Media Sosial

Setiap hari. Setiap waktu. Setiap jam. Setiap menit. Orang-orang tak pernah lupa membuka media sosial. Semua nama media sosial. Beberapa dari mereka hanya suka melihat kabar dan status. Beberapa yang lain senang menulis dan memperbaharui statusnya. Ada juga yang tidak peduli dan acuh dengan status orang-orang. Bahkan ada pula yang benci sekali dengan status; fa innii laa ubaali bikum.

Bagian Satu.
Status. Ehe.

Setiap hari. Setiap waktu. Setiap jam. Setiap menit. Orang-orang tak pernah lupa membuka media sosial. Semua nama media sosial. Beberapa dari mereka hanya suka melihat kabar dan status. Beberapa yang lain senang menulis dan memperbaharui statusnya. Ada juga yang tidak peduli dan acuh dengan status orang-orang. Bahkan ada pula yang benci sekali dengan status; fa innii laa ubaali bikum.

Terlepas dari semua itu. Kini. Wajah kebenaran semakin kabur. Kakanda Rasul pernah bercerita, bahwa kelak semakin bertambahnya waktu, umatnya akan semakin jauh dari kebenaran. Dan kini, kita telah benar-benar melihatnya bersama.

Ada orang-orang yang sibuk dengan membuat status setiap waktu. Baik itu status serius tentang kebaikan, status guyonan, sampai status yang mungkar. Semua pembuat status itu sama-sama sibuknya (termasuk orang yang nulis ini, Ehe). Membuat waktunya menjadi hilang dan terlupa kepada Yang Memberikan kehidupan.

Status hari ini lebih tidak bisa dipercaya sama sekali. Apakah orang-orang itu menulisnya dengan sungguh-sungguh ataupun hanya citra. Apalagi kini tersedia tombol like, love, komen, subscribe, follow, dan lain sebagainya yang hanya akan membuat si pembuat status merasa diperhatikan, disanjung, dan mempopularitaskan diri. Juga media sosial kini telah dilengkapi dengan fitur status privacy, only share with, last seen privacy, about privacy, blocked contact, read receipts privacy, sampai pada mute Fulan's status updates. Adanya fitur-fitur menyebalkan inilah yang membuat hubungan kita menjadi renggang dan saling curiga satu sama lain. Ehe.

Yang paling menyedihkan adalah ketika status itu dibarengi dengan foto-foto centil dan bahkan video manja. Alih-alih captionnya untuk mengajak membaca alquran semisal, tapi fotonya sama sekali tidak cocok dengan apa yang ada di captions. Sering terjadi. Upload foto manja, wajah dicoret-coret, pakai caption "Abaikan muka." Lalu ada yang membuat status, "Assalamu'alaikum calon imam," nah akhirnya para ikhwan pada berebutan menjawab, "Wa'alaikum salam calon makmum," hadeeehh. Ada pula yang membuat status, "Hijrahku ini untuk mengejar cinta Allah, bukan mengharap pujian dari manusia." Sembari memosting foto-foto hijrahnya. Yah, kalau mau hijrah ya hijrah saja, Ukhty wa Akhy, lakukan dengan istiqomah dan ikhlas, ndak perlu pakai posting-posting begitu. Memangnya Tuhanmu ada di media sosial? Kalau semisal mau istigfar ya tinggal istigfar aja, Ukh, ndak perlu teriak-teriak di media sosial. Bukankah Tuhan itu Maha Mendengar. Kalau semisal mau menegur teman ya tegur aja dia secara langsung pada orangnya dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengumumkan di media sosial. Media sosial itu agar kita bisa saling berkomunikasi dengan baik, bukan mengumumkan orang-orang yang salah.

Mari kita kembali lagi. Allah telah melarang perempuan untuk memperlihatkan kecantikannya kecuali pada suami dan mahramnya. Maraknya foto-foto centil dengan captions agama yang beredar di media sosial ini sungguh tidak baik. Membuat banyak mata lelaki menjadi berlama-lama memandang yang pada akhirnya menyebabkan dosa jariah. Sudah dosa. Jariah pula! Padahal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak merasa hina atas dosa-dosanya. Behh. Pokoknya hapus ya, Ukh!

"Jangan menjadi rembulan yang setiap mata lelaki bisa memandang. Jadilah seperti mentari yang mampu menundukkan setajam apapun sorotan mata lelaki," begitu kata bumi, Ehe.

Masih banyak kita temukan orang-orang di sekitar kita yang tidak mengerti (atau lebih tepatnya tidak mau tahu/masa bodoh) dengan segala yang berhubungan dengan hukum. Katanya kaku lah, atau apalah. Itu masih berada dalam tangga hukum, belum lagi menaiki tangga yang lebih tinggi, semisal perjalanan, dan selanjutnya cinta.

Hal yang ingin saya bahas di sini. Mengapa memang seharusnya perempuan tidak boleh mengupload fotonya di media sosial atau menampakkan kecantikan wajah pada lelaki ajnabi (orang lain) atau yang bukan mahram. Jika bagian kaki perempuan harus ditutupi kaus kaki karena termasuk aurat, maka seharusnya wajah perempuan pun wajar dan pantas ditutupi. Sebab, nyatanya wajah perempuan jauh lebih menggoda dan menarik dibandingkan dengan telapak kakinya. Nah!

Perihal batasan aurat perempuan ketika salat dan ketika bersama mahram telah sedemikian jelas. Yang paling banyak berbeda pendapat adalah batasan aurat perempuan ketika bersama dengan ajnabi. Meskipun para ulama empat madzhab ahlussunnah terjadi berbeda pendapat, bahkan di kalangan madzhab imam Syafi'i pun timbul tiga pendapat, yakni wajib, sunnah, dan khilaf aula, namun pendapat yang mu’tamad dalam madzhab imam Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Ehe.

Disebutkan pula, bahwa lelaki ajnabi tidak boleh melihat wajah perempuan kecuali ketika hanya untuk mengajari surah alfatihah saja (bukan surah yang lain) untuk mengetahui benar tidaknya makhraj dan bacaannya. Dan juga lelaki ajnabi yang mempunyai niat untuk melamar boleh melihat wajah dan telapak tangan sebelum menikahinya.

Nah, boro-boro wajah ditutup, kaki saja masih sering dibuka tanpa alas kaki kok. Ehe.

Mengutip dhawuh ustaz Halimi, "Bila lumpur mengenai rokmu masih bisa untuk dicuci. Tapi bila kau angkat dan kelihatan auratmu, cukupkah kau mencucinya dengan air?" Betapa dalam sekali. Syukron, Ustaz. Bukan air yang akan mencucinya, melainkan adalah api.

Maka jangan pernah jatuh cinta pada kecantikan seseorang. Jatuh cintalah pada pikirannya, karena di sanalah sesungguhnya engkau akan hidup dan tinggal. Ehe.

Bagian Dua.
Ruang Gibah Berjamaah. Ehe.

Kemudian. Ada orang-orang yang sibuk mengurus tingkah dan urusan orang lain. Perihal kabarnya, hubungan asmaranya, kegiatan harian, atau bahkan tentang kegiatan politiknya. Semua dan segala sesuatunya ditulis dan diberitakan di media sosial. Kalaupun dengan genre berita menjadi kaku, kini sudah ada berbagai ruang yang sangat terbuka di media sosial untuk membuat semua orang menjadi tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan orang yang dibicarakan. Tapi sayang, orang-orang itu tidak kunjung mengerti kalau sesungguhnya sedang memakan bangkai secara berjamaah. Hal ini pula yang membuat penulis menjadi tidak krasan mendengar bacotan orang kantor, Ehe. Di samping jumhur 'ulama telah menyatakan di berbagai kitab bahwa bunga merupakan riba. Padahal sekarang hampir di setiap belahan bumi telah menggunakan sistem ini. Lalu bagaimana cara mencucinya jika sudah mendarah daging. Jawab sendiri lah. Ehe.

Yang berhak menulis cerita hanyalah Tuhan. Adalah kalam-Nya. Tentu tujuan utamanya adalah sebagai pembelajaran bagi hamba-hamba-Nya. Saat ini, sekalipun ruang gosip itu memiliki tujuan untuk membuat orang tersebut malu dan jera, hal itu tetaplah tidak baik. Sebab setiap insan pasti punya celah. Dan yang paling mengetahui hanyalah Tuhan. Memang kamu tahu apa. Tahu apa tempe. Ehe.

Bagian Tiga.
Hamba Popularitas dan Lunturnya Keyakinan. Ehe.

Dan lagi. Kehidupan dunia dengan segala kefanaannya. Setiap hari kita selalu disuguhkan berbagai macam berita dan peristiwa yang menyesakkan dada. Benar-benar menyesakkan dada!

Orang-orang lebih suka mengejar pundi-pundi like, subscribe, follow di akun media sosial. Dan dari jumlah pengikut dapat kita lihat, orang-orang yang sedang menyembah popularitas. Tak peduli mereka yang secara terang-terangan mempertontonkan kemungkaran sampai pada yang mengajak kebaikan sekalipun. Nyatanya, mereka menjual popularitas itu kepada Google Adsense untuk kemudian bisa ditukar dan mendapatkan dolar di kantong mereka. Jadi sudah sangat jelas di sini, mereka tak berniat melakukan dakwah, melainkan menjual Tuhan dengan materi. Ehe.

Bagian Empat.
Perihal Seseorang yang Merindukan Dirinya Sendiri. Ehe.

Orang itu tak pernah mendebat manakala ada yang bertanya apa agamanya. Ia hanya merindukan jawaban yang keluar dari mulutnya, "agamaku adalah air yang akan membersihkan pertanyaanmu."

Orang itu tak pernah menyalahkan waktu. Ia hanya memaki dirinya sendiri, yang tak bisa lepas dari jerat jeruji keramaiannya. Yang membuatnya senantiasa terlupa.

Orang itu tak pernah memarahi zaman. Ia hanya mencaci dirinya sendiri, yang tak bisa keluar dari seret arus pekatnya. Yang membuatnya mengikuti berbagai warnanya.

Orang itu tak pernah membenci orang-orang. Ia hanya memaki dirinya sendiri, yang merasa diri menjadi paling. Yang membuatnya menjadi tak bisa melihat diri.

Betapa tidak penting kata dan kalimat yang ditulis hanya untuk citra. Sungguh tidak penting memosting foto yang diunggah hanya untuk pengakuan. Pun sungguh tidak penting menilai baik-buruk hanya dari profil dan penampilan. Di seberang sana, ada seseorang yang rindu menjadi dirinya sendiri, juga menjadi hamba Tuhan, bukan hamba publik. Ia merindukan hati yang lembut, bukan hati yang gersang. Ia merindukan kesejatian, bukan kemunafikan.

Bagian Lima.
Yang Fana Adalah Waktu. Ehe.

Tidak ada satupun orang yang benar-benar peduli dengan nasib kita. Pun tidak ada sedikitpun orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya kecuali diri sendiri, kekasih yang sejati, dan barangkali orang-orang kesayangan kita.

Maka sesungguhnya kita tak perlu sibuk melihat orang lain. Setiap manusia punya jalan masing-masing. Toh bukankah manusia selalu bisa mencari pengetahuan setiap waktu dengan adanya semua teknologi masa kini yang sangat dapat dengan mudah mengajari manusia-manusia milenial. Bagus itu. Meski ada satu-dua yang berniat untuk benar-benar belajar. Tapi kebanyakan lebih suka menganggap sebagai tren hijrah dan eksis saja, tanpa substansi kesungguhan di dalamnya. Tuhan bisa melihat itu semua, Sayang.

Tapi tidak. Sungguh tidak. Manusia hari ini lebih suka mencari pengetahuan yang hanya berkaitan dengan materi dan kehidupan dunia. Sedang perihal agama dan kehidupan akhirat yang nyata adanya jarang sekali dibaca. Betapa menyedihkan.

If my time has come, I don't want anyone to beg. Not even you. And I will care even less. Fa inni laa ubaali bikum!

Terakhir, saya ingin menutup status ini dengan kalimat sakti Pak Sapardi di salah satu puisinya, "Yang fana adalah waktu."

Waktu setiap hari selalu berdenyut. Tapi tidak untuk suatu hari nanti. Dan setiap manusia kelak akan sendiri-sendiri untuk menghadap Tuhannya. ~

Omah Sinau Koma.
Diketik dengan hape, 06.04.19. Ehe. ~
Mukhammad Fahmi.
Semalam, Rembulan Redup Sekali

Semalam rembulan datang
Dengan rindu yang terpendam
Sedalam diam
Yang menggantung
Di ranting-ranting malam
Paling purba

Rindu baginya seperti labirin malam
Yang memisahkannya denganmu

Dibanding kepergian senja,
Engkau jauh lebih sunyi
Bagaimana berpamitan

Ia sangat hafal kapan engkau pergi

Adalah kebisuan rembulan
Yang menjadikannya
Semakin kekurangan cahaya

Redup cahayanya
Seperti kunang-kunang
Yang mencoba mencarimu:
Di langit mana kau berada?
Ia tak mau kehilangan

Sampai kesunyian itu benar-benar lesup
Dibacanya alfatihah pelan-pelan,
Berulang-ulang
Agar tak ada angin, juga suara
Yang membangunkan langit

Diam-diam ia menjelma kesedihan yang basah:
Ia tak mungkin lagi bisa
Menyimpan rahasia hati

Ia selalu setia mencuci rindunya
Dengan air mata
Merapikan seluruh cintanya
Tanpa ada sesal di hati

Rembulan tak pernah salah
Hanya kenangan yang kadang
Membuatnya redup
Dan basah

Omah Sinau Koma, 31.03.2019.
Mukhammad Fahmi.
Terima kasih kepada para pembaca yang telah berkenan untuk menyelami buku saya, sekalipun masih banyak kekhilafan di dalamnya.. 🙏

Pesan-Pesan Rahasia


























Pesan-Pesan Rahasia
Penulis : Mukhammad Fahmi
ISBN : 978-602-443-740-4
Penerbit : Guepedia Publisher
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal :  268 halaman
Harga : Rp 97.000

Untuk pemesanan bisa di:

Email : guepedia@gmail•com
WA : 081287602508
Website : guepedia.com
Lelaki yang Sunyi
Saya menyukai hutan, hujan, juga senja dengan segala kesunyiannya. Saya tidak suka berada di tempat-tempat ramai dan bising yang hanya akan membuat saya tidak lagi bisa mendengar hal-hal yang sunyi. Dan sepertinya, hari-hari setelah ini akan menjadi hari yang lebih sunyi lagi bagi saya. Maafkan saya yang belum bisa melupakan. Semoga saya lebih tenang dengan kesunyian ini. Saya akan bernyanyi lebih panjang lagi dan akan tetap menunggu, di kesunyian ini. ~

Mukhammad Fahmi.
Catatan Kopdar KOMA #01
(Nyambung Seduluran Komunitas KOMA)

Nyambung Seduluran Komunitas KOMA

Suatu sore, di bulan Desember 2018.

“Sebagaimana dendam. Rindu harus dibayar setuntas-tuntasnya.”

***

Di tempat bernama keabadian itu, rindu bisa datang kapan saja. Ia cukup melakukan perjalanan ke arah barat laut, di mana matahari akan segera tenggelam. Memejamkan kedua kelopak matanya. Kemudian melihat semua menjadi begitu hangat.

Tampaknya, sore kali ini benar-benar menjadi momen yang paling dinanti oleh orang-orang yang memiliki kerinduan yang sama. Gulungan awan yang datang dengan begitu takzim itu menutup sebagian wajah kemuning senja. Sedang ribuan angin yang menerpa di sepanjang perjalanan itu akan dengan sukarela memeras seluruh rasa rindunya. Perihal perjalanan sebuah komunitas beserta orang-orang kesayangannya. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di hati masing-masing mereka.

Sabtu sore, Minggu ketiga di bulan Desember ia bersepakat untuk bertemu dengan mereka di tanah air bagian utara propinsi Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Bumi Wali katanya. Hujan rahmat benar-benar menyambut pertemuan mereka. Untungnya mereka sudah sampai di tempat salah satu teman yang ada di pusat Kabupaten Tuban. Sekalipun tidak semua anggota komunitas ini bisa datang dikarenakan uzur masing-masing, tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk melaksanakan agenda perdana itu.



Di tempat temannya itu, mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari pengalaman mencari rezeki, sampai pada hikmah dari segala semua itu. Laki-laki itu percaya. Bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan materi. Sebagaimana pula, tidak bisa diukur dari hanya sekadar senyuman. Ia tidak pernah takut kehilangan materi. Ia hanya memercayai. Bahwa ketakutan dan kesedihan paling menyayat, manakala ia menjadi sibuk melihat yang semu. Yang sesungguhnya tidak nyata. Yang menjadi sebab ia kehilangan kekasih yang sejati. Yang sungguh nyata adanya. Yang telah memberinya cinta dan kehidupan.




Seusai salat Isya, dengan sisa-sisa gerimis yang ada, mereka menyempatkan mengisi perut yang kosong dengan nasi pecel di sebuah warung sederhana pinggir jalan. Sebab untuk melakukan sebuah perjalanan cinta, nyatanya memerlukan tenaga yang cukup. Hehe.


Perjalanan malam ini serupa perjalanan yang begitu sunyi. Mereka seperti menemukan banyak pemahaman baru dari perjalanan ini. Menemukan kembali ruas jalan yang telah lama hilang, yang telah lama dilupakan orang-orang di masa kini. Sekali-kali, masing-masing kita memang perlu menyendiri. Menghayati segala. Menyingkir dari riuh dan bisingnya kesibukan dan pembicaraan yang kosong. Agar bisa mendengarkan suara alam manakala ia bercerita. Mengunjungi maqbaroh demi maqbaroh. Serta menanyakan kepada orang-orang yang telah dahulu pulang. Perihal bagaimana seharusnya hidup.

Di antara indra-indra lahiriah, tak ada yang lebih bermartabat daripada mata. Betapa mata merupakan anugerah yang paling indah. Maka beruntunglah mereka yang tidak menunaikan semua keinginannya. Sebab semakin banyak seseorang melihat yang semu, nyatanya ia akan semakin buta. Membuat hati tak bisa melihat hal-hal yang sesungguhnya nyata.

“Aku menyukai kita, yang semakin tak peduli dengan rayuan setan dan juga hawa nafsu.”

***

“Saat ketenteraman menjadi sesuatu yang sulit didapatkan, langit tiba-tiba menghentikan hujan derasnya. Semasa hidupnya, laki-laki itu tidak tahu cara membenci manusia, apalagi alam. Dan ia merasa, tidak ada yang perlu dibenci di dunia ini. Ia senantiasa mencintai Tuhan, manusia, dan juga alam semesta.”

Pada maqbaroh pertama, mereka mengunjungi makam Syaikh Sayyid Abdullah Asy’ari. Namun oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Lor. Mbah Raja Abdulloh Asy’ari adalah putra Syaikh Ali Nurul Alim, atau cucu Syaikh Jamaluddin Al-Husaini (Mbah Sayyid Jumaddil Kubro) yang salah satu makamnya terletak di daerah Trowulan Mojokerto. Oleh kakeknya itu, ia ditugaskan untuk berdakwah di daerah kadipaten Tuban.


Saat mereka berziarah ke makamnya, terdapat beberapa pesan Sunan Bejagung Lor yang tertulis di gapura masuk makam. Di antara pesan tersebut adalah, “Mobahing agama kasariring Nabi. Mobahing bumi kasektining pujonggo.” Berkembangnya agama karena Nabi atau ulama, dan berkembang atau ramainya bumi karena kesaktian atau kepintaran penulis dan pengarang. 

Kemudian pada maqbaroh kedua, mereka mengunjungi makam Syaikh Hasim Alamuddin yang merupakan menantu Syaikh Abdulloh Asy’ari. Oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul. Beliau adalah pangeran Kusumohadi/ Penghulu dan merupakan putra Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Ia pergi ke daerah Bejagung Semanding untuk belajar agama Islam kepada Sunan Bejagung Lor. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung Lor, Kusumohadi berganti nama menjadi Hayim Alamuddin. Kemudian pada akhirnya, ia meneruskan dakwah mertuanya di daerah Bejagung Kidul. Tidak jauh dari makamnya, terdapat pondok pesantren Sunan Bejagung, yang merupakan lahan dakwah para penerusnya.


Ziarah yang ketiga, mereka menyempatkan untuk mengirim surah-surah alquran dan juga doa pada maqbaroh Syekh Siti Jenar. Konon, makam Syekh Siti Jenar banyak sekali ditemukan di berbagai wilayah di tanah air Indonesia. Entah kenapa. Dalam kisah yang banyak disebutkan di berbagai buku, beliau adalah waliyulloh yang terkenal dengan “manunggaling kawula gusti”-nya. Tak ada yang tahu persis keberadaan beliau. Beliau hadir dengan tiba-tiba dan pergi dengan tanpa diketahui orang-orang. Kemungkinan beliau menyiarkan agama Islam dulu sampai ke daerah ini. Sehingga di maqbarohnya terdapat tulisan, “mbah buyut gedhong”. Karena desa ini disebut dengan “Gedongombo”, maka masyarakat sekitar menyebutnya demikian. 


“Tiba-tiba air mata lelaki yang semenjak tadi bersembunyi di antara penyesalan itu terlepas begitu saja. Jika saja ada kesempatan untuk bisa istiqomah berziarah seperti ini, akan ia pakai untuk menyelinapkan rasa bersalah yang bayak kepada Tuhannya.”

Setelah puas melakukan perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci (hehe), akhirnya pada pukul 10 malam mereka melaksanakan ibadah ngopi (sekalipun ada yang tidak pesan kopi, hehe)—di suatu kedai pinggir jalan. Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Tentu semua tentang perjalanan Komunitas KOMA ini. Mereka berencana akan membuat semacam simbol yang dapat digunakan mengenali sang pemakai, bahwa orang itu adalah anggota KOMA. Pada mulanya terjadi banyak perdebatan di antara mereka. Perihal benda apa kira-kira yang jiwanya “pas” dengan KOMA. Akhirnya ada juga ide, benda itu adalah kopyah. Selain praktis, bisa di bawa ke mana-mana, benda itu juga kelak digunakan untuk beribadah dan memiliki kemuliaan karena digunakan di kepala. Inspirasi itu muncul dari jamaah Maiyah yang dengan kopiah khasnya bisa menunjukkan kalau orang itu adalah jamaah Cak Nun. Sekalipun tanpa ada nama atau kata-kata pada benda tersebut, tapi sekali melihat orang akan bisa mengenali bahwa orang itu adalah jamaah Maiyah. Dan yang menjadi problem adalah, bagaimana bentuk dan design Kopyah KOMA yang benar-benar pas untuk jiwanya. Malam itu sebenarnya masih belum usai dan kepala masih belum sreg dengan motif yang belum sepenuhnya dapat digambar. Akhirnya disepakati akan dipikirkan setelah ini sembari mencari inspirasi. Selang beberapa hari, salah seorang anggota KOMA punya ide yang pas, berkat inspirasi melihat bentuk dari pojok genteng atap makam Mbah Maulana Ishaq. Bentuknya kira-kira seperti ini.



Setelah usai ngopi, mereka kembali ke tempat salah satu anggota KOMA yang berada tidak jauh dari wisata Goa Akbar. Mereka memutuskan untuk beristirahat agar besok pagi bisa melakukan perjalanan yang lebih jauh lagi.

***

Ahad, 16 Desember 2018. Pagi itu, setelah jamaah Subuh dan mandi pagi, mereka langsung cuss ke Makam Sunan Bonan yang berada tidak jauh dari alun-alun Kabupaten Tuban.





Setelah itu, mereka beranjak ke tepi alun-alun yang sangat ramai pedagang untuk sekadar menghirup udara pagi, melihat orang-orang yang berlalu lalang, serta mengisi perut dengan sedikit makanan dan minuman.

Setelah dirasa cukup, mereka langsung berangkat ke rumah dulur Achmad Muzaki, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mas Jack. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui alamat rumahnya, namun berkat kecanggihan Mbah Google Maps, akhirnya mereka sampai juga di kediaman Mas Jack. Di sana ternyata sedang berkumpul beberapa keluarganya untuk acara yang sama, tilik bayi, sehingga mereka pun agak sungkan di sana. Perihal jodoh, tak seorang pun tahu. Buktinya Mas Jack ini yang rumahnya di Jombang, bisa dengan tiba-tiba begitu akrab dengan daerah Tuban saat ini, hehe.




Rumahnya tidak begitu jauh dari air terjun Nglirip Singgahan yang merupakan salah satu destinasi dari agenda mereka. Malah sebelumnya mereka melewati tempat tersebut. Setelah perut mendadak kenyang, melihat si cabang bayi, dan puas bincang-bincang di sana, akhirnya mereka memutuskan untuk pamit, dan akan melanjutkan perjalanan ke Makam Kanjeng Syekh Abdul Jabbar yang merupakan leluhur dari KH. Abdul Wahab Hasbulloh (Pendiri NU). Makamnya tidak jauh dari wisata air terjun Nglirip. Namun yang nampak, lebih banyak pengunjung wisata air terjun Nglirip daripada Makam Mbah Jabbar yang lumayan sepi. Bagaimana ini orang-orang.




Seusai sowan ke Makam Mbah Jabbar, mereka beralih ke air terjun Nglirip untuk berfoto-foto ria, hehe. Maklumlah, anak muda. Masih suka eksis seperti kebanyakan manusia biasa. Tak lupa bendera KOMA juga ikut berkibar di sana untuk pertama kalinya. Benar-benar momen yang indah. Namun sayang, karena musim hujan maka airnya tidak jernih. Kalau saja tidak musim hujan maka airnya akan terlihat hijau, jernih, dan mereka akan rela untuk mandi juga di sana, hehe.









“Bagaimana jika air terjun itu jatuh hanya untuk menguras kenangan pemiliknya. Lalu saat semua mata telah basah, ia tak sanggup mengembalikan apa-apa, termasuk seseorang yang ada di dalam hatinya.”

Setelah lelah memenuhi hape dengan aneka foto yang geje, mereka lelah karena pulangnya harus melewati jalan yang mendaki. Dan akhirnya mereka membeli es degan di atas sana. Ah, strategis sekali tempat ini, jualan es degan yang akan segera mendinginkan tubuh para pengunjung yang kelelahan.




Sebenarnya, ketika akan berangkat ke rumah Mas Jack, mereka ingin mencari makam Ronggolawe, tapi tidak ketemu dan akhirnya keblablasan. Dan pulangnya mereka sepakat akan berkunjung ke sana. Namun sebelumnya mereka mampir di patung tempat rehat yang dekat pantai Tuban untuk melihat betapa luasnya tubuh laut, mendengarkan suara debur ombak, dan juga mencium aroma khasnya. Sayang sekali, sebab di sana banyak sekali sampah yang mengotori pantai. Di patung itu juga tertuliskan tentang sejarah Kabupaten Tuban.






“Bagaimana jika debur ombak bukan di pasir pantai? Tapi di sini. Di relung jantung dan pada pusar hati.”

Kemudian akhirnya mereka sampai juga di pesarean Ronggolawe dan para adipatinya. Mereka bertemu dengan juru kuncinya dan segera dibukakan makamnya. Di dalamnya terdapat aneka keris dan dupa, sehingga mereka tidak begitu khusyuk ketika berdoa.



Seusai itu, mereka kembali ke tempat temannya itu, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi ke berbagai makam di Tuban dan juga Lamongan. Seperti makam Syekh Ibrohim Asmoroqondi, Syekh Maulana Ishaq, dan lain sebagaianya. Karena penulis tidak ikut mereka, maka tidak bisa melanjutkan cerita perjalanan selanjutnya. Mereka mengerti ini adalah perpisahan, tapi mereka ragu bahwa ini adalah akhir. Mereka selalu yakin, bahwa KOMA tak akan akan pernah ada akhirnya. Rasa kehilangan hanya akan ada ketika mereka saling melupakan. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di jiwa masing-masing mereka.


Rengel, hari pertama di tahun 2019.
Omah Sinau Koma, Mukhammad Fahmi.