I have worked as a research staff at LP2M UIN Malang and have produced many scientific studies in the form of research reports and international journals. At that time I was given the assignment by the lead researcher to conduct an international research presentation at ITB. Incidentally, my lecturer could not attend the event and our team consisted of only two people. So with all my confidence I prepared everything to make a presentation in front of the judges and mathematicians. Eventually I got a very warm appreciation from the viewers for our research work. As a result, my research journals can be published.

Here is a portfolio of my mathematical research that I did during college. I also often attend the Math Olympiad. Some of my research has been published in the journal Scopus, Cauchy, and others.

1. Paper PDP

2. Publikasi x-Banner ITB Symomath

3. Proyek Lp2m

4. Jurnal Internasional ITB

5. Lpj Symomath

6. Jurnal Nasional Cauchy

7. LoA

8. Skripsi

9. Paper Riset Operasi

10. Laporan Penelitian DISPENDA MALANG

11. Proyek Penelitian Kemenag Jakarta

12. LoA Basic Science UB

13. Artikel Seminar Integrasi Sains dan Islam

14. Jurnal Iconist 2018

15. Proyek LP2M 2018

16. Ppt Seminar Internasional

17. Jurnal Ismei 2018


Link to UIN Malang:

http://etheses.uin-malang.ac.id/11656/

http://repository.uin-malang.ac.id/1968/


Here is my photo documentation when doing research:


























Berikut adalah kumpulan quotes status saya. Ehe.











































Usaha Mengumpulkan Cahaya
Oleh: M. Fahmi

Dalam rangka mengumpulkan cahaya, berikut saya mempunyai sembilan rajutan amal, yang insya Allah bisa dilakukan oleh setiap mereka yang berjiwa merdeka, yang memiliki impian untuk berada di tempat yang paling damai dan menenangkan, kelak. Kuncinya hanyalah istiqomah dalam mengamalkannya. (Beberapa amalan yang kalaupun tidak bisa dilakukan, bisa diqodho' di waktu yang lain). Jangan pernah tanya apa manfaatnya mengamalkan amalan ini. Kita akan mengerti dan menemukan sendiri jawabannya setelah melakukannya dengan istiqomah dan ikhlas. Percayalah.

1. Membaca surat as-Sajdah, al-Waqi'ah, al-Mulk, dan do'a Arys setiap ba'da shalat Maghrib, atau bisa dilakukan setiap usai sholat 'Isya.

2. Sholat lima waktu berjamaah di Masjid dan tepat waktu (kalau tidak ada 'udzur dalam hal lain yang mendesak, sebab adzan sejatinya ialah panggilan langsung dari Allah).

3. Tidur lebih awal, paling tidak pukul 21.30 WIB sudah tidur. Usahakan memiliki wudhu dan merapalkan do'a sebelum tidur. Ingat, tidak ada peluk paling erat dan hangat selain do'a.

4. Bangun jam 3 pagi, mandi dan dirikan shalat tahajjud, hajat, taubat, dan witir.

5. Setiap usai shalat lima waktu membaca tahlil paling sedikit 165 kali (amalan thoriqoh qodiriyyah). Jadi, tiap hari paling sedikit membaca tahlil 825 kali. Siapapun bisa melakukan amalan ini sekalipun belum ikut bai'at thoriqoh.

6. Setiap usai shalat Subuh membaca sholawat paling sedikit 132 kali dan membaca, "laqod jaa akum rosuulum min anfusikum, ila akhirihi..." lima kali.

7. Sempatkan untuk Lpj kepada Allah (sholat Dhuha) setiap pagi, empat rokaat.

8. Membaca, "robbana aatina fid dunya hasanah, ila akhirihi" setiap usai sholat Dhuhur 33 kali.

9. Membaca istighfar 132 kali setiap usai sholat 'Asar dan membaca sayyidul istighfar tujuh kali.


Malang, 21 November 2017.




Nb. Foto di atas adalah do'a 'Arys yang dibaca.


Gus Jakfar
Abah, NU Online
Oleh A. Mustofa Bisri 

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. 

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." 

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." 

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." 
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." 

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara.

"Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." 

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. 

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." 

*** 
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. 

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" 

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." 

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." 

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. 

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." 

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." 
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." 

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. 

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." 

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk." 

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 

'Kiai Tawakkal.' 
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' 

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." 

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." 

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!" 
"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka." 

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." 

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang." 

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". 

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." 

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' 

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' 

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' 

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." 

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 
'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.' 

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." 

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. 

Rembang, Mei 2002 

A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis. 

“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004.
Hafidz dan Hafidzah Alquran







Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala
Cerpen Mashdar Zainal
(Jawa Pos, 13 Maret 2011)


Kota Tungku

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya….

Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu. Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air.

Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket.

“Kok panas begini, ya?”

“Bukannya dari dulu memang begini?”

“Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem.”

“Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem.”

“Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas.”

“Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari.”

“Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.”

“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.”

“Kau pernah dengar yang namanya global warming?”

“Ya sekarang ini global warming, Goblok!”

“Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya….”




Kota Sampah

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dinding-dinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan.

Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalat-lalat yang terus melagu.

“Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?”

“Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang.”

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampah-sampah itu?”

“Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.”

“Hihihi, makan sampah.”

“Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan.”

“Apa kota ini memang begini sejak dulu?”

“Kok tanya padaku?”

“Kau kan yang lebih tua.”

“Tanya saja nenekmu.”

“Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu.”

“Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang.”

“Cihuuuiiii!!!”

“Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu.”

Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang.

“Hei, aku menemukan kepala.”

“Kepala? Ayam atau bebek?”

“Manusia!”




Kota Lumpur

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur.  Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.

“Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?”

“Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa.”

“Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja… mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur?”

“Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.”

“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur.”

“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”

“Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal.”

“Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft….!”

“Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? ”

“Menghentikan apa?”

“Ya lumpur ini!”

“Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendirilah!”




Kota Perempuan

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggir-pinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga.

“Kita takkan pernah menjadi ibu.”

“Memang kenapa?”

“Kita tak mampu beli sperma.”

“Beli lelaki maksudmu?”

“Sama saja!”

“Memangnya harus beli?”

“Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya!”

“Susah…, mau hamil saja harus kaya dulu.”

“Di kota ini memang begitu aturannya.”

“Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?”

“Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated.”

“Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak?”

“Aku hanya… menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.”




Kota Lapar

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang,  besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virus-virus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring.

Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut.

“Hari ini kau dapat apa?”

“Maksudmu, yang sudah aku telan?”

“Ya.”

“Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu?”

“Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.”

“Sama.”

“Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan.”

“Manusia kan memang diciptakan untuk lapar.”

“Kau pernah menahan lapar?”

“Lebih baik mati daripada menahan lapar.”

“Kok begitu?”

“Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga.”

“Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan.”

“Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa… bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi!”

“Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi?”

“Ya pokoknya kita cari.”

“Kalau begitu kau makan aku saja.”

“Kau gila! Apa isi otakmu?”

“Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda.”



Kota Katastrofa

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agenda-agenda miris itu dapat dihentikan.

Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka.

Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka.

“Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah.”

“Dan yang mati ratusan ribu itu.”

“Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya.”

“Berapa kemarin korbannya?”

“Belasan ribu atau berapa gitu… aku lupa.”

“Baru-baru ini gunung kentut.”

“Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya?”

“He’em. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan.”

“Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan?”

“Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh.”

“Ih, sereeem!”

“Makannya, tobat!”

“Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!?” (*)


Malang, 2011