Catatan Kopdar KOMA #01
(Nyambung Seduluran Komunitas KOMA)

Nyambung Seduluran Komunitas KOMA

Suatu sore, di bulan Desember 2018.

“Sebagaimana dendam. Rindu harus dibayar setuntas-tuntasnya.”

***

Di tempat bernama keabadian itu, rindu bisa datang kapan saja. Ia cukup melakukan perjalanan ke arah barat laut, di mana matahari akan segera tenggelam. Memejamkan kedua kelopak matanya. Kemudian melihat semua menjadi begitu hangat.

Tampaknya, sore kali ini benar-benar menjadi momen yang paling dinanti oleh orang-orang yang memiliki kerinduan yang sama. Gulungan awan yang datang dengan begitu takzim itu menutup sebagian wajah kemuning senja. Sedang ribuan angin yang menerpa di sepanjang perjalanan itu akan dengan sukarela memeras seluruh rasa rindunya. Perihal perjalanan sebuah komunitas beserta orang-orang kesayangannya. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di hati masing-masing mereka.

Sabtu sore, Minggu ketiga di bulan Desember ia bersepakat untuk bertemu dengan mereka di tanah air bagian utara propinsi Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Bumi Wali katanya. Hujan rahmat benar-benar menyambut pertemuan mereka. Untungnya mereka sudah sampai di tempat salah satu teman yang ada di pusat Kabupaten Tuban. Sekalipun tidak semua anggota komunitas ini bisa datang dikarenakan uzur masing-masing, tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk melaksanakan agenda perdana itu.



Di tempat temannya itu, mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari pengalaman mencari rezeki, sampai pada hikmah dari segala semua itu. Laki-laki itu percaya. Bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan materi. Sebagaimana pula, tidak bisa diukur dari hanya sekadar senyuman. Ia tidak pernah takut kehilangan materi. Ia hanya memercayai. Bahwa ketakutan dan kesedihan paling menyayat, manakala ia menjadi sibuk melihat yang semu. Yang sesungguhnya tidak nyata. Yang menjadi sebab ia kehilangan kekasih yang sejati. Yang sungguh nyata adanya. Yang telah memberinya cinta dan kehidupan.




Seusai salat Isya, dengan sisa-sisa gerimis yang ada, mereka menyempatkan mengisi perut yang kosong dengan nasi pecel di sebuah warung sederhana pinggir jalan. Sebab untuk melakukan sebuah perjalanan cinta, nyatanya memerlukan tenaga yang cukup. Hehe.


Perjalanan malam ini serupa perjalanan yang begitu sunyi. Mereka seperti menemukan banyak pemahaman baru dari perjalanan ini. Menemukan kembali ruas jalan yang telah lama hilang, yang telah lama dilupakan orang-orang di masa kini. Sekali-kali, masing-masing kita memang perlu menyendiri. Menghayati segala. Menyingkir dari riuh dan bisingnya kesibukan dan pembicaraan yang kosong. Agar bisa mendengarkan suara alam manakala ia bercerita. Mengunjungi maqbaroh demi maqbaroh. Serta menanyakan kepada orang-orang yang telah dahulu pulang. Perihal bagaimana seharusnya hidup.

Di antara indra-indra lahiriah, tak ada yang lebih bermartabat daripada mata. Betapa mata merupakan anugerah yang paling indah. Maka beruntunglah mereka yang tidak menunaikan semua keinginannya. Sebab semakin banyak seseorang melihat yang semu, nyatanya ia akan semakin buta. Membuat hati tak bisa melihat hal-hal yang sesungguhnya nyata.

“Aku menyukai kita, yang semakin tak peduli dengan rayuan setan dan juga hawa nafsu.”

***

“Saat ketenteraman menjadi sesuatu yang sulit didapatkan, langit tiba-tiba menghentikan hujan derasnya. Semasa hidupnya, laki-laki itu tidak tahu cara membenci manusia, apalagi alam. Dan ia merasa, tidak ada yang perlu dibenci di dunia ini. Ia senantiasa mencintai Tuhan, manusia, dan juga alam semesta.”

Pada maqbaroh pertama, mereka mengunjungi makam Syaikh Sayyid Abdullah Asy’ari. Namun oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Lor. Mbah Raja Abdulloh Asy’ari adalah putra Syaikh Ali Nurul Alim, atau cucu Syaikh Jamaluddin Al-Husaini (Mbah Sayyid Jumaddil Kubro) yang salah satu makamnya terletak di daerah Trowulan Mojokerto. Oleh kakeknya itu, ia ditugaskan untuk berdakwah di daerah kadipaten Tuban.


Saat mereka berziarah ke makamnya, terdapat beberapa pesan Sunan Bejagung Lor yang tertulis di gapura masuk makam. Di antara pesan tersebut adalah, “Mobahing agama kasariring Nabi. Mobahing bumi kasektining pujonggo.” Berkembangnya agama karena Nabi atau ulama, dan berkembang atau ramainya bumi karena kesaktian atau kepintaran penulis dan pengarang. 

Kemudian pada maqbaroh kedua, mereka mengunjungi makam Syaikh Hasim Alamuddin yang merupakan menantu Syaikh Abdulloh Asy’ari. Oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul. Beliau adalah pangeran Kusumohadi/ Penghulu dan merupakan putra Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Ia pergi ke daerah Bejagung Semanding untuk belajar agama Islam kepada Sunan Bejagung Lor. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung Lor, Kusumohadi berganti nama menjadi Hayim Alamuddin. Kemudian pada akhirnya, ia meneruskan dakwah mertuanya di daerah Bejagung Kidul. Tidak jauh dari makamnya, terdapat pondok pesantren Sunan Bejagung, yang merupakan lahan dakwah para penerusnya.


Ziarah yang ketiga, mereka menyempatkan untuk mengirim surah-surah alquran dan juga doa pada maqbaroh Syekh Siti Jenar. Konon, makam Syekh Siti Jenar banyak sekali ditemukan di berbagai wilayah di tanah air Indonesia. Entah kenapa. Dalam kisah yang banyak disebutkan di berbagai buku, beliau adalah waliyulloh yang terkenal dengan “manunggaling kawula gusti”-nya. Tak ada yang tahu persis keberadaan beliau. Beliau hadir dengan tiba-tiba dan pergi dengan tanpa diketahui orang-orang. Kemungkinan beliau menyiarkan agama Islam dulu sampai ke daerah ini. Sehingga di maqbarohnya terdapat tulisan, “mbah buyut gedhong”. Karena desa ini disebut dengan “Gedongombo”, maka masyarakat sekitar menyebutnya demikian. 


“Tiba-tiba air mata lelaki yang semenjak tadi bersembunyi di antara penyesalan itu terlepas begitu saja. Jika saja ada kesempatan untuk bisa istiqomah berziarah seperti ini, akan ia pakai untuk menyelinapkan rasa bersalah yang bayak kepada Tuhannya.”

Setelah puas melakukan perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci (hehe), akhirnya pada pukul 10 malam mereka melaksanakan ibadah ngopi (sekalipun ada yang tidak pesan kopi, hehe)—di suatu kedai pinggir jalan. Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Tentu semua tentang perjalanan Komunitas KOMA ini. Mereka berencana akan membuat semacam simbol yang dapat digunakan mengenali sang pemakai, bahwa orang itu adalah anggota KOMA. Pada mulanya terjadi banyak perdebatan di antara mereka. Perihal benda apa kira-kira yang jiwanya “pas” dengan KOMA. Akhirnya ada juga ide, benda itu adalah kopyah. Selain praktis, bisa di bawa ke mana-mana, benda itu juga kelak digunakan untuk beribadah dan memiliki kemuliaan karena digunakan di kepala. Inspirasi itu muncul dari jamaah Maiyah yang dengan kopiah khasnya bisa menunjukkan kalau orang itu adalah jamaah Cak Nun. Sekalipun tanpa ada nama atau kata-kata pada benda tersebut, tapi sekali melihat orang akan bisa mengenali bahwa orang itu adalah jamaah Maiyah. Dan yang menjadi problem adalah, bagaimana bentuk dan design Kopyah KOMA yang benar-benar pas untuk jiwanya. Malam itu sebenarnya masih belum usai dan kepala masih belum sreg dengan motif yang belum sepenuhnya dapat digambar. Akhirnya disepakati akan dipikirkan setelah ini sembari mencari inspirasi. Selang beberapa hari, salah seorang anggota KOMA punya ide yang pas, berkat inspirasi melihat bentuk dari pojok genteng atap makam Mbah Maulana Ishaq. Bentuknya kira-kira seperti ini.



Setelah usai ngopi, mereka kembali ke tempat salah satu anggota KOMA yang berada tidak jauh dari wisata Goa Akbar. Mereka memutuskan untuk beristirahat agar besok pagi bisa melakukan perjalanan yang lebih jauh lagi.

***

Ahad, 16 Desember 2018. Pagi itu, setelah jamaah Subuh dan mandi pagi, mereka langsung cuss ke Makam Sunan Bonan yang berada tidak jauh dari alun-alun Kabupaten Tuban.





Setelah itu, mereka beranjak ke tepi alun-alun yang sangat ramai pedagang untuk sekadar menghirup udara pagi, melihat orang-orang yang berlalu lalang, serta mengisi perut dengan sedikit makanan dan minuman.

Setelah dirasa cukup, mereka langsung berangkat ke rumah dulur Achmad Muzaki, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mas Jack. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui alamat rumahnya, namun berkat kecanggihan Mbah Google Maps, akhirnya mereka sampai juga di kediaman Mas Jack. Di sana ternyata sedang berkumpul beberapa keluarganya untuk acara yang sama, tilik bayi, sehingga mereka pun agak sungkan di sana. Perihal jodoh, tak seorang pun tahu. Buktinya Mas Jack ini yang rumahnya di Jombang, bisa dengan tiba-tiba begitu akrab dengan daerah Tuban saat ini, hehe.




Rumahnya tidak begitu jauh dari air terjun Nglirip Singgahan yang merupakan salah satu destinasi dari agenda mereka. Malah sebelumnya mereka melewati tempat tersebut. Setelah perut mendadak kenyang, melihat si cabang bayi, dan puas bincang-bincang di sana, akhirnya mereka memutuskan untuk pamit, dan akan melanjutkan perjalanan ke Makam Kanjeng Syekh Abdul Jabbar yang merupakan leluhur dari KH. Abdul Wahab Hasbulloh (Pendiri NU). Makamnya tidak jauh dari wisata air terjun Nglirip. Namun yang nampak, lebih banyak pengunjung wisata air terjun Nglirip daripada Makam Mbah Jabbar yang lumayan sepi. Bagaimana ini orang-orang.




Seusai sowan ke Makam Mbah Jabbar, mereka beralih ke air terjun Nglirip untuk berfoto-foto ria, hehe. Maklumlah, anak muda. Masih suka eksis seperti kebanyakan manusia biasa. Tak lupa bendera KOMA juga ikut berkibar di sana untuk pertama kalinya. Benar-benar momen yang indah. Namun sayang, karena musim hujan maka airnya tidak jernih. Kalau saja tidak musim hujan maka airnya akan terlihat hijau, jernih, dan mereka akan rela untuk mandi juga di sana, hehe.









“Bagaimana jika air terjun itu jatuh hanya untuk menguras kenangan pemiliknya. Lalu saat semua mata telah basah, ia tak sanggup mengembalikan apa-apa, termasuk seseorang yang ada di dalam hatinya.”

Setelah lelah memenuhi hape dengan aneka foto yang geje, mereka lelah karena pulangnya harus melewati jalan yang mendaki. Dan akhirnya mereka membeli es degan di atas sana. Ah, strategis sekali tempat ini, jualan es degan yang akan segera mendinginkan tubuh para pengunjung yang kelelahan.




Sebenarnya, ketika akan berangkat ke rumah Mas Jack, mereka ingin mencari makam Ronggolawe, tapi tidak ketemu dan akhirnya keblablasan. Dan pulangnya mereka sepakat akan berkunjung ke sana. Namun sebelumnya mereka mampir di patung tempat rehat yang dekat pantai Tuban untuk melihat betapa luasnya tubuh laut, mendengarkan suara debur ombak, dan juga mencium aroma khasnya. Sayang sekali, sebab di sana banyak sekali sampah yang mengotori pantai. Di patung itu juga tertuliskan tentang sejarah Kabupaten Tuban.






“Bagaimana jika debur ombak bukan di pasir pantai? Tapi di sini. Di relung jantung dan pada pusar hati.”

Kemudian akhirnya mereka sampai juga di pesarean Ronggolawe dan para adipatinya. Mereka bertemu dengan juru kuncinya dan segera dibukakan makamnya. Di dalamnya terdapat aneka keris dan dupa, sehingga mereka tidak begitu khusyuk ketika berdoa.



Seusai itu, mereka kembali ke tempat temannya itu, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi ke berbagai makam di Tuban dan juga Lamongan. Seperti makam Syekh Ibrohim Asmoroqondi, Syekh Maulana Ishaq, dan lain sebagaianya. Karena penulis tidak ikut mereka, maka tidak bisa melanjutkan cerita perjalanan selanjutnya. Mereka mengerti ini adalah perpisahan, tapi mereka ragu bahwa ini adalah akhir. Mereka selalu yakin, bahwa KOMA tak akan akan pernah ada akhirnya. Rasa kehilangan hanya akan ada ketika mereka saling melupakan. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di jiwa masing-masing mereka.


Rengel, hari pertama di tahun 2019.
Omah Sinau Koma, Mukhammad Fahmi.
Aku Takut

Aku Takut.

Aku takut
Bila kau merapuh
Tanpa sakit
Tanpa kecewa.

Aku takut
Bila kau terjatuh
Tanpa tangis
Tanpa duka.

Aku takut
Bila kau terluka
Tanpa desah
Tanpa suara.

Aku takut
Bila kau pergi
Tanpa jalan
Tanpa ingin.

Aku takut
Bila kau menghilang
Tanpa pesan
Tanpa tanda.

Aku takut
Bila titik air
Tak jadi datang
Malam ini.

Aku takut
Bila malam
Menjadi kering
Dan rentan.

Aku takut
Bila hujan
Hanya akan jatuh
Di pelupuk matamu.

Rengel, 25.12.2018.
Mukhammad Fahmi.

Baiknya.
Kita mempersiapkan kepulangan
dengan sebaik-baiknya.

**

Sampai kapan
kita dustai nurani.
Mari memulai lagi
menyayangi hati.
Yang merindukan kebenaran.

Sedia memperbaiki.
Dan menyucikannya.
Yang begitu rentan
dengan debu-debu.
Yang membuat segala
jadi kusam.
Yang senantiasa lekat.
Pada setiap persimpangan jalan.

Bumi sudah semakin tua.
Sedang lampu-lampu jalan
semakin hilang cahayanya
satu demi satu.
Mungkin suatu saat
akan hilang semua cahaya
lampu-lampu itu.
Hingga yang tersisa
hanya manusia-manusia
yang tak punya ilmu.

Di dalam kegelapan.
Orang tak mengerti jalan.
Dan bagaimana berjalan.

Sedapat mungkin.
Kita harus bisa pulang.
Dengan selamat, utuh,
dan damai, Sahabat.

Kampung halaman yang sejati,
sudah lama menunggu
dan merindukan
kedatangan hamba-hamba
kesayangan Tuhan.

Diketik dengan hape.
Kota Kediri, 02.12.2018.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Hamba-Hamba Kesayangan Tuhan
Aku benar-benar terharu. Engkau seperti tak bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirimu. Aku mengerti. Kau tak perlu bersedih. Setiap manusia diciptakan dengan pemahaman dan penglihatan yang berbeda satu sama lain. Hanya mungkin, mereka tak memahami bahasamu, perihal peristiwa apa saja yang sudah kau tempuh. Semuanya sedang berproses, dan kita adalah bagian dari proses itu. Sedangkan semua bentuk kezaliman dan kemungkaran itu, semuanya kelak akan mengalami pembusukan, begitulah siklus alam berjalan. Yakinlah, sejarah tidak akan menghianati ruh hamba-hamba yang sejati. Kebenaran juga kelak akan muncul sebagai pemenang, meskipun datangnya kadang belakangan. Terima kasih, engkau sudah mau menjadi sahabat baikku selama ini. Semangat, Teman, jangan mau dikalahkan oleh diri sendiri. Jangan pernah berhenti untuk belajar setiap hari. Baca semua yang ditawarkan kehidupan. Pahami baik-baik setiap peristiwa. Lalu tulis dengan kalimat-kalimat yang indah..
Usaha Mencintai Diri
Di mana-mana. Di kantor, di mall, di pabrik, di pasar, bahkan di warung sekalipun. Orang-orang banyak yang lupa waktu. Selalu riuh, khawatir dengan urusan materi. Tak pernah mengkhawatirkan nasibnya yang sejati kelak. Lupa kepada apa yang seharusnya ia lakukan sebagai kewajiban, namun senantiasa menuntut haknya untuk sejahtera, di dunia. Terlalu berlebih-lebihan taat kepada atasan misalnya, hingga lupa taat kepada yang memberinya nafas. Orang-orang selalu diburu ketakutan kepada yang tidak semestinya. Orang-orang selalu bergegas dengan materi yang menyiksa dan memenjara, menyingkirkan siapa saja yang menghalang-halanginya, nyinyir mulutnya membicarakan celah orang lain, memasang topeng di wajah, memanipulasi, serta merekayasa tugas, rakus mencari kursi, saling cakar berebut benar, berpacu dengan waktu, melahap habis segenap nasfu dan ego, seolah-olah kebenaran sudah tidak zaman lagi. Lupa kepada yang tak pernah lepas mengawasinya. Lupa usia. Dan satu lagi, lupa mencintai diri sendiri.

Materi kini sudah kehilangan makna. Kehilangan ruh. Keruh. Dahaga aku dahaga. Tubuhku penuh debu. Semua yang tak lagi penting. Enyahlah dari jiwa. Aku ingin merdeka dari segala belenggu yang fana. Yang tak kekal. Yang tak membersamai.

Memulai lagi menyayangi diri sendiri dengan ketaatan dan keluguan. Betapa, ingin kutempuh lagi jalan sunyi itu. Jalan orang-orang yang suci dan tulus hatinya. Jalan para sufi, orang-orang kesayangan Tuhan. Yang tak lagi khawatir, takut, dan gundah lagi akan materi. Bantu aku kembali. Menemukan jalan sunyi, yang damai itu.


Gedongombo, 25.11.2018
#Ahad Koma Berkarya
_Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali_

Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali
Kabut hanya gugur
Jalan hanya basah
Sedang cahaya datang
Begitu tiba-tiba
Beserta suara keras itu
Membuat segala
Jadi gelap

***

Di beranda doa
Yang tergeletak
Tak bersuara
Menjelma nafas
Yang kuhirup
Sedikit demi sedikit
Hingga serasa sunyi
Melambai-lambaikan tangan
Berulang-ulang
Mengajakku pulang

Jangan menungguku pulang
Jangan terjaga, kasih
Aku tak pulang
Malam ini

Sejauh inderaku
Tak lagi dapat
Pulang
Tapi tidak
Dengan doaku
Dan
Sampaikanlah kasihku
Aku tak dapat pulang
Malam ini
Jangan menungguku

Di batas mimpi
Yang bagai selamanya itu
Ada engkau yang menunggu
Tapi
Kita tak akan sampai
Dan pada akhirnya
Jangan menungguku
Menjaga dan
Terjaga

Rengel, 11.11.18.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Sedikit Kisah Perihal Angin dan Pohon.


Kau tahu, Angin
Apa yang disesalkan
Pohon-pohon?

Bertemu denganmu.

Sebab engkau datang dan pergi
Hanya membawa kabar
Yang senantiasa kelabu.

Kabar-kabar yang hanya bisa
Didengar para pohon
Dan juga sedikit manusia
Yang pandai membaca alam.

Pohon-pohon bertukar pesan
Dengan sesamanya
Beribu-ribu mil jauhnya.

Mereka tidak menonton televisi
Mendengar radio
Menjamah internet
Apalagi menelanjangi surat kabar.

Tapi mereka membaca
Segala sesuatu
Lewat dirimu, Angin
Yang kau goyangkan
Daun-daunnya.

Mereka mendengar
Dari udaramu
Yang sembunyi-sembunyi
Meliputi kebekuannya.

Kau tahu, Angin
Apa yang paling
Diharapkan pohon?

Meraih tubuhnya.

Membawanya pergi
Melintasi ruang dan waktu
Dan tak akan kau lepaskan.

Lalu kau berkata,
"Sudah, tinggalkan saja akarmu
Kau akan dapat berjalan
Dan berlari
Semakin terbebas tubuhmu
Melayang dan terbang
Sepertiku
Ke mana pun
Kau mau,"

Tapi pohon menjawab,
"Aku tetap tak bisa
Jangan memilihku
Karena takdirmu adalah langit,"

Pohon kini hanya ranting
Tergeletak di ujung harap
Merepih sunyi
Sesal, menyayat hati
Takdirnya adalah tanah.

Langit dan tanah
Bukanlah jarak yang jauh.
Mereka tetap bisa
Saling pandang
Dan berbicara
Tentang kehampaan
Semua.

Semanding, 04.11.18.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Kita selalu jatuh hati dengan hal-hal sederhana yang membahagiakan.


Di sepanjang taman
hanya ditumbuhi
daun-daun putri malu.

Rasa tak terkata
pada setiap halaman
percakapan.

Dingin sejauh kenal
mencoba mengusir,
tapi kami tetap saja
di sana.

Seakan-akan
kami tak peduli
pada semua
yang berharga.

Hingga waktu berkejaran
mendekatkan wajahnya
pada kami.

Tuhan, kenapa Engkau
menciptakan kehidupan
begitu indahnya.

Semanding, 28.10.18
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Pada dasarnya, setiap manusia menyukai keindahan. Nada dan segala bunyi alam itu sesungguhnya adalah nyanyian yang dihasilkan dari lika-liku perjalanan kehidupan. Karena hidup merupakan pemberian yang begitu berharga, kita menangis bersyukur sepuas-puasnya. Selamat pagi. Selamat menjalankan aktivitas. Selamat menunaikan ibadah apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, semisal rindu.

Kangen ngaji Maiyah bareng Mbah Nun.. ;(



Setiap kali mendengarkan lagu kebangsaan Maiyah di bawah ini, saya selalu dibuat meleleh..








Majelis Iqro
Oleh: M. Fahmi

Satu. Membaca perasaan alam.


Kenapa orang-orang masih belum kunjung juga mengerti bahasa yang disampaikan alam. Isyarat bahwa alam sudah sedemikian muak dengan tingkah laku manusia-manusia di muka bumi yang terlampau jauh dari rel kebenaran. Bahasa yang baru saja disampaikan alam kepada penduduk di pulau Lombok, Sulawesi, Situbondo, Bali, dan masih banyak lagi.

Jangan anggap bahwa ini hanyalah kejadian alam biasa. Lihatlah bagaimana alam dengan tidak main-main telah menghancurkan umat-umat nabi terdahulu. Bagaimana air laut telah menenggelamkan Fir’aun beserta ribuan bala tentaranya di Laut Merah. Perihal umat nabi Luth yang seluruh kotanya diangkat ke langit kemudian dijatuhkan ke bumi dengan begitu dahsyatnya. Tentang banjir besar yang menenggelamkan umat nabi Nuh, termasuk anak dan istrinya. Tentang angin dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga didatangkan pasir yang menimbun dan membinasakan umat nabi Hud. Perihal hawa panas yang teramat sangat hingga melenyapkan umat nabi Syu’aib. Tentang hancurnya negeri Anthakiyah  terkena suara yang sangat keras. Perihal jebolnya bendungan besar Ma’arib hingga air bah yang menenggelamkan kaum Saba. Atau tentang seluruh penduduk kota Eliah yang dilaknat hingga semua manusianya menjadi kera. Dan masih banyak lagi peristiwa alam yang tak tersebutkan.

Manusia-manusia harusnya mengerti, mengapa alam menggeliat, menampakkan kekuatannya. Tentu semua itu terjadi bukan karena tanpa sebab. Lihatlah upaya nabi Nuh yang berdakwah selama sembilan ratus tahun, namun yang beriman hanya 80 orang. Kaumnya, termasuk anak dan istrinya telah mendustakan dan mengolok-olok Nabi Nuh. Tentang kaum ‘Ad yang mendustakan kenabian nabi Hud. Kaum Tsamud yang mendustakan nabi Sholeh. Umat nabi Luth yang melakukan perbuatan menyimpang (homoseksual dan lesbian) serta tidak mau bertaubat. Kaum Madyan (umat nabi Syu’aib) yang suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan. Penduduk Aikah yang menyembah sebidang padang tanah dengan pepohonan yang rimbun. Bani Israil yang keras kepala dan mendustakan nabi Musa dan nabi Harun, juga Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan. Golongan Ashab Al-Sabt yang fasik dan melanggar perintah Allah. Kaum Ashab Al-Rass yang menyembah patung berhala dan membunuh dan membuang utusan Allah ke dalam sumur. Kaum Ashab Al-Ukhdudd yang menceburkan orang-orang yang beriman ke dalam parit yang telah dibakar. Kaum Ashab Al-Qaryah yang  mendustakan rasul Allah. Kaum Tubba’ yang melampaui batas dan ingkar kepada raja yang beriman. Kaum Saba yang tidak menghiraukan peringatan nabi Sulaiman. Dan sebagaimana yang lain.

Saya kira dengan kita mau membuka lagi kitab-kitab yang bermuatan sejarah, maka kita akan mengerti, mengapa alam mengambil keputusan untuk melenyapkan manusia-manusia. Umat nabi Muhammad merupakan umat yang sangat istimewa, di mana azab tidak ditampakkan secara langsung kepada seseorang yang berdosa sebagaimana umat nabi-nabi terdahulu. Di antara hikmahnya adalah agar umat nabi Muhammad bisa bertaubat sebelum meninggal. Namun di zaman sekarang, sudah banyak manusia yang melampaui batas, hingga kita bisa menyaksikan alam-alam yang mulai menggeliat. Hari yang pasti itu sudah akan sedemikian dekat, sementara manusia-manusia semakin rusak.

Dua. Membaca diri.


Hal yang paling penting dalam kehidupan sesungguhnya adalah menemukan hakikat diri. Siapa sesungguhnya saya. Untuk poin yang ini mungkin kalian bisa membaca selengkapnya di sini. Hehe.

Tiga. Membaca proses.


Ada banyak hal yang ingin kuceritakan di poin ini. Mulai dari pengalaman pertama kali bekerja, juga pengalaman pertama kali kos. Sesuatu yang sangat berbeda kurasakan.

Saya sebenarnya tidak begitu yakin mengambil perusahaan ini sebagai awal dari karier saya. Tapi mau bagaimana lagi, daripada tidak ngapa-ngapain, lebih baik mencari pengalaman kerja. Dan di sinilah saya melihat semuanya.

Flashback.

Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya sudah mengirim sekitar dua puluh lamaran ke berbagai instansi dan perusahaan. Tapi tak ada kabar sama sekali dari instansi dan perusahaan itu. Baru ketika satu ahad setelah wisuda, saya pertama kali dihubungi oleh suatu perusahaan agar datang ke perusahaan untuk melakukan wawancara. Betapa senangnya saya waktu itu. Namun senang saya mendadak hilang setelah pulang dari wawancara. Saya dijelaskan mengenai jobdis bekerja sebagai quality control. Setiap hari survei di lapangan. Ada target yang harus dicapai per bulannya. Sedang saya adalah tipe orang yang tidak bisa bekerja di bawah tekanan. Pun saya belum hafal betul, daerah-daerah di Tuban dan sekitarnya. Tapi pada waktu itu, saya diberi pilihan untuk menjadi credit admin, yang tugasnya adalah input map, cek blacklist, membuat logbook, dan lain sebagainya. Pokoknya tugasnya itu seharian malai dari pukul delapan pagi sampai pukul delapan belas, bekerja di depan Pc. Saya sempat berpikir, mata saya mungkin akan cepat merasakan lelah. Saya diberi dua pilihan itu dan disuruh memberi keputusan besok setelah berdiskusi dengan orang tua. Saya sempat ragu, saya pikir-pikir kembali, berdiskusi dengan orang tua, dan akhirnya hari berikutnya saya memberikan keputusan. Keputusan yang akhirnya membuat saya harus mengikuti training sebagai credit admin.

Baru satu bulan setelah bekerja di sana, perusahaan dan instansi yang pernah saya kirim lamaran itu memanggil saya. Ada yang dari Malang, Jakarta, Surabaya, dan lain sebagainya. Tapi semua undangan itu saya tolak. La wong bekerja di sini saja masih belum benar-benar matang dan memahami. Saya pikir lebih baik mematangkan, menyelami, memahami celah kekuatan-kelemahan, baik-buruknya dulu di perusahaan ini, baru setelah itu bisa resign. Karier memang harus dimulai dari tangga bawah, untuk kemudian bisa sampai ke tangga yang tinggi.

Saya merupakan pekerja outsourcing dari perusahaan yang bekerja sama dengan vendor SJS. Pekerja outsourcing wajib menandatangani kontrak bekerja selama minimal enam bulan. Ya, sudahlah. Hitung-hitung juga belajar dulu. Enam bulan saya pikir cukup. Sebenarnya ada program khusus yang lebih menarik untuk orang-orang lulusan S1 jurusan tertentu, yaitu program MT (Management Trainee) di perusahaan pusat Jakarta sana. MT itu semacam sekolah, training, atau kuliah, sampai benar-benar matang untuk bisa dijadikan pimpinan divisi di cabang tertentu. Kalau ikut program MT paling sekitar tiga bulan, baru kemudian bisa jadi Head, dan bersedia ditempatkan di cabang di seluruh wilayah Indonesia. Pun juga harus menandatangani kontrak Head selama minimal dua tahun. Posisi Head tentu berbeda dengan posisi surveyor, marketing, karyawan, admin, dan lain sebagainya. Gajinya bisa empat kali lipat dari karyawan biasa. Namun itu jika lulus dari program MT. Makanya dari itu, lebih baik saya belajar di sini dulu, baru nanti kalau memang dikehendaki, bisa ikut program MT.

Empat. Membaca manusia-manusia.


Ternyata, tidak semua baik-baik saja. Ada celah yang ingin saya ceritakan dari perusahaan ini. Dan sampai saat ini, saya masih begitu ragu. Perihal apakah sampai nanti saya akan hidup dan menghidupi dari perusahaan ini. Ternyata, hampir sebagaimana sistem bank-bank di Indonesia. Perusahaan ini mendapatkan profit dari bunga dan denda pada setiap angsuran konsumen. Tapi orang-orang di perusahaan ini tidak pernah mau menyebutnya sebagai bunga. Mereka lebih bijak menyebutnya sebagai margin. Padahal bunga dan margin sudah jelas berbeda. Margin dipakai untuk usaha perdagangan. Sedang bunga kan tidak ada hubungannya dengan perdagangan. Semua ulama sepakat, kalau riba itu haram. Namun mereka berbeda pendapat perihal bunga bank, ada yang menyebutnya sebagai riba, ada yang menyebutnya bukan riba, karena mungkin, di zaman sekarang, orang tak akan pernah bisa terlepas dari bunga, sebab setiap orang menggunakan uang untuk berbelanja. Riba yang sudah benar-benar jelas adalah meminjam uang kepada seseorang dengan ketentuan mengembalikan uang lebih. Sehingga menurut hemat saya bahwa warna bunga masih abu-abu, alias tidak jelas. Dan alangkah lebih baik mengikuti pendapat ulama yang hati-hati. Membersihkannya dengan sedekah dan juga salat Dhuha.

Saya mengakui, orang-orang yang sudah lama di perusahaan ini sangat cerdas-cerdas. Mereka bisa menghitung di luar kepala. Bicaranya luar biasa. Saya pun masih belum bisa menangkap dengan baik setiap apa yang disampaikan oleh mereka. Namun, orang-orang di perusahaan ini kebanyakan mereka orang sibuk. Mempertaruhkan seluruh waktunya demi target dan dateline. Hingga habis waktu salat, mereka tak juga beranjak dari Pc untuk memenuhi salat. Padahal beragama Islam. Hanya orang-orang tertentu yang masih menjaga dengan baik salatnya. Kenapa orang-orang seperti ini. Apa sesungguhnya yang mereka kejar dan cari. Dunia, bukan akhirat.

***

Dulu, ketika saya masih belajar di sekolah atau di kampus, saya bertempat tinggal di pesantren. Di sana banyak saya jumpai orang-orang yang baik. Ada pengasuh yang setiap pagi selalu memberi mutiara hikmah. Ustaz-ustaz yang senantiasa membagikan ilmunya. Dan teman-teman yang selalu mengingatkan.

Dan kini, saya sudah tidak lagi di tempat yang senantiasa menjanjikan kedamaian itu. Hidup di kos, sungguh terasa hampa, tanpa cahaya. Saya seperti kehilangan sesuatu yang saya rindukan.

Saya tidak mengetahui. Di gerbang depan, hanya bertuliskan, “Terima Kos.” Saya benar-benar tidak mengerti. Baru setelah dua-tiga hari, la kok ada perempuannya. Waduh, ternyata ini kos bukan cuma untuk putra saja. Ya sudahlah. Namanya juga terlanjur. Orang-orang di kos ternyata juga seperti itu. Kebanyakan mereka bergadang sampai malam di beranda, cowok-cewek pula. Aku tak pernah peduli karena begitu pulang dari kantor, waktuku hanya cukup untuk salat dan makan, setelah itu aku sudah hilang ditelan ngantuk. Aku sudah terbiasa tidur pukul delapan malam, hehe. Namun, hal yang paling membuat saya geregetan adalah, dari sekian tiga puluhan penghuni kos, hanya dua-tiga yang bangun pagi untuk kemudian berangkat ke Masjid terdekat. Sisanya, mereka bangun rata-rata pukul tujuh untuk kemudian berangkat mandi. Kebetulan tiga per empat penghuni kos adalah mereka yang memilih kamar mandi luar. Jadi begitu pagi pintu kamar kubuka, lingkungan kos terasa begitu sepi sebelum akhirnya mereka terlihat setelah matahari bersinar begitu terang. Rata-rata penghuni kos juga adalah pekerja, ada yang pedagang, pegawai, wiraswasta, dan lain sebagainya. Saya juga melihat, perempuan-perempuan itu berangkat bekerja, sama seperti saya jam delapan pagi. Perempuan-perempuan itu juga semua memakai kerudung ketika berangkat, tapi tidak ketika di kos. Namun ke mana mereka waktu pagi. Kalaupun karena uzur, kenapa setiap hari. Apakah kerudung hanya sebagai pemanis saja, seperti kata-katamu.

Kenapa orang-orang seperti ini. Sungguh, orang-orang baik itu ternyata sangat sedikit sekali kutemukan di sini. Aku sangat merindukan suasana di pesantren. Ternyata tidak semua orang yang berkerudung itu salehah. Itu namanya munafik, berwajah penipu. Tidak bisa kita menilai seseorang baik dari pakaian yang menutup aurat saja. Yang pakai kerudung saja begitu, apalagi yang tidak. Itulah sebabnya, aku harus lebih selektif kini. Bocah e apik tenan opo ora. Salat opo ora. Iso diajak apik opo ora. Kepiye mene ngajari anak. Sebab jika tidak bisa diajak ke jalan yang hakiki, aku sendiri yang akan merugi, sebab kelak terseret olehnya ke dalam jurang yang paling curam. Sungguh, aku, mencintai orang-orang yang berwajah cahaya, yang berhati jujur. Sekian.

Semanding, 21.10.2018
#Ahad Koma Berkarya
Mukhammad Fahmi.