
tak lagi kita dengar

Mungkin, karena hilang ingatan
kita melupakan segalanya
tentang bagaimana cara
menyapaNya
dengan cinta yang setara dengan cintaNya

Apakah kita memandang
bahwa kita telah gila?
yang hanya sekadar mempersoalkan
tentang lupa atau ingat,
bahwa kita terlalu berat menafsir
setiap detik masa
di Kehidupan?
Tidak, kita salah terka.
kita tidak sedang gila,
juga tidak sedang menggurui
dengan kata.
kita hanya sekadar memberi
kepada kita
yang membutuhkan.
dan hanya ini
yang bisa kita berikan
kepada kita yang—mungkin—sedang lupa

Mungkin, kita terlalu lupa
di masa yang lupa
hingga tak lagi dapat mengingat
bagaimana dahulu
kita senantiasa ingat, pada Yang tak pernah lupa

Mungkin, kita terlalu lalai
di sepanjang waktu
hingga lupa, lupa, dan lupa
menjamuri seluruh waktu

Sudah ingatkah kita? Ataukah masih terlalu lupa?
Atau jangan-jangan pura-pura lupa?
Cobalah ingat-ingat kembali
ingatan-ingatan itu
ke mana perginya?

Ah, barangkali
kita juga lupa judulnya
ataukah memang judulnya lupa?
Tentang lupa-lupa itu semua,
lupakan!
dan semoga
lupa hanya ada
di negeri mimpi


Malang, 05.02.2015
Em Ef

Pernyataan (7)
Oleh: M. Fahmi

hitam putih mengabu dalam nurani
merabunkan penglihatan hati
di sepanjang perjalanan hari..

aku, manusia pencari firmanMu
izinkan aku
menemukanMu
dalam pengembaraan panjang,
menuju keabadian..

selarik cahaya akhirnya tiba
menyapa rinduku;
menyibak sekat-sekat rimba cakrawala jiwa,
..ragu merayap yakin

kini kusadari, hanya Engkau
tempat sejati bersandar
selamanya..
sebab, bahagiaku hanyalah bersamaMu

.sementara Engkau selalu berfirman
di dalam hati
hingga, kalbuku semakin lapang
akan bentangan ketakberhingganya firmanMu
yang haq nyatanya

kan kugenggam erat-erat janji firmanMu
kubawa berlari, berlari
dan berlari..

betapa pun
di sini,
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari kembara cintaku!

Malang, 11 September 2014
Perjalanan Manusia
Oleh: M. Fahmi


Konon, filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Semua ilmu berawal dari filsafat dan akan berakhir menjadi seni. Filsafat memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat dirangkum berdasarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari jawab atas sebab musabab terjadinya gejala, fenomena, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, setiap orang adalah philosof, apalagi yang sempat mempertanyakan asal-usul dirinya, dari mana aku ini? mau ke mana aku pergi? untuk apa aku ada? mengapa alam ini diciptakan? berapa sebenarnya umur alam semesta raya ini? siapa Tuhan itu sebenarnya? dan lain sebagainya. Berbahagialah mereka yang mau merenungi semua ini dan berusaha mencari jawabnya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Atau apakah ada jawaban lain yang mendekati benar? Entahlah. Lalu, bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang membuat perjalanan ini bisa ada? Untuk apa perjalanan ini ada? Dari mana awal mula perjalanan ini? Sejak kapan kita memulai sebuah perjalanan? Apakah ada titik akhir dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan ini? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal sedemikian hingga kita tak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya kita cari dari perjalanan yang sedang kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami perjalanan agar kita menjadi manusia yang bijak? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?

Pertanyaan demi pertanyaan mengenai perjalanan begitu menggugah saya untuk lebih dalam memahami dan menguak interior semesta raya ini.  Konon, setiap manusia ditakdirkan menjadi pengembara dalam hidupnya yang tak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Ia berkelana menjelajah jagat raya dengan langkah dan imajinasinya hingga sampai pada batas ketakberhinggaan.

Konon juga, hidup ini tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Setiap orang di muka bumi ini memainkan peran sentral dalam sejarah dunia, tanpa ia menyadarinya. Mengenai tujuan dan pemilik arah dari sepanjang perjalanan, saya teringat beberapa firman Allah dalam Al-Quran. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah: 115).

...Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah: 142).

...Tuhan Yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal (QS. Asy-Syuaraa: 28)

“Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat (QS. Al-Maaarij: 40).
Dari kesamaan makna berbagai ayat tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah-lah pemilik arah timur dan barat. Maka setiap detik pencarian seorang pengembara bisa jadi merupakan momen perjumpaan dengan Allah yang sangat berharga.

Semua manusia pada hakikatnya hanif dan baik. Namun, dalam menempuh perjalanan mengarungi hidup di kehidupan ini ada berbagai warna alam yang mempengaruhinya, sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi. Manusia dinilai bukan dari seberapa lama ia melewati perjalanan, melainkan bagaimana ia melewati perjalanan. Keberanian yang kita harapkan dan kita junjung tinggi bukanlah keberanian untuk menjadi orang yang terhormat di sepanjang perjalanan ini, melainkan adalah bagaimana melewati perjalanan ini secara jantan. Jantan itu bukan terletak pada kekuatan, kekayaan, atau kemasyhuran, melainkan pada keberanian. Keberanian muncul karena adanya kejujuran, kebenaran, dan keikhlasan.

Manusia akan terus melewati semua perjalanan untuk mencari dan mencari. Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita sesungguhnya telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah Kebenaran. Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada Kebenaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan manusia, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan dapat mengantarkan perjalanan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah.

Hidup setelah mati merupakan proses perjalanan panjang menuju keabadian. Jangan sampai kita kembali kepada Allah dalam keadaan dimurkai. Jangan sampai manusia pergi dengan tidak membawa bekal. Berbahaya. Bisa kelaparan di tengah jalan itu. Dan, kelak manusia akan menangis dalam dua perkara: menangis bahagia atas jerih payah dan perjuangan dalam mencintai kebaikan selama hidup di dunia dan menangis sedih atas kebodohannya tidak menetapi agama Allah selama hidup di dunia. Barang siapa menanam kebaikan, maka ia akan memperoleh buah kebaikan. Barang siapa menanam keburukan, maka ia juga akan memperoleh buah keburukan.  Kehidupan itu seperti siklus memberi dan menerima. Hari ini kita memberi, esok kita akan menerima, dan akan selalu berjalan seperti itu. Peristiwa timbal balik dalam kehidupan akan selalu ada, sebab semua yang ada ini merupakan sunnatullah dan hukum alam yang terbantahkan.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (melakukan perjalanan) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaaq: 6).

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih dan kekal baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-Anaan: 32)

Malang, 21 September 2014

Qolbun Salim
Oleh: M. Fahmi

Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi gersang, segersang padang pasir yang tandus. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi beku, sebeku es di daerah kutub. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi kotor. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa sakit. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa menjadi batu. Tidak diragukan lagi, bahwa hati ibarat cermin, tempat segala bentuk dan rupa menjadi tampak di dalamnya. Dan, tidak diragukan lagi, bahwa cermin dapat berdebu dan hitam, sehingga ia tak lagi berfungsi sebagai cermin.

Berkaratnya hati disebabkan oleh dua perkara, yakni lalai dan dosa. Keduanya adalah penyakit yang membentuk noktah-noktah hitam di dalam hati. Ketika noktah tersebut semakin bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar di dalamnya sebagaimana adanya. Apabila hati telah menjadi hitam, maka pandangannya menjadi rusak, sehingga ia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Ia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Segala sesuatu tidak akan tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Kegelapan sebenarnya hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima. Di dalam kegelapan, orang tak mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari kegelapan, bersama kegelapan, dan menuju kegelapan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan dosa.
Sesuatu yang dapat membersihkannya juga ada dua perkara, yakni istighfar dan menghadirkan Allah di dalam hati. Setiap kali seseorang membaca istighfar dan berdzikir, maka akan ada cahaya putih di hatinya. Ketika cahaya putih itu semakin banyak, maka hati akan menjadi terang, sehingga jelaslah segala bentuk dan gambar kehidupan. Di dalam cahaya, orang akan mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari cahaya, bersama cahaya, dan menuju cahaya. Mengingat Allah dapat membersihkan segala karat hati, sehingga ia menjadi seperti cermin yang bersih. Orang yang senantiasa mengingat Allah di tengah-tengah orang-orang yang lalai mengingatNya seperti pohon hijau yang berada di tengah-tengah tanaman yang kering dan seperti rumah yang berpenghuni di antara reruntuhan rumah.

Mengingat Allah adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus damai bersamaNya. Mengingat Allah merupakan unsur terpenting dalam perjalanan manusia menuju al-Haq. Bahkan, ia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Tidak ada sesuatu setelah mengingat Allah. Semua perangai mulia dan terpuji akan selalu bermuara kepadanya dan bersumber darinya. Mengingat Allah adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menujuNya. Sungguh, ia adalah landasan bagi perjalanan itu sendiri. Tidak seorang pun dapat sampai kepadaNya, kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepadaNya. Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang yang telah sampai kepadaNya adalah terputus dari mengingatNya.

Dengan mengingat Allah, hati manusia akan menjadi bersih dan selamat (qolbun salim), sebab ia merupakan lembaran cahaya penghubung, tanda awal perjalanan yang benar, dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Orang yang hatinya selamat adalah mereka yang gemetar hatinya manakala menerima kebenaran dan sering menangis ketika mendengar nasihat orang bijak. Sebaliknya, orang yang hatinya hitam adalah mereka yang merasa diri paling benar, selalu berburuk-sangka, dan tertawa apabila diberi nasihat.

sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. QS. Al-Anfaal: 2.

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari (dimana) mereka dibangkitkan,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa. QS. Asy-Syuaraa: 87, 89-90.

(yaitu) surga ´Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan). QS. Thaahaa: 76.
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi buta. Tidak ada yang lebih mulia dari telinga, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi tuli. Tidak ada yang lebih mulia dari hati, maka jangan sampai lupa menyiramnya dengan air kebenaran, karena jika tidak, akan menyebabkan hati menjadi gersang.

Sekarang ini, banyak orang yang hatinya gersang, karena mungkin sedang musim kemarau ya, hehe. Malang saja yang dikenal kota hujan dalam dua bulan ini baru sekali turun hujan. Oh, kemarau, segeralah berlalu, agar kebenaran tidak terlanjur kaku menjadi batu! Dengan berbagai perkembangan teknologi, manusia sekarang lebih mengedepankan akal dan rasio daripada hal-hal yang berbau tahayul. Banyak yang tidak memercayai nasihat orang tua, para kyai, dan orang-orang shalih, padahal orang dahulu telah berfikir, menulis, dan mencari kebenaran dengan perjuangan keringat dan darah, hati para ulama terdahulu pun juah lebih bening dan bersih daripada orang-orang zaman sekarang. Tahukah kau? Kekayaan terbesar dalam hidup adalah keyakinan.

Maka temukan Allah dalam diri, dan diri dalam Allah. Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir, dan membaca Al-Quran. Kemanisannya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa saat itu hati sedang tertutup. Jangan sampai gelap menjadi jalan, karena masing-masing manusia kelak akan sendiri menghadap tuhannya.

Malang, 17.10.2014

Note: Diterbitkan dengan judul yang berbeda, pada buletin Al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang:

https://ppanwarulhuda.com/buletin-al-anwar/endapan-belajar/

Do'a (2)
Oleh: M. Fahmi

Begitu besar nian rahmat-Mu, namun begitu buruk kelakuanku. Begitu dekatnya Engkau dariku, namun begitu jauhnya aku dari-Mu. Ya, Allah, dosa telah menutup pandanganku. Mataku rabun meraba dalam gulita jiwaku. Engkau yang lebih mengetahui tentang semua hal dalam diriku. Amalku bukanlah sebuah jaminan. Engkau yang menentukan dalam setiap perjalanan ini. Setiap anggota tubuh ini tunduk, berharap dan bersaksi kepadaMu. Tiada yang lebih terang selain Engkau. Semuanya buram, karena setiap kegaiban memerlukan Irfan. Tiadalah engkau pada jarak kejauhan. Ya Allah, sungguh buta mata bathin ini, karena tiada melihat pengawasanMu.

Selamatkanlah aku dari segala sesuatu yang dapat menjauhkan aku dariMu, dari segala sesuatu yang tak Engkau ridhoi. Bantulah aku agar tidak mencintai dan mencari tempat bersandar abadi kecuali hanya kepadaMu. Ya Allah, bawalah aku mendekati rahmatMu, agar aku segera sampai kepadaMu. Tariklah aku ke dalam karuniaMu, karena aku tak akan pernah sanggup datang menghadapMu, kecuali karena karuniaMu juga.

Tuban, 24.01.2014
M. Fahmi

Kembara Cintaku
Oleh: M. Fahmi

semua--yang saat ini hanya bisa diam--kelak akan bicara pada waktunya
kelak semua akan bicara dan dibicarakan pada waktunya
semua yang terlihat akan melihat
semua yang terdengar akan mendengar
semua yang mati akan hidup
tak ada yang hilang
bahkan mimpi-mimpi sekalipun
semua tercatat dalam sebuah "buku"
semua muncul menjelma dalam wujud nyata
kita adalah semua, semua adalah kita, semua untuk semua
kita adalah satu, satu adalah kita
satu untuk semua, semua untuk satu
sementara Engkau -yang satu- terus bekerja,
merangkai kata dan cerita hingga menjadi untaian sejarah,
di sini jiwaku semakin asing
kugenggam erat-erat janjiMu yang termaktub dalam Al-kitab,
kubawa berlari dalam bayangan kapal nabi Nuh,
di atas lautan manusia
betapapun,
di sini aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu di ujung waktu
sebab hanya Engkaulah akhir dari kembara dan cintaku!

Tuban, 21.01.2014
M. Fahmi

Do'a
Oleh: M. Fahmi

Ilahi,
jadikan aku manusia yang tegar
laksana batu gunung
yang tak lekang diterpa panas dan hujan
jadikan aku manusia kuat seperti batu karang di pantai
yang tak goyah oleh terpaan ombak dan badai lautan
jangan jadikan aku manusia cengeng
yang gara-gara putus cinta menjadi cempreng,
seperti kaleng rombeng
aku percaya,
Engkau lebih suka kepada hambaMu yang kuat
dan membenci kelemahan
Ilahi,
jadikan cintaku yang terbesar hanya kepadaMu!
jadikan pula aku orang yang selalu bisa berdzikir,
bisa bersabar,
bisa mensyukuri segala nikmatMu,
dan tetap bisa beribadah kepada Engkau
jadikan pula aku orang besar;
besar di mata manusia,
tapi tetap kecil di mata Engkau dan kecil di mataku sendiri

Tuban, 20.01.2014
M. Fahmi



Aku Ingin
Oleh: M. Fahmi

aku ingin
hadir apa adanya di dunia ini
sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah
yang ikhlas untuk apa mereka hadir
aku ingin
jalani hidup ini seperti air, untuk apa ia mengalir;
seperti angin, untuk apa ia bertiup;
seperti api, untuk apa ia membakar;
atau seperti diamnya tanah yang setia memberi kesuburan pada bumi
aku ingin
hadir, sebagaimana aku yang aku impikan!

Tuban, 20.01.2014
M. Fahmi