SHOHIBU BAITIY merupakan lagu kebangsaan semesta maiyah. 
Koor: Cak Nun & Kiai Kanjeng (CNKK)

SHÔHIBU BAYTÎ (3x), YÂ SHÔHIBU BAYTÎ

Tuan rumah (hati)ku (3x), wahai Tuan rumah (hati)ku.

IMÂMU HAYÂTÎ (3x), YÂ IMÂMU HAYÂTÎ

Pemimpin hidupku (3x), wahai Pemimpin hidupku.

MURSYIDU ÎMÂNÎ, ANTA SYAMSU QOLBÎ, QOMARU FU`ÂDÎ, QURROTU ‘AYNÎ

Penuntun imanku, Engkau Matahari qalbuku, Rembulan hatiku, wahai Penyejuk mataku.

SYÂFI’U NASHÎBÎ, YÂ MAWLÂ JIHÂDÎ, UFUQU SYAWQÎ, BÂBU ÂKHIROTÎ


Penolong nasibku, wahai Muara perjuanganku, Cakrawala rinduku, wahai Pintu akhirat/keabadianku.

Pada suatu hari nanti
Oleh: Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari


Hujan Bulan Juni... ;(
Oleh: Sapardi Djoko Darmono

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Aku ingin mencintamu dengan sederhana
Oleh: Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Manakala Sajak-sajak Berloncatan
Oleh: Khrisna Pabichara

1.
Yang kutahu dari seketika adalah jarak antara pengakuan cintamu dengan kepergianmu. Aku linglung di simpang jalan, berharap angin sudi bergerak tunak ke tanjung cinta. Berharap dari sana dapat bermula cerita. Tapi, kita biarkan ketulusan pergi sebelum ia selesai mengajari kita rahasia kehilangan. Sesudahnya, kita sibuk saling menyalahkan.

2.
Rindu adalah pakaian yang kukenakan agar kamu mengenaliku dari kejauhan. Kita bertemu manakala kota-kota dirambati fitnah. Lumpur bergerak, mencekik leher. Kita menjadi arca, tugu airmata. Dari matamulah, sesungguhnya, kukenali indahnya kesendirian. Ialah kemerdekaan sejati, yang kerap kamu intimi ketika sunyi menegaskan diri. Sungguh, apa yang kita sebut sebagai cinta tak lebih dari eratnya pelukan perpisahan. Sesudahnya, kita berlomba menanak rindu.

3.
Kita adalah perantau yang sama-sama sibuk menumpuk harapan. Di persimpangan, perpisahan kita pilih sebagai cara. Terakhir kamu kecup harapanku sembari membaca mantra Marquez dan Coelho. Mantra yang merambat, menjulur, dan mengeram di dada. Sesungguhnya, bagiku, kamu adalah hulu, tempat segala yang bergerak kehilangan hilir.

4.
Kamu adalah harapan yang memaksa untuk terus kujangkau. Selamanya. Bahkan, lebih lama dari selamanya.

Parung, Mei 2011



Rapuh
Oleh: Opick

detik waktu terus berjalan
berhias gelap dan terang
suka dan duka tangis dan tawa
tergores bagai lukisan

seribu mimpi berjuta sepi
hadir bagai teman sejati
di antara lelahnya jiwa
dalam resah dan air mata
kupersembahkan kepadaMu
yang terindah dalam hidupku

meski ku rapuh dalam langkah
kadang tak setia kepadaMu
namun cinta dalam jiwa
hanyalah padaMu

maafkanlah bila hati
tak sempurna mencintaiMu
dalam dadaku harap hanya
diriMu yang bertahta

detik waktu terus berlalu
semua berakhir padaMu

Hatiku Selembar Daun
Oleh: Sapardi Djoko Damono

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;

nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu
setiap pagi


Senja pun jadi kecil
Oleh: Goenawan Mohammad

Senja pun jadi kecil
Kota pun jadi putih
Di subway

Aku tak tahu saat pun sampai
Ketika berayun musim
Dari sayap langit yang beku
Ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
Terhenti mempermainkan waktu
Ketika kita berdiri sunyi
Pada dinding biru ini
Menghitung ketidakpastian dan bahagia Menunggu seluruh usia

Goenawan Mohammad, 1966

Senja di Pegunungan

Busa telaga tidak lagi dihajar angin
Hutan sepi sudah dari riuh dewa-dewa menari
Hatipun dingin
Sedang gunung-gunung jingga cemas menemu kelam kesangsian malam
Elang mencoba masih mengejar matahari
Dan antara gunung, telaga dan matahari
Lari
Terurai tanya, abadi...

Puisi: Sutikno W.S
Musik: Hendi Yusup

Jika debur ombak bukan di pasir pantai
Tapi di sini di relung jantung dan pada pusar hati
Adalah karena ketukan dan usapan yang membangunkan sejuta mimpi

Dan kalaupun embun berlinang bukan pada putik-putik pagi
Tapi pada indahnya seuntai puisi
Karena engkaulah embun yang meneteskan kesejukan pada hari-hari kelam ku